3 Benda berwarna Ungu tersebut

Sekarang ini Hadasa sedang berada di daerah yang sepertinya merupakan tempat dimana orang-orang berjualan seperti pedagang kaki lima yang biasa kita lihat di jalanan atau yang biasa disebut dengan trotoar.

Memperhatikan barang dagangan milik seseorang, ia memperhatikan barang-barang yang kelihatannya memiliki unsur sihir di dalamnya. Barang-barang tersebut berwarna gelap, sepertinya memang benar jika mereka memiliki unsur magis di dalamnya.

Menyilangkan kedua tangannya dan menaruh tangannya pada dagu untuk berpikir, ia lalu berdiam diri di depan barang jualan seorang pedagang tersebut sembari memikirkan sesuatu.

Setelah berpikir beberapa saat, tampaknya ia sudah selesai berpikir dan ia pun mulai berjalan menjauh dari tempat tersebut.

Saat sedang berjalan menjauh dari tempat dagangan yang baru saja ia lihati tersebut, tiba-tiba saja seseorang memanggil dirinya.

"Hei nak!"

Mendengar panggilan dari seseorang, Hadasa yang mendengarnya lalu berbalik dan mengarahkan pandangannya pada orang yang baru saja memanggilnya tersebut.

Ternyata orang yang memanggilnya merupakan seorang nenek-nenek yang merupakan pemilik dari barang-barang yang baru saja ia lihat-lihati.

Mengetahui hal tersebut, Hadasa pun menunjuk dirinya dengan jari tangannya untuk memastikan apakah ia merupakan orang yang baru saja ia panggil.

Melihat apa yang Hadasa lakukan, nenek tersebut lalu mengangguk sambil mengatakan sesuatu.

"Iya, kaulah orangnya. Sini, kemari."

Menyuruh Hadasa untuk mendekat padanya, Hadasa yang mendengar perkataan nenek tersebut pun dengan spontan berjalan perlahan mendekatinya.

Berjalan mendekati pedagang tersebut, Hadasa lalu merasa bingung mengapa ia dipanggil oleh nenek tersebut.

Menggaruk-garuk kepalanya dengan tangan kanannya saat mengatakannya, Hadasa dengan sopan bertanya kepadanya.

"Anu, sebenarnya ada apa ya?"

"Kau tadi melihat-lihati barang-barangku bukan?"

Bertanya pada Hadasa dengan nada orang tua, mungkin itulah ungkapan yang bisa dilihat dari nenek tersebut.

Hadasa yang mendengar perkataan nenek tersebut lalu menjawab pertanyaannya.

"Ah. Iya betul."

Mengatakannya dengan nada kecil, Hadasa menurunkan kepalanya saat mengatakan hal tersebut.

"Apa kau ingin beli sesuatu?"

"Ah tidak nek..., aku tadi hanya sedang lihat-lihat saja."

Menjawab pertanyaan dari nenek tersebut, Hadasa melakukannya sembari membuat gerakan-gerakan tangan saat menjelaskannya dengan nada kecil.

"Ah begitu. Aku adalah seorang peramal, barang-barang yang kau lihat sebelumnya merupakan salah satu barang-barang yang bisa menambah keberuntungamu."

Mendengar penjelasan nenek peramal tersebut, Hadasa pun merasa sedikit penasaran akan hal tersebut.

"Anu, jadi kau itu semacam penyihir?"

"Tidak, penyihir dan peramal itu berbeda. Ingatlah itu."

Setelah mendengar perkataan peramal tersebut, Hadasa pun terlihat kebingungan. Ia lalu melihat kembali barang-barang dagangan miliknya.

"Kalau tidak salah, para penyihir itu menggunakan sihir hitam dan peramal itu merupakan orang yang bisa memprediksi masa depan kehidupan seseorang ataupun peristiwa yang akan terjadi kan?"

"Yah, mungkin kira-kira seperti itu."

Memperhatikan Hadasa yang sedang melihat-lihati barang dagangannya, nenek peramal tersebut lalu bertanya kembali pada Hadasa.

"...Hei nak, kau berasal darimana? Kalau dilihat-lihat dari pakaianmu sepertinya kau tidak berasal dari sini, apa aku benar?"

Mendengar pertanyaan nenek tersebut, Hadasa lalu terlihat kebingungan tentang bagaimana cara menjawabnya.

"Ah..., sebut saja aku berasal dari suatu negara di utara sana."

"...Dari utara? Hidupmu pasti keras bukan..."

Membalas perkataan Hadasa dengan nada kasihan, peramal tersebut mengucapkannya sembari menurunkan kepalanya ke bawah.

Mengetahui hal tersebut, Hadasa lalu hanya diam tidak membalas perkataan peramal tersebut karena ia merasa sudah mengatakan hal yang membuatnya salah paham.

"Hidup itu tidak adil, kehidupan ini sangat keras dan tidak bersikap baik pada orang-orang yang ada di dalamnya."

Mengucapkan kata-kata bijak pada Hadasa, peramal itu lalu terlihat mengambil sebuah kotak dari tas miliknya. Ia lalu mengambil sebuah pil berbentuk bulat yang berwarna ungu gelap dari kotak tersebut.

"Apa itu?"

Menunjuk benda yang ada pada tangan peramal tersebut, Hadasa lalu menanyakan sesuatu padanya.

Mengeluarkan pil tersebut dari tempatnya, peramal tersebut lalu menunjukkan pil tersebut pada Hadasa.

Mendengar pertanyaan itu, peramal tersebut hanya diam dan tidak menjawabnya. Ia lalu berdiri dan mengulurkan tangannya pada tangan kanan Hadasa.

"Tangan."

Mendengar perkataan peramal tersebut, Hadasa lalu mengulurkan tangan kanannya padanya.

Peramal tersebut lalu membuka kepalan tangan Hadasa dan menaruh pil itu di sana dan menutup tangan Hadasa kembali setelahnya.

"Kenapa kau memberikanku benda ini?"

"Bukan karena apa-apa, anggap saja seperti sebuah hadiah dari seorang peramal. Hiduplah dengan kuat di dunia yang tidak adil ini ya nak!"

Mengatakannya untuk memotivasi Hadasa, peramal tersebut lalu mendorong Hadasa untuk pergi menjauh dari tempatnya.

"Sekarang pergilah!"

Terkena dorongan dari nenek peramal tersebut, Hadasa hanya merasa bingung dengan hal yang baru saja terjadi. Dengan perlahan ia lalu mulai berjalan menjauh dari peramal tersebut.

Saat ia sedang berjalan menjauh, tiba-tiba saja ia berhenti. Ia lalu mengalihkan pandangannya kembali pada peramal tersebut yang sedang membereskan barang dagangannya dengan pandangan yang tidak enak.

"Ma'am!"

Mendengar suara Hadasa, peramal itu lalu mengalihkan pandangannya pada Hadasa.

"Hidup itu memang tidak adil. Mungkin itu memang ada benarnya, yang bisa kita lakukan hanyalah pasrah terhadap kehidupan itu. Tapi menurutku tidak begitu..., mungkin... kita hanya harus membiasakan diri di dunia yang tidak adil ini. Daripada pasrah menunggu hidup, bukankah lebih baik jika kita terbiasa dan menikmati hidup yang tidak tersebut?"

Mengatakannya dengan senyuman, Hadasa lalu berbalik dan berlari sembari melompat-lompat dan menjauh dari tempat tersebut.

"Jikalau kau tidak paham, maksudnya itu sama seperti saat dirimu pertama kali memakai sandal dan kau tidak akan terbiasa dengannya di kakimu. Tapi setelah memakainya untuk waktu yang cukup lama kau akan terbiasa memakainya di kedua kakimu dan merasa aneh saat tidak memakainya!"

"Ucapan yang bagus. Lain kali belilah sesuatu dan jangan lihat-lihat saja ya!"

Membalas perkataan Hadasa sembari tersenyum, nenek tersebut menyampaikan sesuatu padanya.

"Bye-bye, ma'am fortune teller!"

Berlari menjauh dari tempat tersebut setelah mengucapkan sesuatu yang motivatif, Hadasa lalu memperlihatkan sebuah senyuman saat pergi sembari melambaikan tangannya pada peramal tersebut.

Sembari memasukkan tangannya pada kantung yang ada pada jaketnya, ia kembali berkeliling dengan penuh senyuman yang ada pada wajahnya.

...Pada saat itu aku berpikir, mungkin itu adalah kata-kata terkeren yang pernah aku ucapkan semasa hidupku. Karena aku merasa sudah kehabisan topik pembicaraan dengan peramal tersebut, aku pun menyudahinya dengan pergi dari tempat dagangannya.

Meskipun aku mengatakan sesuatu yang keren seperti itu bukan berarti jika aku sudah terbiasa dengan kehidupan yang kujalani, aku hanya mengatakannya karena menurutku itu benar. Maka dari itulah aku memberitahukannya pada orang-orang agar mereka semakin termotivasi dengan hidupnya.

....Saat sedang berkeliling aku pun sampai pada sebuah bangunan yang sepertinya merupakan kandang untuk hewan-hewan yang dipelihara di desa ini. Kandang tersebut dikelilingi oleh kumpulan pagar yang menghalang hewan-hewan yang ada di dalam kandang tersebut untuk keluar.

Melihat hewan-hewan yang berada di kandang tersebut, aku pun berpikir mengenai hewan yang akan kutunggangi pada suatu hari nanti di dunia ini.

Aku lalu mengalihkan pandangannya pada sekumpulan kuda yang sedang berkumpul. Setelah itu aku lalu menaruh daguku pada kedua lenganku sembari meletakkan kepalaku pada bagian atas pagar kandang tersebut untuk berpikir.

Merasa jika kuda merupakan hewan yang paling umum untuk ditunggangi, aku pun mengalihkan pandanganku pada hewan yang menurutku merupakan penggabungan antara naga dan kuda.

Hewan tersebut memiliki kepala seperti naga, namun ia tidak memiliki sayap ataupun memiliki kemampuan untuk terbang seperti kebanyakan naga yang ada di dalam cerita-cerita mitologi. Ia juga memiliki dua kaki untuk ia berdiri dan dua tangan kecil di depannya. Saat aku melihatnya, aku pun mulai membuat nama-nama yang cocok untuk hewan tersebut.

"Naga Kuda. Kuda Kaga? Tidak-tidak, kurasa itu kurang cocok. Bagaimana kalau Naga Tanah?"

"Naga Tanah?!"

"APA NAGA TANAH?!"

Seorang wanita tiba-tiba saja menghampiriku, hal itu membuatku kaget dan latah seketika.

...Jika dilihat dari situasinya, sepertinya wanita ini merupakan pemilik dari para hewan-hewan yang ada di kandang ini, dan tentu saja kandangnya juga termasuk.

Jika dilihat dari wajahnya sepertinya wanita ini sudah tumbuh besar dan sudah menginjak usia yang hampir sama sepertiku. Ya, tumbuh besar. Mungkin medium, tidak..., mungkin medium setengah.

"Apa kamu ingin beli Naga Tanah?"

"Naga Tanah?"

Wanita tersebut bertanya padaku, aku yang bingung harus menjawab apa malah bertanya kembali padanya. Ia lalu terlihat bingung setelah aku mengembalikan pertanyaannya.

"Kalau kamu tidak ada urusan, mungkin kamu bisa pergi dari sini."

"Ba--baik."

Mengusirku dengan halus, aku lalu berpikir jika sepertinya sikap-sikap yang ada pada seseorang tidak terlalu berubah meskipun kau berada di dunia lain. Yah, setidaknya ia masih lembut padaku.

Aku pun pergi berjalan menjauh dari tempat tersebut sambil mengintip wanita yang baru saja mengusirku.

Setelah diusir dengan halus seperti itu, aku pun memutuskuan untuk melanjutkan jalan-jalanku di desa yang ada di dunia lain ini. Yah, mungkin kau bisa menyebutnya dengan vlog gabut, hanya saja tidak ada kameranya.

To Be Continued

avataravatar
Next chapter