1 1ST

KIMBERLY ZWIGER mengetatkan headphone di kedua belah telinganya. Dia terus berjalan sambil bersenandung menyusuri trotoar yang mulai dipenuhi para pekerja maupun orang-orang yang berolahraga pagi. Cerahnya langit Anchorage mampu mengurangi rasa suntuk yang baru saja dialaminya di rumah. Pertengkaran demi pertengkaran seolah enggan menjauh dari keluarganya. Mempunyai orang tua yang super sibuk dengan urusan mereka masing-masing sehingga tidak mempunyai waktu untuk berkumpul bersama. Kalaupun ada waktu untuk berkumpul, kebanyakan dihabiskan untuk bertengkar, menyalahkan satu sama lain, seolah merasa yang dilakukan salah seorang itu adalah yang paling benar.

Langit cerah dan hari yang indah selalu membuat semua orang gembira, bukan?

Sepertinya tidak juga. Bagi keluarga kecil Zwiger, cerah, mendung, gelap, terang, berbintang atau tidak sama saja. Tidak akan pernah ada kata damai jika mereka sudah berkumpul di satu ruangan yang sama. Kerthennis Zwiger dan Yessynah Zwiger merupakan suami-istri dengan pekerjaan yang banyak menghabiskan waktu mereka di luar rumah. Mereka sering bertengkar, bahkan kata 'pisah' pun sudah sangat sering terucap. Namun, orang tua mereka berusaha untuk menenangkan jika mereka sudah memulai untuk bertengkar lagi, dengan satu alasan: sepasang anak kembar yang baru akan menjelang dewasa butuh untuk diperhatikan.

Getaran ponsel di saku jin selutut yang dikenakan Kimberly menghentikan langkah dan langsung menjawab panggilan dari kembarannya. "Ada apa, Ken?"

"Kau di mana, Kim? Kau berniat bolos lagi, eh?"

"Ayolah, Ken! Aku tidak tahan berada di sana terus-terusan. Dan … sepertinya kau benar. Aku akan bolos lagi hari ini."

Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana. "Sekarang beri tahu saja di mana kau berada. Aku jemput sekarang!"

Kimberly mengentakkan kakinya kesal. "Di dekat kafe D'Kheeil," jawabnya ketus, lalu memutus sambungan.

Kimberly memilih untuk duduk di sebuah bangku yang ada di bawah pohon berseberangan dengan kafe yang barusan disebutnya. Dia menatap kosong ke arah langit cerah yang bersih tanpa awan.

Semenjak mengerti arti dari setiap perkataan yang terlontar dari mulut kedua orang tuanya, dia memutuskan untuk pergi—menghindari mereka—jika perang mulut itu akan terjadi. Pertengkaran itu sudah terjadi semenjak dia berusia empat belas tahun, hampir empat tahun yang lalu.

Berselang beberapa menit kemudian, seorang remaja laki-laki seusia Kimberly duduk di sampingnya. Dia hanya menoleh sekilas lalu kembali menatap langit. Laki-laki itu adalah Kenneth Zwiger. Kembaran yang tua dua menit darinya. Kembaran yang sangat protektif dan sedikit posesif. Bukankah itu baik?

"Jika kau datang untuk membujukku sekolah, maka kau gagal. Gagal total," tuturnya tanpa menoleh.

Kenneth ikutan menatap langit. "Aku sudah tahu kau akan menolak bujukanku. Aku hanya ingin ikut denganmu melupakan masalah di rumah. Mereka membuatku sangat muak!" perkataan Kenneth membuat Kimberly menoleh.

Kenneth benar. Dia juga merasa sangat muak melihat kedua orang tuanya bertengkar di hadapan mereka. Namun, dia dan Kenneth bisa apa? Mereka hanyalah sepasang anak kembar yang jika tanpa kedua orang tua yang membuat muak itu, mereka juga tidak akan terlahir ke dunia ini.

Kimberly menyandarkan kepalanya di bahu Kenneth. Selintas jika ada yang melihat mereka seperti itu, maka kebanyakan dari orang akan berpikir mereka adalah sepasang remaja yang sedang saling jatuh cinta. Begitulah keseharian si kembar Zwiger. Saling menguatkan di saat orang yang seharusnya memberi mereka kekuatan malah memberi contoh yang tidak pantas untuk ditiru jika nantinya sudah berumah tangga.

***

Mobil Lamborghini keluaran terbaru yang dikendarai Kenneth berhenti di depan mansion mewah bertingkat tiga. Si kembar turun lalu menautkan jemari mereka memasuki mansion itu.

"Aku lebih tenang tinggal di rumah Kakek daripada rumah Papa." Kenneth mengangguk setuju dengan perkataan Kimberly.

Mereka berdua tersenyum pada setiap asisten rumah tangga yang membungkukan badan di saat mereka lewat. Boleh dibilang mansion kakeknya ini adalah tempat pelarian di saat mereka muak dan merasa panas tinggal di rumah Kerthennis. Di mansion ini mereka lebih mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kakek dan nenek.

"Nenek!" Kimberly memeluk seorang wanita tua yang dipanggilnya nenek dengan erat.

Kenneth menghempaskan bokongnya di sofa lalu menghela napas panjang. Matanya terpejam dengan tangan mengurut pelipis. Dia kembali membuka matanya dan tersenyum kecut melihat kembarannya yang sedang berceloteh ria dengan nenek mereka. Mirisnya, mereka lebih menganggap kakek dan nenek sebagai orang tua karena hanya mereka yang sudah tua itulah yang mau mengurus dan melimpahkan kasih sayang pada si kembar.

Waktu berlalu begitu cepat. Taburan bintang menghiasi malam yang kelam. Kimberly duduk di balkon kamar yang biasa dia tempati jika menginap di mansion itu. Tangannya bergerak menghitung bintang yang bersinar terang di dekat bulan. Dia sangat menyukai bulan. Apalagi jika itu adalah bulan purnama.

'Karena bulan purnama begitu indah dan bumi menjadi terang olehnya'. Begitulah ungkapan suka dari Kimberly.

"Kebiasaan kecil yang harus kau ubah jika sudah menikah nanti!" Kenneth berucap dari balkon sebelah yang hanya berbatas pagar setinggi pinggang.

Kimberly mendengus sebal. "Kau selalu saja berujar tanpa memberi kode atau aba-aba. Jika nanti aku mati muda sebelum menikah, maka kau adalah orang pertama yang akan kugentayangi!" sungutnya.

Kenneth melompati pagar pembatas lalu ikut duduk di samping Kimberly. "Tadi Papa menelepon. Sepertinya mereka sudah sepakat untuk ... berpisah." tersirat kekecewaan dari cara penyampaiannya.

Kimberly hanya mengedikkan bahunya tidak acuh. "Kurasa lebih baik begitu, bukan?"

Mereka kembali terdiam. Memandangi bintang dan bulan yang menghiasi langit malam. Padahal dalam hati yang paling dalam, mereka sangat menginginkan sebuah keluarga yang bahagia dan saling memberi perhatian satu sama lain.

Kenneth berdeham, menatap Kimberly serius. "Jika nanti … mereka mempermasalahkan hak asuh, kau akan memilih siapa?"

Kimberly masih diam. Dia belum sempat terpikir sampai ke situ. Dia memejamkan matanya lalu menghela napas pelan. "Aku tidak akan memilih siapapun! Aku lebih memilih tinggal di sini!" jawabnya mantap.

Kenneth mengerutkan dahinya. "Kalau kau berkata begitu, maka aku juga sama."

Kembali terdiam. Dinginnya angin malam menepuk-nepuk kulit mereka. Kenneth menyuruh kembarannya masuk ke kamar untuk segera tidur. Kimberly yang tahu kembarannya itu paling anti dibantah pun langsung berdiri memutar badan, kembali ke kamar. Kenneth sendiri masih duduk di balkon memandangi bulan purnama yang terang benderang itu. Dia sangat tahu jika kembarannya sangat menyukai bulan purnama. Menoleh sekilas ke dalam kamar Kimberly untuk memastikan sudah tidur atau belum, baru setelah itu dia melompati pagar kembali ke kamarnya.

Sementara di balik pohon, di samping kamar yang ditempati Kenneth, seorang pria berbadan besar berseringai keji melihat ke arah dua kamar yang lampunya sudah mati itu. Pria itu berputar balik memanjat pagar yang hanya setinggi empat meter setelah dipastikannya tidak ada yang melihat. Sesampai di luar mansion, pria itu masuk ke dalam mobil yang telah menunggunya. Di dalam mobil itu sudah ada dua orang temannya yang mempunyai badan sama besarnya.

"Orang tua mereka akan bercerai. Kita bakal mendapatkan double!" ujar pria yang mengintip di mansion tadi. Temannya mengangguk mengerti.

***

"Kek, kami akan tinggal di sini setelah Mama dan Papa bercerai," ujar Kimberly yang diangguki Kenneth, menatap kakek dan nenek mereka bergantian. Mereka baru saja selesai sarapan dan sedang bersantai di ruang keluarga karena hari ini adalah hari Minggu.

Kakek dan nenek saling pandang. Mengerti kenapa kedua cucu mereka bisa berkata seperti itu. "Berbicaralah dengan orang tua kalian baik-baik terlebih dahulu. Tidak bisa memutuskan sepihak seperti itu." Nasihat kakek.

Kimberly mendesah, tertunduk lesu. Padahal dia sangat berharap kakek dan neneknya langsung menyetujui permintaan tersebut. Kenneth merangkul pundak kembarannya yang tertunduk itu.

"Kami akan berbicara dengan mereka," kata lelaki itu.

Kenneth mengajak Kimberly untuk pulang ke mansion Kerthennis. Setidaknya dia mampu berpikir lebih dewasa dibanding kembarannya, karena memang hanya dirinyalah satu-satunya saudara sekaligus penjaga bagi Kimberly. Dia sangat mengerti jika Kimberly merasa sangat terpukul dengan keputusan orang tua mereka.

Di saat remaja seusia kami seharusnya diperhatikan, tapi yang kami dapatkan malah umpatan. Itulah yang selalu dikatakan Kenneth.

Akhir pekan yang selalu dinanti-nantikan bagi kebanyakan keluarga membuat jalanan sedikit macet. Kebanyakan keluarga benar-benar memanfaatkan hari libur untuk berkumpul, tapi tidak bagi keluarga mereka.

"Kapan prosesnya?" Kenneth menoleh pada Kimberly yang sedang menatapnya.

"Besok," jawabnya prihatin.

Kimberly memasang kembali headphone sembari membuang pandang keluar jendela. Dengan kepala yang diangguk-anggukan, dia bersenandung mengikuti lagu yang diputar. Kenneth lebih suka melihat adiknya seperti itu dibanding menahan air mata melihat orang tua mereka bertengkar.

***

"Kami pulang!" seru Kenneth begitu mereka sampai di ruang tamu.

Hening. Tidak ada sahutan. Asisten rumah tangga yang biasa di rumah mereka tidak tampak seorang pun. Kenneth duduk di sofa sementara Kimberly ke dapur mengambil minuman untuk mereka. Saat kembali dari dapur, Kimberly memberikan secarik kertas pada Kenneth.

"Ditempel di kulkas."

'Papa harus ke luar kota sebentar. Semua asisten rumah tangga sudah dipecat. Mama kalian memilih untuk tinggal di hotel.

Love, Papa.'

Meski kedua orang tua mereka sering bertengkar, setidaknya Kerthennis lebih bisa memberikan—sedikit—perhatian dibanding Yessynah. Meski sebenarnya yang lebih dibutuhkan adalah sang mama itu sendiri. Kenneth meremukkan kertas itu lalu membuangnya asal, kemudian menyesap minuman kaleng yang dibawakan Kimberly untuknya.

"Aku akan menginap di rumah Nicta," ujar Kimberly membuat Kenneth tersedak minumannya.

"Kapan?"

"Mungkin akhir bulan ini."

"Tidak boleh!" sahut Kenneth.

"Oh … ayolah, Ken! Aku hanya mengerjakan tugas kelompok ke sana." Kimberly mengeluarkan jurusan andalannya. Puppy eyes.

Kenneth mencoba untuk tidak menatap mata Kimberly. Itu adalah kelemahannya jika kembarannya itu menatap dengan mata memohon.

"Ken ... boleh, ya?" bujuknya lagi. Hanya pada Kennethlah dia mengeluarkan segala unek-uneknya, termasuk meminta izin untuk pergi ke mana pun. "Kenneth!"

Kenneth menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan perlahan. "Baiklah, tapi aku yang mengantar," putusnya yang dihadiahi tepuk tangan girang dari Kimberly.

"Terima kasih, Kembaranku! Aku mencintaimu!" Dikecupnya pipi Kenneth.

"Oh, Tuhan! Benar-benar brother complex!" sungut Kenneth.

Mata Kimberly membulat. Tidak suka setiap kali dikatai seperti itu. "Enak saja! Aku cuma senang tahu!"

"Terserah!"

***

avataravatar
Next chapter