1 Prolog

Apartemenku, Turki, 2019.

Sore ini, aku sedang berkemas untuk bersiap pindah ke tempat yang lain, lagi. Setelah mendapatkan kabar terbaru kalau Lutfi terbang ke Jepang, aku langsung mengurus surat pengunduran diri dari perusahaan.

Tidak banyak yang kubawa. Hanya beberapa pakaian ganti, dan buku-bukuku dulu. Salah satu di antaranya adalah buku diary Lutfi, yang mana sepertiga bagiannya telah habis kalian baca pada buku pertama, Novel Gilangku.

Aku, berterimakasih kepada kalian semua yang telah membacanya dan telah dengan sangat tergesa-gesa untuk membantuku mencari keberadaan kekasih hatiku. Meski memang, kalian tidak membantuku dalam menemukan informasi tentangnya. Tapi, tetap saja, hal itu memberi motivasi untukku agar aku segera kembali bersama dengan wanita yang kucinta, Lutfi Nurtika.

Bersamanya, menggenggam tangannya, berbincang dengannya, bercanda dengannya, makan bersamanya, menjelajahi isi bumi dengannya, dan saling cinta seperti biasa, memiliki keluarga berdua.

Ya, itu harapanku, harapan yang terlampau besar memang jika dilihat dari segi Lutfi terus saja pergi menjauhiku tanpa sebab yang pasti. Namun, aku yakin, masih ada cinta di hatinya. Karena di hatiku, masih ada cinta untuknya.

Baru saja aku selesai meletakkan pakaianku ke dalam koper, mendadak terdengar salam dan suara pintu diketuk. "Pintunya tidak dikunci," kataku menyilahkan orang itu masuk dan kembali pada kegiatanku. Aku bertindak demikian karena paham dengan pemilik suara itu.

"Kau yakin mau pergi?" tanya pria paruh baya dalam bahasa Turki setelah pintu dibuka. Dia Kahraman, seorang pria tua yang menjadi tetanggaku di apartemen ini. Lima tahun lalu, istrinya mendahului pergi ke tempat Tuhan berada setelah mengalami kecelakaan, sedang anak cucunya pergi entah ke mana. Namun secara kebetulan aku menemukan putri bungsunya yang ternyata pemilik restoran tempat Lutfi bekerja. Terkadang, dunia memang tak seluas semestinya.

Selama lima tahun hidup seorang diri Kakek Kahraman hanya mengandalkan jatah pensiunannya, dan memang di usianya yang hampir menginjak 70 tahun dia sudah tidak seproduktif pria usia 30 tahunan. Kalian pasti bisa membayangkannya, betapa sulitnya hidup dengan hanya mengandalkan uang pensiunan, bukan cuma—terkadang uang itu sulit cair, tapi juga jumlahnya yang tidak seberapa. Untung saja Kakek Kahraman tidak memiliki tanggungan cicilan rumah dan atau cicilan barang lainnya. Jadi, yang dia butuhkan selain keluarganya hanya makan.

Oleh sebab itu, awal aku mendapat informasi tentang kehidupan Kakek Kahraman dari pemilik apartemen ini, aku sering kali meninggalkan buah pisang seepek pada pagi hari, dan waktu sore menjelang malam aku meninggalkan sarma—makanan yang terbuat dari nasi berbumbu diselimuti daun anggur muda atau daun tertentu lainnya, dimasak dengan cara dikukus atau direbus dengan sedikit air; atau ekmek—roti.

Dan setelah seminggu aku melakukan rutinitas itu, Kakek Kahraman meninggalkan surat di kolong pintu ruanganku untuk mengajakku makan malam, yang akhirnya membuat aku jadi sering mampir ke tempatnya sekadar makan atau ngobrol. Jadi, tidak ada salahnya kalau aku menganggap dia seperti saudara sendiri, seperti Kakekku sendiri.

Aku bangkit lalu menatap ke arah Kakek Kahraman. "Begitulah,"

"Huh.... bangunan ini akan jadi membosankan, dan kau bakal membuat pria tua sepertiku kesepian, lagi." ujarnya dengan nada kecewa.

Aku melempar senyum, mendekat ke arahnya, dan mengajaknya duduk. "Ke mana anakmu?"

"Aku menyuruhnya pulang," jawab Kakek Kahraman.

"Jadi, kau masih belum bisa menerima dia?" tanyaku.

"Sulit menerima mereka yang sudah membiarkanku sendirian selama lima tahun. Itu bukan waktu yang sebentar! ... Lagi pula...." kata dia akhirnya. "aku tidak ingin merepotkan mereka."

Aku senyum mendengar pengakuan darinya, sekaligus kagum karena dia tidak memiliki dendam kepada anak-anaknya yang menghilang selama lima tahun, membiarkan dirinya hidup seorang diri selepas kematian istrinya. Mungkin begitulah orang tua seharusnya. Seperti apa pun kesalahan si anak, orang tua tetap harus bertindak bijak dan ada keinginan besar untuk tidak merepotkan anak-anaknya.

Ah.... aku jadi makin tidak sabar merasakan bagaimana menjadi orang tua. Semoga saja aku lebih baik dari Kakek Kahraman atau orang tua lain pada umumnya. Tapi sebelum itu, aku harus menemukan Lutfi secepatnya, sebelum rambutku berubah memutih, atau aku tidak akan memiliki keturunan.

"Jadi, kau tidak mau meninggalkan apartemen ini?" tanyaku.

Dia mengangguk. "Selain cincin nikah, itu adalah satu-satunya benda yang diinginkan almarhum istriku. Terlalu banyak kenangan, terlalu berat untukku melepasnya. Aku.... memang sangat mencintainya."

"Aku juga," ucapku membuat dia terkejut. "aku sulit melepaskan Lutfi. Aku teramat cinta kepadanya."

Kakek Kahraman mengatur napas. "Sudah berapa lama tunanganmu pergi?"

"Empat bulan, lebih tiga hari." Aku jawab.

"Kau masih mau mencarinya?" Dia nanya.

Aku mengangguk.

"Kau yakin dengan keputusanmu itu?"

Kujawab dengan gerakan kepala seperti sebelumnya.

"Hmmm...." gumam Kakek Kahraman. "mungkin saja, tunanganmu memang sudah memutuskan untuk berpisah denganmu."

Aku melempar senyum. Bagiku, kalimat itu sudah sangat sering kudengar. "Ketika istrimu pergi dan tidak kembali sampai sekarang, apa itu adalah sebuah perpisahan hubunganmu dengannya?"

Tampak wajahnya berubah terkejut.

"Kau tau, bagiku, tidak ada perpisahan sebelum dia meminta berpisah secara langsung kepadaku."

Kakek Kahraman menghembus napas. "Kau memang sangat mirip denganku saat muda ... sangat keras kepala."

"Apa itu sebuah pujian?" tanyaku sembari bangkit menuju dapur. Membuat minum.

"Tentu saja, dalam konteks positif. Selain baik kepada orang lain, kau juga bersungguh-sungguh mencintai kekasihmu. Sangat keras kepala! Sampai membuat pasanganmu kesulitan. Mungkin saja, tunanganmu seperti Rahsheda istriku." ujar Kakek Kahraman menjelaskan.

"Dia pernah pergi, juga?" Aku bertanya sambil menuang teh ke dalam cangkir.

Kakek Kahraman mengangguk. "Kejadiannya memang sangat mirip dengan apa yang sedang kau alami."

Aku kembali dan menghidangkannya. "Silahkan,"

"Wah.... teh herbal. Kau memang mengerti orang tua sepertiku." ucapnya lalu menyeruput isi cangkirnya.

"Ceritakan!" pintaku mendesak.

Dia terkekeh. "Melihatmu, benar-benar seakan melihat pantulan diriku saat muda." Dia menggumam lalu melanjutkan kalimatnya. "Seperti Lutfimu, dulu, empat puluh lima tahun yang lalu, istriku Rahsheda juga menghilang setelah aku melamarnya,"

Aku terkejut mendengar pengakuan Kakek Kahraman. "Aku baru mendengar kabar itu,"

Dia senyum dan kembali berkata. "Aku bahkan perlu mengunjungi empat negara untuk bisa menemukannya."

Aku tertunduk, sekaligus berharap dan berdoa supaya aku tidak akan selama itu dalam menemukan Lutfi.

"Jadi, kau tau, satu tahun untuk setiap negara...."

"Ah," Anggukku. "itu perjuangan yang berat. Jadi, kenapa kau mau melakukannya?"

"Sepertimu," katanya dan kembali meminum teh. "bagiku tidak ada perpisahan sebelum dia meminta pisah kepadaku secara langsung. Dan.... meski dia sudah meminta pisah secara langsung, aku tetap tidak akan menganggap berpisah sebelum dia menikah dengan orang lain. Lebih dari itu.... meski dia sudah menikah, aku akan tetap menunggu dirinya bercerai dengan suaminya itu, atau menunggu sampai suaminya meninggal."

"He," Aku terkekeh bercampur salut. Perjuangannya luar biasa. Aku jadi makin menghormatinya. "kau memang keras kepala."

"Begitulah cinta. Bukan hanya membuat buta tapi benar-benar membuat orang kehilangan seluruh indranya." tanggap Kakeh Kahraman.

Aku mengangguk setuju.  "Jadi.... apa yang dia katakan saat kau menemukannya?"

"Apa kau bermaksud memintaku mengumbarkan hal yang harus kau dapatkan lebih dulu?" Dia balik bertanya.

Aku tersentak, lalu menghembus napas pelan. "Benar juga. Aku harus mendengarnya sendiri."

"Dengar, meski tampangku begini, aku pernah bekerja sebagai dosen selama dua puluh lima tahun, dan sudah mengalami masalah yang menimpamu saat ini ... jadi aku harap kau mengingat saran dariku yang satu ini." ucapnya dengan nada serius.

Aku menjawabnya dengan anggukan.

"'Percayalah dengan cinta Lutfimu.' ....Itu adalah hal sederhana, tapi saat kau meragukan cintanya kau akan makin terpuruk dan keluar dari jalur yang benar, di mana kau akan bisa menemukannya." ujar Kakek Kahraman menjelaskan.

Aku diam. Masih mencoba mengolah penjelasan darinya.

Mendadak dia tertawa, membuatku terkejut dan kembali memandang ke arahnya. "Ternyata aku salah, ....kau sama sekali tidak mirip denganku,"

"Apa maksudmu?" tanyaku.

"Kau punya mata yang tajam. Aku yakin, keinginanmu untuk bisa bertemu dengan wanita yang kau cinta melebihi perasaanku." kata Kakek Kahraman berhasil menyentuh hatiku, membuatku merinding.

"Semoga saja feelingmu benar,"

"Kau akan membuktikannya bukan?" tanyanya seakan memberiku beban kalau aku harus bisa menemukan Lutfi lebih cepat daripada dirinya. Paling tidak, setengah dari waktu Kakek Kahraman menemukan istrinya, Nenek Rahsheda.

Aku terbahak. "Jadi, kenapa kau ke mari?" tanyaku kemudian.

"Ah!" Dia berseru seakan baru mengingat tujuan utamanya. "Aku datang karena pesan. Aku harus memberimu ini," katanya sambil meletakkan sebuah amplop di atas meja. "Bacalah setelah kau menemukan Lutfimu."

"Ah.... semoga saja pesan ini tidak perlu menunggu terlalu lama." kataku.

"Lakukanlah sebaik mungkin," tutur Kakek Kahraman.

Aku mengangguk, meraihnya, lalu menyimpan surat itu pada koperku, dan kembali duduk di hadapan Kakek Kahraman. Tapi mendadak dia bangkit. "Aku akan pergi sekarang," ucapnya.

"Kenapa?" tanyaku.

"Kau perlu membereskan barang bawaanmu, bukan?" Kakek Kahraman balik bertanya.

Aku mengiyakan dengan isyarat.

"Kalau begitu, sampai jumpa. Sempatkan waktu untuk mengunjungi pria tua yang hampir mati ini, dan pastikan.... kau akan datang bersama Lutfi, Gilang. Bana söz ver!" pintanya.

"Söz veriyorum!" tanggapku.

Aku menutup pintu dan kembali melanjutkan kegiatanku. Sebetulnya masih banyak kejanggalan dalam benakku untuk terbang ke Jepang, maksudku, aku belum tahu apakah Lutfi benar-benar ada di sana atau tidak, dan juga aku cukup khawatir dengan kondisi Kakek Kahraman yang mulai banyak terserang penyakit karena umurnya yang tidak lagi muda. Tapi, aku bukan keluarganya, aku tidak perlu bertanggungjawab akan hidupnya. Lebih daripada itu, dia sudah bertemu dengan seluruh anak cucunya, meski pada pertemuan pertama dia membentak mereka supaya cepat pulang. Tapi aku yakin, itu hanya masalah waktu sebelum dia bisa berkumpul lagi dengan keluarganya.

Dan, itulah yang harus kulakukan sekarang, meski harapanku bertemu dengan Lutfi di Jepang kurang dari sepuluh persen, aku tetap akan melakukan perjalanan ke sana. Karena hanya itulah satu-satunya petunjuk yang kupunya.

Saat sedang memilih-memilah buku yang akan kubawa, dan yang akan kukirimkan ke rumah di Banyumas, Indonesia, mataku tertuju kepada sebuah buku bercover cokelat tua dengan penanda yang bertulis "The Missing Lovers".

Itu adalah buku lamaku, perjalanan sebelum aku bisa tiba di Turki. Dan mungkin, kalau aku membacanya, aku akan mengingat usaha yang begitu luar biasa yang mana mengharuskanku untuk tidak menyerah sampai bisa menemukan Lutfi, dan mendengar alasannya terus saja pergi menjauhiku.

Mungkin juga, kisah masa laluku itu dapat kukirimkan ke penerbit sebelum aku terbang ke Jepang satu minggu lagi. Dan mungkin saja, dengan membacanya aku akan mengetahui segala hal yang sudah kulupakan selama ini.

Aku bangkit, lalu duduk di meja kerjaku. Kubuka buku bercover cokelat tua dengan perasaan menggebu, tentang kerinduan yang teramat.

Aku mulai membaca.

avataravatar
Next chapter