6 Terang hati

Zahra menatapku tajam dari dekat seolah-olah ingin mengumpat. Aku mengabaikan pandangannya, berpura-pura tidak melihatnya.

Aku hanya ingin menikmati keberadaan ku di Aceh. Terlepas dari semua hal yang menjengkelkan. Terutama Zahra yang seringkali bersikap akrab, ia pikir aku menaruh hati padanya, ia tak tahu membaca sikap seseorang, aku benar-benar membencinya.

Di sela-sela kesibukanku disini, aku sering mengunjungi tempat terindah, berjalan sendiri di keramaian. Duniaku milikku sendiri. Ketika tidak ada jadwal pertandingan ataupun jadwal latihan, aku sering pergi sendiri.

Pernah suatu hari ketika aku keluar dari pintu penginapan menuju ke suatu tempat di pusat kota. Zahra datang entah darimana menghampiriku.

"Kamu mau kemana?". Tanyanya dengan bertingkah genit. Aku tetap melangkah tanpa menjawab pertanyaannya. Dia mengikuti tepat dibelakangku perlahan berada di sampingku. Aku heran dengan wanita ini, apa yang ia harapkan dariku.

"Aku ingin jalan denganmu". katanya sambil berusaha menggandeng tanganku. Aku mulai resah dan tidak nyaman karena tingkahnya itu. Aku tak ingin memulai perdebatan dengannya karena ku tahu bahwa pasti pada akhirnya aku akan tetap kalah. Ku biarkan ia kali ini dan terakhir kalinya.

Banyak hal yang kulakukan hari itu, hingga aku tidak menyadari bahwa hari mulai gelap. Menjelang magrib, Zahra meminta untuk menunggu sejenak. Kami berhenti tepat didepan sebuah masjid yang sangat besar dan megah.

"Bisakah kita istirahat sejenak?"

"Aku ingin beribadah sebentar"

"Sebentar saja"

Aku hanya diam dan mengangguk. Zahrah menitipkan ranselnya kepadaku perlahan ia masuk kedalam masjid.

"Mengapa wanita ini membawa ransel yang agak ringan?". Tanyaku penasaran.

Kucoba mengintip isi dalam ranselnya. Sungguh aku sangat terkejut ketika melihat hanya ada sebuah Al-Qur'an dalam ranselnya. Aku bertanya-tanya dalam hati, Dibalik sisinya yang menjengkelkan, ternyata Zahrah adalah wanita yang Sholehah, Wanita yang taat beragama. Sedangkan aku, sejak berada di Indonesia, sangat jarang aku membaca Al-Kitab ku sendiri. Bahkan pula hanya beberapa kali aku mengunjungi gereja.

Aku duduk di bangku sekitar masjid sambil menunggu Zahrah selesai beribadah. Ia pun datang dengan wajah yang bersinar, aku sempat terpukau melihat kecantikannya. Waktunya melanjutkan perjalanan.

Seketika rasa benci ku terhadapnya menghilang berganti menjadi rasa penasaran. Tubuhku diam kaku saat berjalan bersamanya. Sementara ia masih tetap sama dengan menggandeng tanganku. Masih ku telusuri kota ini bersamanya, menikmati angin malam. Cahaya lampu yang terang berkedip-kedip. Makan sambil menikmati pemandangan laut malam.

Ku pandangi ia ketika makan tepat duduk didepan ku. Sepertinya telah kurasakan rasa penasaran itu telah berubah menjadi rasa cinta.

Jantungku berdetak kencang ketika akan melihatnya. Namun ternyata sudah lebih dulu ia menatapku. Keadaan itu seakan-akan menghentikan sekitarku.

"Apakah kamu mencintaiku?". Tanyanya dengan mata menatap tajam.

Aku hanya diam.

"Jadilah kekasihku". Lanjutnya masih menatap.

Tanganku menggenggam erat tangannya kemudian mengangguk dan tersenyum.

Dijalan setapak menuju pulang. Rasanya agak canggung. Ia tidak lagi menggenggam tanganku. Ku beranikan diri meraih tangannya yang kaku. Ia menunduk malu dana tersenyum. Malam ini adalah malam yang paling bahagia bagi kami berdua.

Sejak malam itu aku sangat dekat dengannya. Hari-hari di Aceh tak sekalipun ku habiskan dengan sendiri, selalu saja ada Zahrah di sampingku. Perasaan luar biasa adalah ketika aku berada di tengah-tengah lapangan futsal, sedangkan Zahrah berdiri di tribun atas sambil berteriak memanggil namaku.

Ketika menang ia menyanjungku. Ketika kalah ia menenangkan ku. Aku adalah orang yang terlalu fanatik terhadap olahraga futsal. Suatu ketika tim ku kalah di final melawan tuan rumah. Hatiku benar-benar hancur. Tidak ku pedulikan orang-orang di sekitarku termasuk Zahrah. Aku pergi meninggalkan mereka dengan menunduk, diam-diam meneteskan air mata. Berjalan tanpa arah seperti biasanya. Tanpa kusadari Zahrah mengikuti di belakang. Aku mengabaikan. Hanya saja rasa kecewa dalam hati membuatku merasa malu dan bersalah. Itu adalah kekalahan pertamaku di final. Sepanjang hidupku ketika bermain futsal, tak pernah sekalipun aku kalah. Ketika hari ini datang kekalahan padaku, aku merasa sangat buruk dan terpuruk.

Beruntungnya selalu ada wanita ini disamping ku. Menemani dan memberi support, meyakinkan bahwa itu bukanlah segalanya.

"ketika tak ada tangan-tangan yang mengusap kepalamu disaat engkau berada pada keadaan diluar kendali mu. Percayalah bahwa selalu ada bahu ini untuk engkau bersandar". Aku melewati masa-masa itu akibat dari kalimat ini. Tak ada lagi beban dalam hatiku. Ku tinggalkan Aceh dengan hati yang tenang dan tangan yang mendekap erat (perasaan bahagia). Wanita cantik yang duduk disamping ku, aku bersyukur memilikinya. Mengharapkan ia tetap berada disini, bersamaku, lalu menghabiskan waktu.

avataravatar
Next chapter