19 Semester Lima

Aku telah terbiasa tanpa Zahrah. Kujalani seluruh hari-hari ku berbeda dari sebelumnya. Awalnya memang agak sedikit sulit namun semua itu hanya sementara saja, semua akan baik-baik saja kedepannya.

Aku lebih berfokus lagi pada dua hal yang lebih penting, yaitu Menyelesaikan studi dan memperdalam ilmu agama. Belum pernah ku ceritakan kepada ibuku bahwa aku telah memeluk agama Islam. Aku hanya ingin memberitahukan ketika aku telah kembali ke Korea.

Semester ini berjalan seperti biasa, namun saat ini aku lebih sering sendiri. Zahrah yang mulai melupakanku tanpa penjelasan dan Ariel yang sedang cuti kuliah karena keinginannya sendiri. Sungguh aku benar-benar sendiri.

Didalam kelas ketika selesai perkuliahan, seluruh teman telah meninggalkan kelas, hanya aku dan dosen yang sedang memainkan laptopnya. Sementara aku dengan buku tebal karya imam Al-Ghazali yang paling populer dikalangan umat muslim, buku yang berjudul Ihya Ulumuddin (احياء علوم الدين ).

Buku ini salah satu yang paling sering aku baca, yang menjelaskan tentang kaidah dan prinsip dalam penyucian jiwa. Yakni menyeru kepada kebersihan jiwa dalam beragama, sifat takwa, konsep zuhud, rasa cinta yang hakiki, merawat hati serta jiwa dan senantiasa menanamkan sifat ikhlas di dalam beragama. Kandungan lain dari kitab ini berkenaan tentang wajibnya menuntut ilmu, keutamaan ilmu, bahaya tanpa ilmu, persoalan-persoalan dasar dalam ibadah seperti thaharah dan sholat, adab-adab terhadap al-Qur'an, dzikir dan doa, penerapan adab akhlak seorang muslim di dalam pelbagai aspek kehidupan, hakikat persaudaraan (ukhuwah), bimbingan memperbaiki akhlak, bagaimana mengendalikan syahwat, bahaya lisan, mencegah sifat dengki dan emosi, zuhud, mendidik rasa bersyukur dan sabar, menjauhi sifat sombong, ajakan senantiasa bertaubat, pentingnya kedudukan tauhid, pentingnya niat dan kejujuran, konsep mendekatkan diri kepada Allah (muraqabah), tafakur, mengingat mati dan rahmat Allah, dan mencintai Rasulullah Saw.

Buku ini anjuran untuk kita semua yang beragama Islam. Sementara itu ketika fokus pada bacan ku, dosen itu melempar pertanyaan kepadaku.

"kamu belum pulang?"

"Belum pak".

Hanya seperti itu dan beliau kembali berfokus pada laptopnya begitu pula denganku tetap berfokus pada bacaan ku.

Dan beliau kembali membuka percakapan.

"Imam Al-Ghazali pernah berkata bahwa didiklah anakmu dua puluh lima tahun sebelum ia lahir. Bisakah engkau menjelaskan itu?".

Maka saya menjawab.

"Sejauh yang saya tahu pak, itu berlaku untuk calon orang tua. Biasanya orang-orang akan menikah pada umur dua puluh lima tahun, maka sebagai calon orang tua kita harus mendidik diri sendiri, memperbaiki, dan mempersiapkan bekal untuk menjadi orang tua bagi anak-anak kita nantinya. Ada sebuah istilah atau pribahasa yang pernah saya dengar "Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya". Begitu pula, sifat orang tua tidak akan jauh berbeda dari sifat anaknya."

Mendengar jawaban dari saya, dosen itu tersenyum dan berkata. "Kamu telah mengetahui hal itu, maka menikahlah."

"Hahahaha, tidak sekarang pak, itu terlalu cepat".

Kami pun tertawa bersama. Lebih panjang lagi berdiskusi santai, bertukar pendapat tentang sesuatu, sesekali ia mengulang perkataannya "maka menikahlah".

Aku tersipu malu ketika beliau bercanda akan hal itu. Aku pun mulai akrab dengan dosen itu, namanya pak Haris, salah satu dosen terbaik, cerdas, suka bercanda, mudah akrab, dan salah satu panutan bagi saya.

Beliau memberi kesan baik sejak hari itu, sering kali setelah hari itu beliau mengajak saya makan di kantin sambil bercerita apa saja, tentang perkuliahan, tentang pribadi, tentang agama, mendiskusikan tentang hal yang sedang viral, dan itu baik untuk saya menambah wawasan.

Sepanjang semester lima ini aku sering datang bertamu ke rumah pak Haris, tentu saja dengan janji terlebih dahulu. Pernah juga beliau sendiri yang memintaku untuk datang, menikmati kopi dibawah teras rumahnya dengan suasana malam yang sunyi tenang. Hari Jum'at dan Sabtu telah menjadi rutinitas untuk saya datang ke rumah beliau, selalu ada hal yang bisa untuk didiskusikan bahkan hingga menjelang subuh.

Pernah suatu hari di waktu subuh, sebagai penutup dari diskusi malam itu, beliau memberi nasehat.

Beliau berkata "Nak, Jika Allah ingin menilai seseorang, maka Allah melihat dari sisi yang mana dari orang itu? Tentu saja dari hatinya kan?. Bukankah nabi telah menjelaskan bahwa ada segumpal daging dalam diri manusia yang jika itu baik maka baik pula yang lainnya, itu tidak lain adalah hati. Jangan melihat seseorang dari fisiknya, dari hartanya, dari apa yang ia miliki(materi) karena semua itu memiliki masanya, tidak ada yang abadi. Nak, perbaiki niatmu dalam hal apapun. Niatmu beribadah, niatmu berbuat kebaikan kepada dirimu sendiri dan kepada orang lain, jika bukan karena Allah, maka sia-sialah semua yang engkau kerjakan. Nak, begitu pula untuk kuliah mu, jangan pernah niatkan untuk mendapatkan ijazah, jangan pernah niatkan untuk mendapatkan gelar, seluruhnya itu tidak penting, jika bukan karena Allah. Nak, Imam Al-Ghazali pernah berkata bahwa saya pernah mencari ilmu bukan karena Allah, maka ilmu itu tidak mau, kecuali ilmu itu untuk Allah.

avataravatar
Next chapter