15 Semester Empat

Tidak terasa kini aku telah setengah perjalanan untuk menyelesaikan studi ku. Kurang lebih aku telah dua tahu berada di Indonesia. Itu adalah waktu yang cukup lama meninggalkan kampung halamanku, ibuku, dan juga keluargaku.

Telah ku tekadkan untuk tidak pernah pulang(ke Korea) sebelum aku menyelesaikan studi ku. Itu adalah janji antara aku dan diriku sendiri.

Semester empat berjalan seperti seharusnya. Aku salah satu murid yang termasuk rajin mengikuti perkuliahan. Tidak pernah sekalipun aku absen dalam perkuliahan kecuali dalam keadaan darurat, sakit yang tidak mampu ku gerakkan tubuhku.

Dalam perkuliahan kali ini, aku hanya sesekali bertemu Zahrah. Aku tetap mencintainya, bahkan sangat mencintainya, hanya saja aku tidak ingin terlalu menunjukkan rasa cinta itu. Ku cintai ia dalam diam ku. Hanya aku dan Tuhan yang tahu.

Keterikatan aku dan Tuhan membuatku lebih menjaga jarak dengan Zahrah. Aku tidak ingin melewati batas seharusnya.

Didalam kelas aku belajar lebih giat dari sebelumnya. Ruang kelas, perpustakaan, Masjid, dan lapangan futsal. Itulah tempat ku banyak menghabiskan waktu selain dirumah. Mendengarkan materi perkuliahan, berdiskusi dengan teman kampus, membaca buku, beribadah, mendengarkan kajian islami, dan bermain futsal. Itulah kesibukanku saat ini. Untuk bersama Zahrah hanya sedikit waktu yang kuberikan untuknya. Itupun hanya ketika ia menemuiku.

Kini aku lebih sadar keberadaan ku didunia ini. Bahwa tidak ada suatu hal pun yang penting kecuali untuk beribadah kepadaNya. Menuntut ilmu adalah ibadah. Segala sesuatu tergantung dari niat nya.

Dalam proses belajar mengajar, pada ruang kelas. Datang seorang laki-laki menghampiriku ketika aku sedang duduk membaca buku.

"Aku memintamu baik-baik untuk menjauhi Zahrah". Katanya dengan raut wajah yang marah.

Pukulan tepat sasaran mendarat di wajahku, pukulan kedua tepat di kedua pipiku silih berganti. Hidungku mengeluarkan darah. Teman-teman di ruang kelas berusaha menghentikan laki-laki itu.

Kebetulan pada saat itu aku tanpa Ariel. Aku memilih kelasku sendiri. Zahrah berada di ruang kelas yang lain. Aku hanya sendiri. Beruntungnya orang-orang di ruang kelas ini peduli terhadapku sehingga membantuku mencegah laki-laki itu lebih jauh lagi.

Kulihat sungguh ia sangat marah terhadapku. Aku tidak mengerti mengapa ia begitu marah. Seingatku, aku tidak pernah memiliki musuh.

Seorang teman yang duduk di sebelahku berusaha menenangkan ku dan berkata

"dia(laki-laki itu) marah karena sejak dulu ia telah jatuh cinta kepada Zahrah dan terus menerus mengejarnya, karena itulah ia memukulmu."

Wajahku babak belur dan kesakitan. Aku meninggalkan ruang kelas dan pulang. Untuk pertama kalinya sejak aku kuliah disini, aku absen dalam perkuliahan. Aku tidak ingin masalah ini membesar, maka sebaiknya aku membuat situasinya sedikit tenang.

Ku tenangkan diriku dalam kamar sendiri, Ku obati luka memar di wajahku. Merenungi kesalahanku, mengoreksi diri sendiri, lalu mengambil wudhu, lalu mengadu pada Allah.

"Apakah ini teguran darimu wahai Tuhanku, apakah ini caramu menunjukkan bahwa engkau cemburu wahai Tuhanku?. Tidakkah engkau tahu bahwa aku mencintaimu lebih dari dunia ini dan seisinya. Hamba memohon ampunan untuk diri hamba sendiri atas ketidakpekaan hati hamba menerima teguran mu wahai Tuhanku. Ijinkan hamba memperbaiki itu."

Keesokan harinya. Setelah kejadian itu, Seluruh kampus mengetahui kejadian kemarin. Aku tahu bahwa ini akan tersebar begitu cepat. Zahrah mencari ku kemana-mana, begitu pula dengan Ariel. Aku masih di rumah dan tidak mengikuti perkuliahan pagi harinya, aku berencana untuk ikut perkuliahan siang hari. Seharusnya hal ini tidak menggangu kuliahku. Aku berfikir sejenak lalu memutuskan untuk mengikuti perkuliahan.

Aku bosan menjadi pusat perhatian. Ku abaikan seluruh mata yang melihatku. Zahrah melihatku dengan wajah yang terlihat cemas dan mata yang berkaca-kaca. Ia terlihat ketika aku masuk kedalam ruang kelas. Ia mengambil tempat duduk di sudut paling belakang, tepat disebelah Ariel. Kulihat kursi yang biasanya sering aku duduk disana tepat disebelah Ariel disisi yang lain. Aku menunduk dan menuju ke tempat dudukku.

Ariel meminta Zahrah bertukar tempat, Zahrah pun menyetujui. Sekarang Zahrah tepat di sebelahku.

"Kenapa wajahmu seperti itu?". Tanya Zahrah dengan cemas.

Aku menjawab dengan bahasa isyarat, meminta Zahrah untuk diam tanpa meliriknya.

"Bagaimana bisa terjadi seperti ini". Tanya Zahrah lanjut.

"Kenapa ia lakukan ini terhadapmu?".

Zahrah mengoceh tanpa henti dan itu membuatku tidak nyaman.

"Diamlah, aku baik-baik saja". Jawabku yang sedikit agak mengabaikannya.

Zahrah menutup wajahnya dan menangis menunduk.

Ariel memberi kode kebingungan, memarahiku tanpa bersuara, mengatakan bahwa aku bodoh. Aku membalas dengan mengejeknya dan tertawa tanpa bersuara.

Ku tulis sebuah pesan pada selembar kertas.

"Zahrah, maafkan aku. bukannya aku mengabaikanmu. Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk membahas hal itu, aku akan menceritakan semuanya pada jam lainnya, bukan pada jam perkuliahan. Kumohon mengertilah, tempatkan sesuatu pada tempatnya. Saat ini kita sedang kuliah, semoga kau mengerti".

Lagipula itu bukan hal yang perlu untuk dijelaskan, aku hanya ingin itu berlalu begitu saja.

Aku berdiri dan menyimpan pesan itu dibawah lengan Zahrah yang masih menutup wajahnya karena menangis, lalu aku berjalan keluar ruang kelas untuk membeli kopi.

Ketika perkuliahan hari ini telah selesai, aku menemui Zahrah dan menceritakan semuanya. Ia menangis dihadapan ku. Sungguh teriris hati ini melihatnya meneteskan air mata.

Sejak kejadian itu, dan hari itulah terakhir kalinya aku berbicara dengan Zahrah. Setelah itu ia terlihat mengabaikan ku. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan.

avataravatar
Next chapter