5 Semester Dua

Waktu telah berlalu, hasil ujian semester satu tidak ada yang bermasalah, semua diatas standar, artinya aku tidak memiliki beban untuk melanjutkan pada semester berikutnya. Aku bahagia dengan hasil dari apa yang aku usahakan sendiri, tentu saja selalu ada orang yang membantu dan tak lupa bahwa selalu ada doa ibu yang di kirimkan untukku.

Melepaskan gelisah dalam hati dan berfokus pada semester dua, itu penting untuk ku lakukan. Aku ingin segera kembali ke kampung halamanku, maka dari itu aku ingin segera menyelesaikan studi ku disini. Berkat bantuan dan nasehat dari sahabatku Ariel, aku perlahan sedikit membaik, dan melupakan sejenak apa yang mengganggu pikiranku. Banyaknya tugas yang sering di berikan oleh dosen membuatku tidak memiliki waktu untuk memikirkan hal itu, di tambah lagi dengan Ariel yang sering mengajakku berfokus pada tugas dan diskusi tentang materi perkuliahan, sehingga aku membuang jauh materi yang ada di kepala yang tidak termasuk materi perkuliahan. Aku takut aku akan kembali pada titik dimana kejiwaan ku sempat drop dan ragaku sempat kaku.

Perkuliahan berjalan seperti biasanya, bedanya adalah aku sering berpindah kelas sesuai jadwal yang aku sendiri tentukan, namun tak pernah sekalipun aku beda kelas dengan sahabatku Ariel, karena kartu rencana studi ku sama dengan jadwal milik Ariel, dia yang mengurus hal itu ketika aku sakit. Aku sangat terbantu sejak aku mengenal Ariel, banyak hal tidak bisa aku lakukan, dia melakukannya untukku, suatu hari nanti aku bertekad akan membalas jasa sahabatku itu. Aku terbiasa dengan orang baru yang datang kepadaku dengan tujuan tertentu. Pernah suatu hari didalam kelas, aku mengamati teman sekelas ku dengan diam-diam untuk mengetahui tingkah laku mereka baik itu ketika mereka sedang sendiri ataupun sedang menjadi pusat perhatian. Tiba-tiba datang seorang wanita cantik dengan kain yang menutupi kepalanya berjalan ke arahku sambil menatap tajam. wanita itu di kenal sebagai wanita yang pendiam. Ia berhenti tepat di depanku dan berkata "berhentilah menatapku diam-diam, aku tidak nyaman dengan itu". Ruang kelas menjadi sunyi seketika, aku menjadi pusat perhatian, seluruh mata menatapku tajam, Ariel yang duduk di sebelahku hanya bisa terdiam menunduk. Wanita itu kembali berkata "aku tahu kamu sering melakukan itu sejak semester lalu, tapi aku hanya diam, sekarang aku tidak bisa membiarkan itu terjadi lagi, katakan apa alasanmu melakukan itu". Saat itu aku seperti orang yang tertangkap basah mencuri, sungguh betapa memalukannya itu. Berulang kali aku mengucapkan kata maaf, tetapi ia tidak juga beranjak meninggalkan tempatnya berdiri, sedangkan aku tetap tertunduk malu dan mengulang kata maaf. Beruntungnya dosen datang sehingga semua kembali ke tempat duduknya dengan tenang, sejenak melupakan hal itu untuk sementara. Pelajaran dimulai, dosen memberikan materi, aku masih bertanya-tanya dalam hati apa yang salah dengan itu, bagaimana ia tahu bahwa aku sering mengamatinya, apakah wanita itu begitu mudah untuk tersinggung karena hal yang kupikir hanya persoalan kecil, aku telah meminta maaf, apakah ia berharap lebih dari sekedar ucapan maaf. Sepanjang pelajaran itu aku tidak pernah fokus dengan pelajaran yang diterangkan oleh dosen, pikiranku terus berfokus pada hal itu, ahh sialnya.

Sejak saat itu aku di cap sebagai penguntit, di jurusanku, seluruh mahasiswa mengenalku dengan sebutan itu, awalnya itu membebaniku, lama kelamaan aku mulai terbiasa dengan itu dan seiring berjalannya waktu teman-teman mulai melupakannya. Dan lagi ketika di perpustakaan kampus, aku duduk bersama Ariel, masih berfokus pada buku yang aku genggam, aku tidak mengamati orang-orang sekelilingku lagi, mungkin karena trauma kejadian di kelas itu. Sambil membaca buku, tiba-tiba wanita itu datang lagi menghampiriku, kataku dalam hati "matilah aku". Aku mendengar suara jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya, seakan-akan petir tiba-tiba menyambar, ku palingkan pandangan membelakanginya, sambil menenangkan diri. Tiba-tiba terdengar suaranya yang agak lembut meminta izin untuk bergabung. "bolehkah aku duduk disini". Aku diam dan Ariel mengizinkan, tatapanku sinis melihat Ariel, Ariel melihatku lalu tersenyum, entah apa yang ada dipikirannya. Wanita itu duduk tepat di antara aku dan Ariel, aku diam kaku berusaha tetap fokus membaca buku. Ia menjulurkan tangannya mengajakku berkenalan sambil berkata "hai penguntit". Aku menatapnya dengan senyum palsu sambil menjabat tangannya. "Namaku Zahra Syahidah Aulia". Aku enggan menyebut nama sebelum ia bertanya, dan ternyata dia tidak bertanya, aku bahagia, tawaku dalam hati. Aku masih dendam akan kejadian di kelas itu, makanya aku agak cuek dengannya, untuk pertama kalinya seorang wanita mempermalukan ku didepan umum, makanya aku tidak terlalu peduli dengannya. Walaupun dia memiliki paras yang cantik jelita, namun tingkahnya menghancurkan semua itu.

Kampus sedang mengadakan Porseni antar jurusan, senangnya aku diberi kesempatan untuk ikut di cabang futsal, perlu diketahui bahwa aku hebat dalam bermain futsal. Seluruh mahasiswa dari jurusan lain berkumpul, sangat ramai mendukung dan memberi semangat kepada temannya yang bertanding. Seperti biasa orang yang baru pertama kali melihatku selalu meminta berfoto, itu sangat menggangu. Zahra datang seakan-akan seperti pahlawan menyelamatkanku dari situasi itu. Aku bertanya heran dalam hati "ada apa dengan wanita ini". Penilaian ku terhadapnya masih tetap sama, tidak akan pernah berubah walaupun apa yang baru saja ia lakukan. Sejak kejadian itu teman-teman berfikir bahwa aku menyukai Zahra, bahkan Ariel pun berfikir demikian. Aku masa bodoh dengan penilaian itu. Masih berfokus pada pertandingan futsal, Tim ku berhasil melaju sampai pada babak final, seperti kataku, aku hebat dalam bidang ini. Aku menjadi top skor dan menjadi pemain terbaik, dan berhasil membawa tim ku menjadi juara di cabang futsal. Sejak saat itulah banyak wanita mulai mendekatiku untuk pacaran. Seakan seperti seorang artis yang memiliki banyak penggemar, seperti itulah aku sejak Porseni itu. Aku menerima penghargaan dari BEM(badan eksekutif mahasiswa) karena prestasi pada Porseni itu, tentu saja berupa sertifikat dan uang pembinaan. Terdengar kabar bahwa tim yang memenangkan pertandingan pada cabang futsal, volly ball, takraw, tenis meja, batminton, dan catur akan mewakili kampus pada sebuah acara Porseni nasional di Aceh, sebuah provinsi di pulau Sumatera, bagian dari Indonesia. Aku sangat bahagia akhirnya aku bisa pergi ke tempat lain selain pulau Jawa.

Aku mempersiapkan keperluan. Bersama Ariel yang juga turut serta, Ariel bergabung di cabang batminton, memang dia hebat pada bidang itu. Senang rasanya sahabatku ikut serta, karena aku tidak terlalu akrab dengan beberapa orang yang ikut serta. Karena ia bisa mewakili pikiranku ketika aku ditanya tentang masalah pribadi pada orang lain. Ketika sedang berkumpul di depan kantor rektor untuk mendengar sepatah kata sebelum berangkat ke Aceh, aku melihat Zahra dari kejauhan yang datang paling lambat dengan barangnya yang begitu banyak sehingga ia terlihat kesulitan membawanya, pikirku dalam hati, apakah wanita ini ingin pindah rumah atau ingin keluar negeri, pikirku sambil menertawakannya. Aku heran mengapa ia bergabung, dan di cabang apa dia berpartisipasi. Aku tidak melihat bakat apapun dalam dirinya, aku bertanya pada Ariel, dan ternyata dia menawarkan diri untuk bergabung, membantu keperluan para atlet, tanyaku kok bisa. Aku baru tahu bahwa dia adalah anak dari wakil rektor satu, aku sudah curiga bahwa dia ada disini karena orang dalam. Wakil rektor satu? tanyaku pada Ariel. Aku heran, bagaimana mungkin seorang anak jauh berbeda (karakter) dari seorang ayah. pikirku tak percaya akan hal itu. Aku mengenal Pak Ahmad (rektor satu) sangat baik, ramah, mudah akrab dengan siapapun dan sangat cerdas. Ternyata pak Ahmad adalah ayahnya Zahra. Aku sangat terkejut dan seakan-akan batinku menolak kebenaran itu. Mereka seperti air dan api yang jauh sangat berbeda, dan tidak mungkin dapat bersatu. Aku masih menganggap itu sebagai sebuah omong kosong alias kebohongan.

avataravatar
Next chapter