7 Dalam Redupku

Telah datang cahaya menghampiri, mendekap tubuhku erat. Dalam mimpiku yang seakan-akan terasa nyata. Masih dalam mimpi itu telah datang seorang kepadaku berusaha menolong ku yang terbungkus dalam cahaya itu. Dadaku sesak. Sesuatu berbisik dalam sunyi.

"Kembalilah ke jalanMu"

"Kembalilah ke jalanMu"

"Kembalilah ke jalanMu"

"Seperti Awalnya"

"Seperti Awalnya"

"Seperti Awalnya"

Aku terbangun dengan baju yang basah akibat keringat. Seakan-akan aku baru saja selesai lari maraton. Tubuhku pucat kaku. Tanganku bergetar kuat. Dalam mimpi itu diujung perjalanan, aku terjatuh dalam jurang api yang membara. Sepasang tangan menangkap ku di ujung api itu.

"Masih ada waktu untukmu"

Aku memikirkan hal itu sepanjang hari. Aku tidak mengeri dengan semua itu. Ku penjamkan mata sejenak lalu menyegarkan diri.

Selepas itu semua, setelah mandi dan berpakaian rapi. Aku berjalan, berkeliling mencoba memahami sebuah pesan dalam mimpi itu.

Hari-hari telah berlalu. Aku bertemu dengan pak Arman di tempatnya mengajar anak-anak mengaji. Pada saat itu, ada seorang anak berumur 15 tahun sedang membaca Al-Qur'an dengan suara lembut dan sangat merdu. Aku menutup mata dan menghayati lantunan ayat-ayat yang dibacakan anak itu. Hatiku tenang walaupun aku sama sekali tidak mengerti bahasa Arab.

Ada sebuah surah dalam Al-Qur'an yang anak itu bacakan. Aku bertanya pada anak itu.

"Bisakah kamu membacakan untukku arti dari ayat itu?".

Anak itu kemudian membacakan arti dari ayat itu.

"Itu adalah surah Al-Ikhlas kak"

"Surah ke 112 dalam Al-Qur'an"

"Katakanlah, Dialah Allah yang maha esa"

"Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadanya segala sesuatu"

"Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan"

"Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia".

Aku kemudian meminta anak itu mengulang sekali lagi bahasa Arab dan artinya. Lalu ku rekam menggunakan smartphone ku.

Hampir setiap hari Zahrah berkunjung ke rumahku. Dia punya kebiasaan ketika disini. Ia sering membawa ranselnya yang berisikan sebuah alat sholat dan sebuah Al-Qur'an. Hanya dua hal itu yang ia bawa didalam ranselnya. Ketika suara adzan berkumandang, ia akan meninggalkanku menuju masjid dekat rumahku. Hal itu terulang setiap hari ketika ia disini. Aku terbiasa dengan kebiasaannya itu. Ia seringkali pamit ketika akan melakukan itu. Dan hal itulah yang membuatku sangat mencintainya. Entah ketika aku melihatnya menggunakan mukenah nya menuju masjid, aku merasa ia begitu cantiknya. Ketika ia berjalan menuju masjid, aku melihatnya dari ruang tamu hingga menunggunya pulang.

Ku kerjakan tugas kuliah bersamanya. Hingga ketika sebelum matahari mulai terbenam ia akan pulang. Dengan sebuah mobil yang terlihat agak mewah yang Zahrah sering gunakan ketika di kampus maupun ketika ke rumahku. Jujur saja, aku tidak menyukai berkendara ketika keluar rumah maupun ke kampus. Aku lebih menyukai kakiku ini yang masih sanggup berjalan walaupun dengan jarak yang lumayan jauh. Karena prinsip itulah, setiap kali Zahrah menawarkan sebuah tumpangan aku sering menolak, bukan karena gengsi atau apapun itu, hanya saja itu membuatku merasa tidak nyaman.

Sepanjang malam sebelum tidur, ku putar rekaman dari anak itu. Ku letakkan tepat di sebelah bantal ku. Terulang hingga aku terlelap. Dan lagi bermimpi hal yang sama. Namun dengan pesan yang berbeda.

"Masih tidak kah engkau sadar?"

"Masih tidak kah engkau sadar?"

"Masih tidak kah engkau sadar?"

Setelah suara itu terulang tiga kali, aku tersadar dalam keadaan kaget dan hati yang bergetar. Diujung malam itu seluruh tubuhku tak mampu bergerak. Kaku terdiam ternganga.

Suara lantunan ayat Al-Qur'an masih terdengar ketika tubuhku dalam keadaan kaku. Di kamar gelap ini tubuhku berbaring lemas. Tanpa suara aku menangis tak mengerti keadaan dan mimpi itu.

Aku menutup rapat-rapat pintu kamar dan mengabaikan panggilan dari Zahrah. Tiga hari setelah kejadian itu, aku mengasingkan diri. Melupakan orang-orang di sekitarku, bahkan melupakan diri sendiri tanpa mengurusnya, tanpa makan, tanpa minum, bahkan tanpa mandi. Setiap kali suara adzan terdengar walaupun tidak terlalu keras, hatiku bergetar, tiba-tiba meneteskan air mata. Setiap kali seseorang berkunjung, aku tak membukakan pintu. Aku tahu Zahrah dan Ariel sangat khawatir. Aku hanya ingin sendiri untuk sementara waktu.

Seminggu setelah itu. Pada malam harinya seperti biasa mimpi itu kembali hadir meresahkan. Kali ini hanya sebuah pesan.

"Kembalilah ke fitrah(Islam)"

"Kembalilah ke fitrah(Islam)"

"Kembalilah ke fitrah(Islam)"

Aku semakin merasa diujung batas. Tubuhku tak mampu lagi, aku sempat berfikir bahwa kematian telah menungguku didepan sana. Aku tak mampu membendung air mata hingga mataku membengkak.

Darimana sumber mimpi itu dan mengapa harus aku. Aku meneriakkan kalimat itu dalam kamarku. Selepas subuh, Pak Arman datang mengetuk pintu, seperti biasa aku tak mampu berdiri apalagi berjalan.

Kupikir Pak Arman khawatir sampai di pagi hari ia kembali mengetuk pintu sambil memanggil namaku. Ariel juga datang dan sempat berdiskusi dengan Pak Arman. Terdengar suara dobrakan pintu yang cukup keras. Kupikir mereka sudah didalam. Mereka hanya perlu mendobrak lagi pintu kamarku dan menemukanku.

Aku tak mampu membendung air mata ketika melihat mereka, suara tangisanku terdengar keras. Mereka ikut menangis walaupun aku belum menceritakan alasannya. Kupikir karena keadaanku itulah membuat mereka menangis.

Aku berbaring di pangkuan pak Arman yang menangis, sementara Ariel berada disisi lainnya seakan-akan membaca doa.

Demamku sangat tinggi sehingga pak Arman ingin membawaku ke rumah sakit namun aku menolak. Ariel bergegas ke apotek untuk membeli obat. Sementara pak Arman masih menemaniku.

Aku paksakan duduk dan berusaha bercerita. Ku ceritakan seluruh yang ku alami kepada pak Arman. Kembali lagi kami menangis seperti anak kecil. Pak Arman memelukku erat, dan aku berbisik lemah.

"Ajari aku Islam"

"Tuntun aku ke jalan yang benar".

Siang harinya Zahrah baru tiba dan menangis melihat keadaanku. Aku diam mendengarkan ocehannya. Sementara belum ku ceritakan kepada Zahrah maupun Ariel tentang semua ini dan tentang keinginanku berpindah agama menjadi seorang mualaf.

Aku telah sepakat dengan pak Arman kapan dan dimana aku akan bersyahadat. "Nanti setelah keadaanku membaik".

Zahrah dan Ariel dengan tulus hati merawat ku hingga aku membaik. Ku berikan satu kunci rumah kepada mereka. Mereka bergantian merawat ku, ketika malam hari aku ditemani oleh sahabat terbaik ku, pagi harinya aku ditemani oleh wanitaku. Sungguh beruntung bisa mengandalkan mereka.

avataravatar
Next chapter