webnovel

Kehidupan Kedua

Kematian.

Apa itu kematian?

Akhir dari kehidupan?

Ketakutan terbesar umat manusia?

Tentu saja bagiku kematian bukanlah hal seperti itu.

Banyak orang mengatakan bahwa kematian adalah kelemahan mutlak manusia. Namun bagiku justru sebaliknya.

Kematian adalah sebuah anugrah.

Pintu kebebasan dari segala macam siksaan dunia fana yang kejam. Dunia yang jahat, dunia yang hanya menguntungkan orang-orang tertentu.

Karena itulah, aku memilih mengakhiri hidupku.

Agar aku terbebas.

Tetapi, siapa yang akan menyangka akan jadi seperti ini?

Kutatap jari-jari mungil dihadapanku. Jelas sekali itu adalah jari seorang bayi yang baru berusia beberapa bulan.

Ini bukan tangan orang lain, melainkan tanganku sendiri.

Iya, dugaan kalian mungkin benar.

Setelah aku melakukan tindakan bunuh diri, secara ajaib dan diluar nalar, aku justru terlahir kembali menjadi seorang bayi.

Aku tidak pernah tahu atau menyangka bahwa reinkarnasi itu nyata adanya. Dan sejujurnya bahkan aku sering menganggap ini adalah halusinasi sebelum ajal menjemput.

Memejamkan mata.

Dengan tubuh seorang bayi seperti ini, tentu saja tidak bisa membuatku bergerak leluasa.

Tetapi perlu kalian catat, meski aku kini bertubuh mungil, menggemaskan, kecil dan lucu seperti bayi normal lain, jiwaku tetap sama. Jiwa seorang perempuan dewasa yang ingin mengakhiri hidupnya.

Jika kalian penggemar anime, game atau apapun itu yang bertema fantasi, mungkin kalian akan tertawa, tersenyum, dan bersyukur setiap harinya karena mungkin 'isekai' atau dunia lain setelah kematian itu benar adanya.

"Aduh Red belum bangun?"

Kurasakan seseorang mendekat. Suara itu adalah suara yang familiar karena hampir setiap harinya ketika di tubuh ini, suara itu terdengar. Iya itu adalah Ibuku di dunia kedua ini.

"Ibu membuat boneka yang bagus sekali loh." Tanpa memperdulikan mataku yang pura-pura terpejam, Ibu meletakan sesuatu, yang kuyakini itu adalah sebuah boneka yang barusan beliau katakan.

"Ketika kamu bangun pasti kamu akan suka, Ibu membuatnya dengan kasih sayang." Setelah itu, sosok Ibuku itu mencium keningku lembut.

Wah, haha merasakan perlakuan itu sedikit membuat hatiku menghangat, dan mungkin membuat pipiku memerah?

Jujur saja Ibuku di dunia ini dan di dunia sebelumnya sangat berbeda. Jangankan mencium keningku, mendekatiku saja tidak mau.

Ah sudalah, kenapa berbicara tentang sesuatu yang suram?

Huh baiklah, kuhargai kasih sayang Ibu, tetapi sayang sekali di usiaku sekarang aku tidak tertarik kepada boneka atau mainan apapun.

Hey meski tubuhku bayi aku perempuan dewasa. Kalian tidak melupakan itu bukan?

Sebenarnya, jika aku memang terlahir kembali dengan kehidupan yang normal, mungkin aku tidak akan mengeluh, setidaknya ini lebih baik daripada kehidupan sebelumnya.

Tetapi sayangnya, Tuhan mungkin membenciku, sehingga, alih-alih dilahirkan sebagai bayi normal, di keluarga yang normal, kehidupan yang normal, aku justru terlahir di dunia dongeng.

Iya.

Dunia dongeng.

Kalian tidak salah membaca.

Oke kenapa aku bisa tau ini?

Kalian ingat bukan namaku di dunia ini? nama yang baru saja diucapkan oleh Ibuku?

Red.

Sebuah nama yang familiar.

Dari dongeng anak-anak.

The Little Red Riding Hood.

Sungguh awalnya aku tidak percaya jika aku telah terlahir menjadi sosok utama dalam dongeng anak-anak.

Tetapi, dari pakaian yang digunakan Ibuku, Ayahku, rumahku yang berada dipinggir hutan, pekerjaan Ayahku yang sebagai pemotong kayu, kuda putih dan juga namaku.

Bukankah sebuah kebetulan jika hal ini benar-benar mirip dalam cerita dongeng itu?

Uh...

Aku meringis.

Mengingat hal ini membuatku ingin menangis saja.

Kenapa aku tidak langsung mati saja?

Kenapa aku harus dilahirkan sebagai tokoh utama dalam cerita dongeng anak-anak?

Dan lagi kenapa harus dongeng The Little Red Riding Hood?!

Jika benar aku adalah Red alias si tudung merah, bukankah berarti aku bodoh?

Uh tidak-tidak, aku tidak mengatakan bahwa tokoh utama di dongeng itu kekurangan IQ, tetapi ya mau bagaiman lagi, sudah tau di ranjang itu serigala kenapa bertanya bukannya langsung kabur saja?

Astaga mengingat cerita dongengnya saja membuatku kesal.

"Ikh..h--huee..."

"Eh! Red, aduh anakku menangis kenapa hmm?"

Tanpa sadar aku justru mengeluarkan tangisanku. Iyasih, aku juga masih kesusahan mengendalikan fisik seorang bayi. Dan tangisanku itu membuat Ibuku langsung bergerak, bergegas menggendongku dan menepuk-nepuk punggungku lembut.

Aku tidak bohong rasanya diperlakukan seperti ini enak sekali.

"Red kangen ayah?" tanya Ibuku lembut sambil tetap menepuk-nepuk punggungku.

Aku tak membalas secara signifikan, hanya mendorong ingusku untuk kembali masuk ke hidung.

"Aduh kangen ya ternyata sama ayah, nanti sebentar lagi pulang kok." Dan entah mengapa, hal itu justru dianggap sebagai kesimpulan dari Ibuku.

Yeah perlukah aku mencatat kedalam kamus bahasa bayi jikalau aku menarik ingusku kedalam itu berarti kata 'iya'?

Sambil terus menimangku hingga tenang, Ibu kemudian kembali membaringkanku. Wanita berparas lembut itu mengusap rambutku dan mengelus pipiku.

"Anak mama yang pinter udah gak nangis kan?"

'iya sudah kok'

Inginnya aku berbicara seperti itu sayangnya yang keluar dari mulut tanpa gigiku hanya gumaman tak jelas khas bayi.

"Tdada... daa!"

"Aduh lucunya anak Ibu~"

Setelah itu Ibuku kembali mencium keningku.

Huh baiklah.

Sejujurnya ini tidak terlalu buruk. Maksudku, aku hanya menjadi tokoh cerita dalam dongeng anak-anak yang alurnya tidak merepotkan bukan?

Maksudku aku hanya perlu menunggu sampai waktu Ibu akan menyuruhku mengantarkan makanan ke rumah Nenek, kemudian bertemu serigala, lalu pura-pura bodoh dan bertanya beberapa pertanyaan kepada serigala yang menyamar sebagai Nenek, kemudian lari, dan mencari perlindungan kepada pemburu random yang lewat.

Yup, sesimpel itu dan setelah alur yang tertulis dibuku selesai mungkin aku dapat hidup dengan normal sebagai keluarga bahagia di pondok kecil ini.

"Ayah pulang!"

Suara pintu terbuka membuatku refleks menengok kearahnya. Dimana arah itu, pintu rumah terbuka, menampilkan sesosok lelaki, yang jelas itu adalah Ayahku, bertopi lebar, dengan kapak di genggamannya dan getah-getah pohon menempel di bajunya.

"Ah selamat datang, Sayang." Ibuku dengan perhatian dan senyum lembutnya membuka topi Ayah, lalu mengusap peluh yang turun dari wajah Ayah.

Adegan itu tentu saja membuatku tertawa senang.

Begitu romantisnya Ibu dan Ayahku.

Mendengar suara tawaku, Ayah dan Ibu menengok, dan secara bersamaan mereka mendekatiku.

"Red tertawa, manisnya~" kata Ibuku.

"Mirip denganmu sayangku," lanjut Ayahku menimpali yang membuat Ibuku tersipu malu.

Ah~

Indah sekali pemandangan seperti ini.

Yeah, kupikir aku hanya harus menunggu sampai datangnya alur dalam dongeng kemudian hidup bahagia bersama orang tuaku.

Sesuatu yang belum kudapatkan di kehidupan sebelumnya tentu saja.