5 04. MAU PERCAYA ATAU TIDAK MEMANG ITU TAKDIRNYA

Claire menarik napasnya panjang. Dia harus siap dengan lorong yang sudah pasti di penuhi oleh berbagai jenis makhluk tak kasat. Hatinya bergemuruh berkata tidak perlu menghiraukan, Claire harus segera ke ruangan rawat teman sekolahnya. Cewek itu melihat siswi yang akan di jenguknya sedang berbicara dengan satu lelaki yang Claire tebak bahwa itu adalah pasangannya.

"Dia sedang berbohong." Claire menatap lurus. Jika dia masuk tanpa mengetuk atau tiba-tiba berkata apa yang sebenarnya di lakukan oleh lelaki di dekat siswi itu, maka Claire akan kembali di cibir dan di kata aneh serta tidak akan di percayai juga.

Akan tetapi Claire tidak bisa berdiam saja sedangkan siswi yang bernama Lidia itu sedang di jadikan kebohongan oleh lelaki tersebut. Bagaimana bisa Claire masuk sedangkan memang dia tidak di kenali oleh Lidia di sekolahannya? Keadaan di sana juga pasti akan kacau jika Claire memaksakan niat baiknya itu.

Hembusan napasnya terdengar resah. Claire harus membuang penilaian orang lain nanti, paling tidak kebaikannya itu harus di sampaikan tepat lewat pendengaran Lidia, antara di anggap atau tidak itu belakangan. Claire harus bisa mencegah Lidia percaya karena lelaki itu hanya mengelabuinya saja.

"Kalau bersedih kenapa justru meminta?" Claire bagai petir yang menyambar tanpa di undang. Dua insan yang terkejut menoleh cepat melihat Claire yang sudah berada tepat di depan pintu ruang rawat.

"Lo lagi!" Lidia memekik marah.

Claire melirik lelaki di samping Lidia yang masih berdiri. "Menjenguk orang sakit itu harus niat, bukan meminta upah."

"Lo diem aja, deh! Dia siapa, si?" lelaki itu bertanya sarkas pada Lidia.

"Jangan terlalu percaya dengan ucapan. Besok kamu akan sangat menyesal terus menpercayai karena kebodohan kamu sendiri." Claire pergi setelah meletakkan bawaan buah di atas lemari kecil rumah sakit. Teman Lidia melihat aksi Claire barusan saat melihat pintu ruangan rawat temannya sedikit terbuka.

Bahkan mereka mengingat ucapan sebelum akhirnya kecelakaan kendaraan.

"Temen dari kelas Ipa-1 bilang kalau dia emang aneh." Wina, teman Lidia berseru.

"Gue juga denger murid baru itu namanya, Claire. Satu kelasnya heboh sama lontaran dia yang bisa baca pikiran orang." sahut Lisna tak kalah dengan gosip yang mulai beredar.

Dua teman Lidia berjalan menjauhi kamar rawat temannya sambil mencerna kejadian yang mereka alami kemarin. Tidak menutup kemungkinan bahwa lontaran dari Claire saat itu adalah intruksi agar mereka bisa selamat dalam perjalanan. Akan tetapi mereka tidak menghiraukan dengan akhir yang naas menginap di rumah sakit untuk beberapa perawatan lukanya.

"Masa, sih? Claire, juga bisa tahu kapan orang celaka?" Wina bertanya ragu. Bahkan dirinya pun resah dengan berita yang sudah tersebar di media sosialnya.

Lisna menghela napas halus. "Emang takdir kita aja yang buruk kali. Lidia, juga bawa mobil selalu ngebut ga bisa kita tegur juga."

"Tapi lo denger tadi, kan?" Wina menghadap temannya meyakinkan. "Claire, tadi bilang kalau temen kita bakal nyesel. Kira-kira apa yang bakal kejadian, ya?"

Lisna mendeham seolah berpikir. "Mungkin bakal ada kejadian buruk lagi sama, Lidia. Semoga aja kita engga, deh. Gue udah muak di sini, pengen cepet pulang dan tidur di kamar yang lebih nyaman."

Wina tidak menghiraukan ucapan temannya, satu cara yang sedang di pikirkannya untuk Claire. Sepertinya ide yang baru saja terlintas di otaknya bisa membuatnya yakin dengan sosok murid baru di sekolahannya itu.

"Gue tahu cara buat mastiin murid baru itu punya kekuatan atau engga."

>>>>>>>>>

Claire berjalan menyusuri lorong sekolahannya, kakinya berbelok ke kanan mengarah pada tangga yang harus beberapa kali di lewati untuknya masuk ke dalam kelas. Namun ketika dia tidak sengaja sedikit mengenai seragam salah satu siswa di depan kelas IPS 2, kedua matanya tertutup sejenak, membukanya ketika ada bayangan yang terlintas.

"Jangan pergi dari rumah kalau tidak ingin hal buruk terjadi."

Sekumpulan siswa di dekat Claire melirik sinis. "Lo anak ipa-1 itu, ya?" siswa tersebut langsung saja menebaknya.

"Iya."

"Lo punya sihir apa sampe anak sekolahan sini celaka karena lontaran ga masuk akal lo itu?" tudingan mulai terucap.

Claire berkedip. "Karena mereka menghiraukan." ucapnya singkat.

"Lo aja yang emang niat celakain, kan? Jangan-jangan cari tumbal buat kekuatan lo?!"

Claire tidak mendengarkan. Namun mulutnya kembali berucap, "Mau denger atau engga terserah." kakinya kembali melangkah tidak akan memaksanya. Mungkin memang mereka semua sudah menilai Claire lebih buruk dari yang sebelumnya. Namun apapun pikiran dari mereka tidak akan pernah Claire anggap sebagai tindasan.

Takdirnya saat ini memang harus Claire terima walau jauh dari dalam lubuk hatinya enggan dia miliki.

Sekalipun orang lain membicarakannya di belakang tidak dapat Claire hentikan. Yang dia pentingkan hanyalah kejadian yang akan mereka alami dan terjadi. Permasalahan mereka jauh lebih segalanya di bandingkan dengan keburukan ucapan yang tertuju pada Claire.

"Eh, lo anak baru itu bukan?"

Langkah Claire kembali terhenti ketika ada siswi yang menghalang jalannya.

"Yang bisa ramal orang itu, kan?"

Claire menghela napas. "Bukan." dia menyangkalnya.

"Gue, Sinta."

Claire bahkan sudah mengetahui dari nametag seragam sekolahannya. Kenapa juga harus megenalkan diri? Kira-kira ada apa Sinta menghampiri hingga menghentikan langkah Claire? Sosok di hadapannya memang tidak pernah Claire lihat, sepertinya Sinta ini bukan lah salah satu teman sekelasnya.

"Ramal gue, dong. Tebak nanti gue bakal bisa jadian ga sama, Zino?"

Claire pikir cewek itu akan mengoloknya seperti yang lain. Ternyata datang hanya karena meminta Claire untuk di ramal. Bahkan Claire bukan tukang ramal yang bisa kapan saja tahu. Kemampuannya bukan untuk di jadikan permainan apalagi hingga mengarah pada jodoh seseorang.

"Ga tahu." seru Claire ketus.

Sinta terlihat cemberut, tidak puas dengan jawaban dari Claire. "Ih! Lo gimana, sih? Katanya bisa ramal, kenapa gue minta tolong lo ga bisa bantu?" gerundelnya sewot.

"Lo peramal gadungan, ya?"

Claire melirik tajam membuat satu teman Sinta menunduk dalam. Kedua mata Claire melihat Mita, teman dari Sinta melewati kemampuannya.

"Pulang sekolah nanti, halangi perjalanan kedua orang tua kamu." Claire menyahut tanpa ekspresinya, Sinta menautkan alis.

"Lo ngomong ke siapa?" tanya Sinta yang merasa Claire mulai aneh.

Mita mulai mendongak, melihat tatapan dari Claire yang sedang menusuknya dalam. Entah kenapa ucapan tadi Mita rasakan untuknya. Apa mungkin ucapan dari Claire akan menjadi kenyataan seperti perkataan pada para murid di sana? Mita kembali mengingat ungkapan kedua orang tuanya saat kemarin malam, bahwa mereka memang akan pergi karena tugas dari pekerjaannya masing-masing.

"Pikirkan baik-baik kalau kamu masih menyayangi mereka." Claire pergi tanpa pamit.

Mita mencolos. Entah kenapa perasaanya mulai tidak enak. Bagaimana jika ucapan dari Claire akan menjadi kenyataan? Bagaimana bisa Claire meramal hal itu sedangkan Mita sama sekali tidak bertanya apa-apa.

"Lo percaya sama dia, Mit?" tanya Sinta dengan keraguannya.

Mita menelan ludah. "Ga ada salahnya jaga-jaga dan ikutin omongan dia."

avataravatar
Next chapter