webnovel

03. RASA PENASARAN

Pertama mengenal sosok Claire di sekolahannya, Vero menjadi penasaran. Ada hal yang tidak biasa dari salah satu cewek yang dia kenali sekarang ini. Ungkapan dari Claire membuatnya lebih ingin tahu kenapa cewek itu bisa berkata seperti itu. Seakan ada sesuatu yang tidak dapat Vero artikan.

Bahkan dari tatapannya saja sudah membuat Vero berpikir bahwa sikap dingin Claire itu karena tidak ingin orang lain mengatahui sisi lain dari dirinya. Mungkin tidak banyak orang yang bisa mengartikan motif apa di balik sikapnya Claire, namun Vero begitu yakin kalau cewek itu pasti memiliki caranya sendiri untuk bersikap pada orang lain.

"Gue lihat belakangan ini lo sering deketin murid baru di sekolahan kita, Ver." Bagas, teman Vero bertanya.

"Iya, emang dia siapa? Lo ga coba buat modus, kan?" timpal Doni, teman lainnya menatap curiga.

Vero tersenyum miring. "Sejak kapan modus ke cewek?" sanggahnya seolah tidak terima di tuding.

Bagas menautkan alis. "Lah, situ kaga sadar aja banyak cewek yang merasa sakit hati karena di gantungin."

"Apaan yang di gantung?"

Bagas dan Doni saling melirik dan serempak menjawab, "PERASAAN LAH!"

"Gue kira gantung diri." tukas Vero seolah tidak merasa salah.

Dua temannya mendengus sebal. Vero memang selalu bersikap baik terhadap siapapun, kebaikannya justru di anggap sebagai hal yang begitu spesial bagi orang yang berlebihan menilai sikap cowok itu. Vero tidak lebih menganggapnya sebagai temannya sendiri, Jika ada orang yang membutuhkan bantuan maka Vero yang akan sigap membantunya segera.

Namun bagi siswa di sana Vero melakukannya hanya tebar pesona karena ingin di banjiri pujian dari seluruh siswi, bagi Vero semua itu tidak begitu berarti juga.

"Cewek yang lo deketin itu emang cantik, ya?" Bagas mulai kepo, Vero di sampingnya mendecak kecil.

"Lo nilai fisik terus." cibir Vero. "Gue ngerasa ga enak karena pernah ga sengaja nabrak dia waktu lo berdua kejar gue itu, maksa gue buat terima lamaran dari cewek." bahunya bergidik. Dua temannya sudah sangat gila, pikir Vero.

Bagas menahan tawa. "Ya, gimana. Dia juga maksa buat lo terima, lagian menurut kita juga wajar aja."

"Eh, kita masih kelas satu gimana bisa gue di lamar cewek? Sedangkan dia juga senior kita." Vero membalas geram. Dua temannya memang selalu saja ribut dengan masalah cewek yang bukan hanya satu orang saja menyatakan cintanya. Mungkin setengah dari seluruh siswi di sana dengan terang-terangan menyukai hingga ingin menikahi Vero.

Memang sinting.

Vero tidak menanggapinya serius. Justru cowok itu menjelaskan bagaimana sikap baiknya itu tidak lebih dari rasa ke warga negaraan sebagai siswa, bukan karena suka apalagi menaruh peraasaan. Semua itu terlalu berlebihan baginya, lagi pula Vero masih anak sekolahan, tidak sampai berpikir memiliki seorang pacar, paling parah hingga memiliki isteri di umurnya yang masih remaja.

Jauh dari hal di atas.

"Eh, lo pikir gue itu kalian apa? Yang suka sama hal begituan." cebik Vero membuat Bagas dan Doni meliriknya sinis. Keburukannya selalu di jadikan senjata jika Vero di pojokkan oleh mereka berdua.

Tidak di ragukan lagi jika Vero lebih sering menyangkal di banding menanggapinya dengan perasaan senang. Hanya kedua temannya saja yang begitu antusias menjodohkan Vero pada salah satu siswi di sana. Padahal jauh dari kenyataannya, juga Vero sudah bosan dengan pembahasan dari mereka.

"Tapi menurut gue … lo bakal jatuh cinta sama murid baru itu, Ver."

"Kayak peramal aja."

Doni mendecak. "Nenek moyang gue emang salah satu peramal terkenal."

Bagas tersenyum mengejek. "Bagus, tapi biar lo ga sendirian terus, Ver."

"Emangnya lo berdua punya pacar?" Vero melirik dua temannya bergantian. "Oh, iya lupa." dia menjeda sejenak. "Lo berdua emang playboy cap kambing! Mengkol sana sini."

>>>>>>>>>>>>

Setelah pulang dari sekolah Claire tidak lupa dengan niatnya. Dia sudah siap menjenguk siswi yang di larikan ke rumah sakit, walau tidak ada yang mengucapkan letaknya dimana pun, Claire sudah bisa menebaknya. Melewati kemampuannya tersebut menjadikannya mudah tanpa repot untuk bertanya.

Baru saja akan meninggalkan pekarangan rumahnya dia melihat satu mobil yang masuk dari arah gerbang. Langkahnya terhenti dan memilih untuk mendekati.

"Claire, kamu mau kemana sudah rapi begini?" Kakak nya, Leon bertanya ketika membuka pintu mobilnya melihat pakaian sang adik.

"Menjenguk teman."

Leon tersenyum senang. Selama ini tidak pernah Claire bercerita mengenai temannya, entah itu yang lama maupun baru. Di sana mungkin adalah tempat paling tepat untuk adiknya mengeksplor diri.

"Kakak, antarkan."

Claire menggeleng cepat. Baru saja dia melihat bayangan yang akan terjadi. "Kak Leon, cukup menunggu aku di rumah."

Leon jelas bingung. "Memangnya kenapa? Apa kamu bersama teman lain? Jika sendiri lebih baik di antarkan saja."

"Claire, ingin semuanya baik." dia melongos pergi setelah mengucapkan kata tersebut membuat Leon semakin merasa aneh dengan sikap yang di tunjukkan Claire padanya.

"Semakin hari sikapnya kian dingin. Tatapannya tajam seolah memang ada sesuatu yang akan kejadian, namun tidak pernah dia katakan." Leon menatap kepergiannya. Lagi-lagi hanya bisa menuruti. Leon bukannya tidak khawatir, hanya saja setiap ucapan dari Claire seolah ada hal tersembunyi yang memiliki arti yang wajib Leon lakukan.

"Tapi saat di mobil kenapa dia bisa membaca pikiran saya? Padahal itu tidak di ucapkan dengan lisan." Leon mengamati dari berbagai hal yang sudah dia alami. Mungkin kah memang sedang ada yang di sembunyikan oleh adiknya? Kenapa juga harus di rahasiakan darinya?

Sedari kecil Claire itu anak yang jujur dan polos selain baik pada orang. Tidak ada cerita secuil pun yang di pendamnya, semuanya Leon tahu bagaimana kisah-kisah cerita dari adiknya. Tetapi sekarang Leon merasa kedekatannya dengan Claire jauh, merenggang seolah ada permasalahan tanpa awal dari sebab.

Sebagai seorang yang sekarang bertanggung jawab atas Claire, Leon ingin lebih dekat lagi layaknya dulu. Keluarganya yang damai tentram hingga bahagia sampai duka. Jika terus seperti itu Leon apa akan sanggup melihat sikap dingin Claire setiap waktu?

Apa Leon harus meluangkan banyak waktu agar sikapnya sekarang itu hilang? Leon ingin ikatannya tidak seperti saat ini. Kalau bisa dengan bujukan liburan berdua untuk melihat senyuman Claire, mungkin Leon akan gerak cepat melakukan apapun caranya. Sekali pun dia menunda pekerjaan di kantor, bukan masalah besar juga jika menyangkut kebahagiaan adiknya.

Toh, jika Claire merasa senang maka Leon pun akan jauh lebih senang lagi.

"Apa dia belum merelakan kepergian orang tua kita?"

Leon mulai berpikir buruk. Bahkan mungkin dirinya saja tidak pernah menyangka jika dua orang yang di cintai serta sayanginya meninggalkan kedua anaknya dengan waktu singkat. Leon sudah menerima, tidak tahu dengan Claire sendiri. Kebanyakan anak remaja pasti akan menyalahkan takdir buruk, namun bagaimana pun juga yang sudah terjadi jelas harus di lupakan.

"Saya harus menyusul, Claire."

Next chapter