9 TLOL. 08

Mengingat janjinya dengan Afka, pagi ini Aline bangun dengan kondisi yang sangat baik. Setelah membantu memasak sarapan dan makan bersama Bi Minah kini Aline sudah kembali ke kamarnya dan tengah mencari pakaian yang akan ia guanakan.

Awalnya gadis itu ingin memakai dress, namun teringat jika Afka memakai motor, gadis itu segera menggantinya dengan celana jeans serta atasan tanpa lengan motif kotak-kotak.

Setelah siap Aline memutuskan untuk menunggu di ruang tengah. Tak butuh waktu lama sampai akhirnya gadis itu mendengar suara motor berhenti di depan rumahnya.

Setelah membuka pintu gadis itu sempat tertegun sesaat melihat penampilan Afka. Aline sangat tau bagaimana kerennya Afka, namun melihat cowok itu hari ini membuat kegantengan Afka meningkat berpuluh-puluh kali bagi gadis itu.

"Udah siap?" tanya Afka yang dijawab anggukan oleh Aline. Bagi cowok itu melihat penampilan Aline kali ini pun terlihat berbeda. Aline yang biasa terlihat imut hari menjadi lebih cantik untuk Afka.

"Perlu pamit dulu gak?" tanya cowok itu menatap kedalam rumah adik kelasnya.

"Nggak usah kak, cuma ada Bi Minah, tadi aku juga udah ijin" terang Aline membuat Afka mengangguk mengerti.

"Kak Afka mau ajak aku kemana?" tanya Aline saat Afka sudah mulai melajukan motornya.

"Gue pengen ngajak lo keliling beberapa tempat, nggak masalah kan?"

"Nggak pa-pa kok kak, udah lama juga aku nggak pergi-pergi" balas Aline tak berhenti tersenyum.

Hari itu Afka mengajak Aline berkunjung ke galeri seni, berkeliling ke kota tua dan mengajaknya makan di sebuah cafe. Aline sangat menikmati waktunya terlihat dari gadis itu yang tak berhenti untuk tersenyum. Hanya dengan melihat aktivitas orang-orang di sekitarnya mampu membuat Aline bahagia karena itu meyakinkannya bahwa hidupnya ini bukanlah mimpi semata.

Seperti saat ini, gadis itu tengah duduk di sebuah bangku taman menunggu Afka yang berkata akan membelikannya ice cream. Bisa di lihatnya banyak anak-anak bermain dan berlarian.

Gadis itu langsung teringat tentang masa kecilnya. Ia dan kakaknya akan berlarian di taman dan sang bunda akan mengawasi mereka bermain.

"Aduuh!" Aline segera menghampiri gadis kecil yang baru saja jatuh tak jauh dari tempatnya duduk.

"Kamu nggak pa-pa gadis cantik?" ujar Aline membantu gadis itu berdiri dan membersihkan roknya dari beberapa tanah yang menempel.

"Eum, Adel nggak pa-pa kok kak" balas gadis itu menganggukkan kepala.

"Lain kali lebih hati-hati ya" ujar Aline merapikan rambut Adelia.

"Del, kamu nggak pa-pa?" tanya seorang anak laki-laki yang sepertinya lebih tua beberapa tahun.

"Adel nggak pa-pa kok kak Rio" balas gadis itu menatap sang anak laki-laki.

"Ayo kakak gendong" pinta Rio berjongkok di depan Adel.

"Nggak usah kak" tolak Adel enggan.

"Adel, selagi ada yang menyayangimu dan merawatmu tolong jangan sia-sia kan itu ya" pinta Aline mengusap kepala Adel.

Sesaat Adel menatap Aline dalam diam sebelum menurut untuk di gendong sang kakak.

"Kita pergi dulu ya kak" pamit Rio sementara Adel sudah melambaikan tangan.

"Kamu sangat suka anak kecil ya" ujar Afka saat Aline kembali ke bangku yang tadi ia duduki dan ternyata sudah ada Afka di sana dengan dua cup ice cream ditangannya.

"Karena aku nggak punya adik makanya aku suka banget sama anak kecil kak" balas Aline menerima ice cream dari Afka dan bergumam terima kasih.

"Kamu anak tunggal?" tanya Afka mulai tertarik dengan keluarga Aline.

Aline menggelengkan kepala dan tersenyum lemah, "aku punya kakak laki-laki".

"Oh ya, kok aku nggak pernah lihat di rumah kamu?"

"Dia nggak serumah sama aku kak, dia ingin mandiri makanya mutusin tinggal di apartemen" terang Aline memalingkan wajah karena tak ingin Afka mengetahui kebohongannya.

Afka menganggukkan kepala paham, "trus orang tua kamu?".

Aline terlihat menghela nafas pelan sebelum munduk memainkan sendok ice creamnya, "ayah aku ngurus perusahaannya di luar negri, sedangkan bunda aku udah lama kembali ke sisi Tuhan".

"Eum Line, maaf, gue gak maksud bikin lo sedih" ujar Afka menyesal mengusap punggung Aline.

Gadis itu menatap Afka dan tersenyum menggelengkan kepala, "nggak pa-pa kok kak, lagi pula bunda udah bahagia di sana".

"Jadi lo tinggal sama siapa?" tanya Afka mengernyit mengetahui keluarga Aline tak ada yang dirumah.

"Aku tinggal sama Bi Minah kak, dia yang udah ngerawat aku dari kecil".

Afka menatap Aline yang berusaha tersenyum. Meski ia kesepian gadis itu tidak pernah sama sekali menunjukkannya. Di mata Afka, Aline adalah gadis yang kuat sekaligus rapuh. Ia terlihat mudah di hancurkan meski kenyataannya ia sudah melewati rasa kesepian begitu lama.

Karena hari sudah mulai sore, Afka segera mengantar Aline untuk pulang.

"Makasih ya kak untuk hari ini" ujar Aline mengembalikan helm milik Afka.

"Gue yang harusnya makasih karena lo mau nemenin gue, nggak pa-pa kan kalau lain kali gue ngajak lo jalan lagi?" balas Afka bertanya yang di balas anggukan oleh Aline.

Setelahnya cowok itupun meninggalkan rumah Aline.

Setibanya di kamar Aline segera mencari obatnya karena ia sudah tidak bisa menahan rasa sakitnya. Gadis itu memejamkan mata setelah meminum obat. Karena seharian pergi dengan Afka, tidak mungkin jika gadis itu meminum obatnya di hadapan sang kakak kelas. Wajahnya kini sudah sangat pucat serta badannya terasa sangat lemah.

"Non Aline mau makan?" tanya Bi Minah dari luar kamar Aline.

"Nanti aja Bi, Aline mau istirahat sebentar" balas Aline lemah namun masih bisa terdengar oleh Bi Minah.

"Yaudah, nanti bilang Bibi kalau mau makan ya Non"

"Iya bi"

Setelah tak mendengar suara Bi Minah, Aline akhirnya bisa terlelap.

#####

Pagi itu Aline baru saja memasuki gerbang sekolah saat ada seseorang yang menarik lengannya.

"Kak Vano?" gumam Aline bingung, meringis kecil karena Vano menggenggam lengannya sangat kencang.

Vano langsung menghempaskan lengan Aline kasar saat keduanya sudah sampai ditaman belakang yang jarang orang. Aline mengusap lengannya pelan guna meredakan nyeri sambil menatap Vano penuh tanya.

"Lo jadi cewek nggak usah keganjenan bisa kan!" sentak Vano.

"Apa maksud kak Vano?"

"Nggak usah sok bego lo, mentang-mentang gak ada yang awasin lo trus lo bisa deketin semua cowok gitu, iya?" lagi Vano membentak Aline dengan kata-kata menyakitkan.

"Aku bener-bener nggak ngerti maksud kak Vano" ujar Aline dengan mata mulai memanas.

"Lo pikir gue gak tau? Lo lagi deketin tiga cowok kakak kelas kan? Atau jangan-jangan masih ada lagi?"

"Ya ampun kak Vano, Aline sama kak Afka cuma temenan, kalau kak Dirga sama kak Rava, kita cuma nggak sengaja ketemu" terang Aline mencoba meraih tangan Vano namun langsung di tepis cowok itu.

"Gue gak peduli lo mau jadi jalang atau apapun, tapi gue nggak akan tinggal diam kalau lo malu-maluin nama keluarga" hardik Vano sebelum meninggalkan Aline yang menunduk menangis dalam diam.

Gadis itu pikir diamnya Vano sudah menyakitinya, namun ternyata perkataan cowok itu lebih menyakiti hatinya. Kakaknya yang dulu sudah tidak ada lagi.

"Bunda kenapa? Kenapa dulu bunda harus selamatin Aline? Kenapa dulu bunda nggak ajak Aline sekalian bun? Aline sakit, Aline sendirian bunda" tangis Aline pecah menyebut nama sang bunda.

Cukup lama Aline menangis hingga ia mendengar bunyi bel. Segera gadis itu beranjak ke toilet untuk membasuh muka.

Tanpa tau ada seseorang yang sejak awal mendengarkan dari balik tembok.

Moza sangat khawatir melihat Aline masuk ke kelas setelah bel berbunyi apalagi dengan wajah yang sembab dan pucat.

"Lo kenapa Line?" tanya Moza membenarkan rambut Aline.

Aline hanya menggelengkan kepala lemah dan berusaha tersenyum.

"Line, lo tau kan kalau lo bisa cerita apapun ke gue?" ujar Moza meminta.

Tanpa terasa air mata kembali menetes di pipi Aline membuat sahabatnya panik.

"Eh Line, kok nangis" panik Moza mencari tisu yang selalu ia bawa di tas.

"Sampai kapan kak Vano benci sama aku Za" keluh Aline sesenggukan.

Moza mengusap bahu Aline pelan guna menenangkan sahabatnya itu.

"Yang sabar Line, gue yakin suatu saat Vano bakal kebuka hatinya dan dia bisa maafin lo" ujar Moza pelan.

Meski masih sesenggukan, Aline mencoba menghentikan tangisnya karena guru yang sudah masuk ke kelas. Saat jam istirahat Aline juga memilih ke ruang kesehatan dari pada makan di kantin bersama Moza.

***

Mengetahui ada barangnya yang tertinggal, meski sudah sampai tempat parkir, Moza rela kembali kelasnya.

Setelah menemukan benda yang ia cari, gadis itu tak sengaja melihat botol obat di bawah kursi Aline. Merasa asing dengan tulisan di botol obat itu, Moza memutuskan mengambilnya dan bertanya di apotek. Gadis itu sudah sangat penasaran dengan penyakit Aline yang sering gadis itu bilang hanya anemia.

Tbc

avataravatar
Next chapter