2 | Awal Mula Tragedi

Di salah satu gedung yang terdapat di kota metropolitan, terlihat gadis muda tengah berjalan sendirian menyusuri lorong dengan penerangan seadanya sambil mengecek kembali barang bawaannya.

Saat ini, arloji telah menunjukkan pukul satu dini hari. Belum lagi hujan lebat disertai petir dan kilat yang turun membasahi permukaan bumi sejak pukul empat sore tadi belum juga mereda, memaksa gadis muda itu memesan taxi untuk mengantarnya pulang menuju apartemen miliknya.

"Astaga tidak ada habisnya!"

Gadis itu menggerutu kesal sembari menekan tombol lift. Perlahan pintu lift terbuka, tanpa pikir panjang ia pun bergegas melangkahkan kaki ke dalam lift tersebut, lalu ia kembali menekan tombol untuk membawanya ke lantai dasar.

Lift ini kosong, tak ada seorangpun karyawan. Mungkin saat ini hanya dia satu-satunya karyawan yang tersisa, jika mengesampingkan fakta bahwa satpam juga seorang pekerja di perusahaan ini tentunya.

Tidak butuh waktu lama, kini gadis itu telah berada di lantai dasar.

"Lembur lagi, Ris?" Tanya seorang satpam pada gadis itu yang hanya dijawab dengan anggukan dan senyum ala kadarnya.

"Hati-hati di jalan," ucap satpam itu lagi.

"Iya, terima kasih," ucap gadis itu sambil melambaikan tangannya ke arah satpam tersebut.

Setelah keluar dari dalam gedung, dengan cepat gadis itu mengedarkan pandangannya untuk mencari taxi yang telah ia pesan.

Tak perlu waktu lama untuknya menemukan mobil berukuran sedang itu. Setelah gadis itu memasukin taxi, mobil tersebut kemudian melaju dengan kecepatan sedang menerobos hujan yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.

Gadis yang kerap disapa Risa ini merupakan gadis berparas cantik dengan tinggi semampai dan surai coklat sepinggang yang biasa ia biarkan begitu saja. Kulit seputih salju yang dimilikinya menambah nilai plus pada gadis itu.

Bukan hanya berparas cantik, namun kecerdasan yang dimilikinya bisa dibilang diatas rata-rata. Bukti nyatanya, ia berhasil menyelesaian kuliah dalam waktu singkat yakni hanya tiga tahun. Dia juga mengikuti kelas akselerasi semasa SMP dan SMA nya.

Karna hal itu pula Risa dituntut untuk menjadi gadis yang berfikir dewas dan memiliki pemikiran yang maju di umurnya yang baru menginjak tujuh belas tahun. Ia bahkan mengubur jauh-jauh apa yang ia inginkan demi mewujudkan hal yang diinginkan oleh kedua orang tuanya.

Mobil yang dinaiki gadis itu kini telah berhenti di depan sebuah gedung besar, gadis itu dengan cepat keluar dari taxi tersebut. Dengan langkah cepat, ia melewati lobi yang telah sepi, hanya terlihat beberapa karyawan dan beberapa orang yang sedang bersantai di sana.

Entah kenapa sedari tadi Risa merasa resah akan suatu hal, tetapi gadis itu tak mengerti mengapa ia resah. Disamping itu saat di kantor ia melihat hal-hal yang tidak ingin ia lihat, kelebatan hitam yang bahkan gadis itu tak tahu makhluk apa itu. Ditambah saat ini ia merasa tengah diawasi.

Namun, dengan cepat gadis itu membuang jauh-jauh pikiran tersebut. Tidak penting. Itu yang ada di piikirannya tentang hal-hal yang berada di luar akal sehat manusia. Saat ini yang ada di dalam list prioritasnya adalah beristirahat dengan tenang di kamar apartemennya.

Risa saat ini telah berada di dalam lift, ia kemudian menekan tombol yang menunjukkan angka tujuh belas, tempat di mana kamar apartemennya berada. Pintu lift tersebut dengan cepat menutup dan perlahan mulai bergerak naik.

Risa memang bisa dibilang salah satu mahakarya yang dimiliki orangtuanya, dia dikenal sebagai anak yang penurut. Namun, semua itu hanya kebohongan belaka. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia merasa sangat muak dengan dunia ini, merasa terkekang dengan segala aturan yang dibuat untuknya.

Hanya diperintah tanpa bisa memerintah, memuakkan. Dibalik kesempurnaan belum tentu tidak terdapat kekurangan. Seperti halnya Risa, meskipun ia dikenal sebagai anak yang berkepribadian tenang dan mudah berbaur ia juga memiliki beberapa kekurangan, salah satunya adalah ia gampang mengumpat serta mengeluh.

"Sial, padat sekali," ucap Risa saat ia mengecek jadwalnya.

Dan juga.

"Enyahkan saja aku dari dunia ini."

Ia senang sekali berkata tanpa berfikir. Risa kembali memasukkan smartphonennya ke dalam tas.

Ting!

Suara nyaring lift memancing pandangan gadis itu untuk memandang ke arah pintu lift. Risa memandang ke arah layar kecil yang menunjukkan lokasinya saat ini. Lantai tiga belas. Risa melirik ke arah jam tangannya, jam itu menunjukkan pukul dua dini hari.

"Siapa yang mau menaiki lift dini hari seperti ini?" pikir gadis itu.

Pintu lift perlahan terbuka, dan tidak terlihat ada orang di depan pintu tersebut. Risa berusaha berfikir positif, mungkin saja ada binatang yang tidak sengaja melewati tombol lift tersebut.

Namun, pemikiran positif itu dengan mudahnya dipatahkan saat tiba-tiba saja seluruh lampu yang ada di koridor tersebut padam, asap-asap tipis dengan cepat memenuhi lift.

Reflekas tangan gadis itu menekan tombol untuk menuju lantai tujuh belas berkali-kali dengan cepat, ia berharap tidak ada hal buruk yang akan terjadi.

Beberapa detik sebelum pintu lift tertutup dengan sempurna, samar-samar gadis itu melihat sesosok makhluk dengan jubah hitam dan memegang sebilah sabit besar tengah berdiri tidak jauh darinya.

Wajah makhluk itu tidak terlihat jelas, namun ia dapat mengetahui bahwa makhluk itu tengah menatapnya dengan tajam dari balik tudung jubahnya yang penuh dengan bercak darah, karena mata makhluk itu bercahaya dengan warna merah menakutkan.

Risa membuluatkan matanya sempurna saat makhluk itu mulai melesat ke arahnya. Terdengar bunyi logam yang saling bertabrakan dan memekakan telinga. Sepertinya sabit makhluk itu menghantam pintu lift.

Risa menghela nafasnya, tubuhnya jatuh terduduk. Gadis itu merasa ia telah lolos dari makhluk menyeramkan itu saat lift kembali berjalan naik. Setidaknya itu yang ia pikirkan sebelum lift itu kembali ke lantai tiga belas.

Suara besi berkarat yang saling bergesekan disertai lampu yang perlahan meredup dan beberapa kali berkedip kembali membuat jantungnya berdebar hebat. Risa kembali berdiri dari posisinya, ia bersiap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.

Jantung Risa yang tengah berdebar kencang serasa terhenti saat suara yang terdengar berat tiba-tiba saja terngiang di dalam kepalanya.

"Dengan senang hati aku akan mengabulkan keinginan indahmu itu, Nona."

Kemudian, dengan cepat lift yang gadis itu naiki terjun bebas dari lantai tiga belas.

Debuman hebat terdengar dan mengundang perhatian dari seluruh orang yang ada di lantai dasar gedung apartemen tersebut.

Orang-orang terlihat mengerumuni pintu lift yang mengeluakan suara hantaman keras tadi. Perlahan pintu lift terbuka, terlihat lantai lift tersebut dipenuhi dengan cairan berwarna merah kental disertai bau amis yang menyeruak menusuk indra penciuman.

Orang-orang di sana memandang orang yang ada di dalam lift tersebut tak percaya. Petugas keamanan dengan cepat menelfon petugas kepolisian dan ambulans.

Gadis yang ada di dalam sana, yang tidak lain adalah Risa, kini terkulai lemah. Kepalanya bocor karena terbentur lantai sangat keras dan membuatnya kehilangan banyak darah. Tubuhnya terasa sangat sakit, dingin, dan benar-benar membuatnya tidak nyaman.

Apakah ini rasa dari kematian?

Seluruh indra gadis itu semakin lama semakin melemah, dan pada akhirnya, gadis itu menyerah, tubuhnya tidak dapat merasakan apapun lagi.

Kini, hanya kegelapan yang dapat ia lihat sejauh mata memandang.

avataravatar