11 Letupan Senjata -Part 2

Pernah suatu hari, saat Grace tengah jenuh di ruang baca keluarga Kyle. Dia menangkap sosok Elissa. Dengan cepat Grace mendekati Elissa dan mengajaknya bicara. Namun yang ada, wanita berusia 30an tahun itu memilih mengabaikannya.

Setelah ia selesai berganti baju dengan kemeja putih se—paha, dan menguncir satu rambut merahnya dengan asal, Grace pun berjalan keluar menuju balkon kamar. Bukan berarti ia tak kedinginan, mengenakan pakaian setipis dan sependek itu di musim dingin ini. Hanya saja, Grace merasa jika hatinya lebih dingin dari musim dingin di Inggris. Hatinya sangat... kesepian.

Grace duduk di kursi yang ada di balkon kamar, kakinya disilangkan. Tangan kananya memegang cangkir yang berisikan teh panas yang baru saja ia buat tadi. Sementara tangannya yang lain menggenggam sebuah pingura manis, yang di sana ada potretnya pun Korvin. Adik tercintanya.

"Aku merindukanmu, Korvy..." gumam Grace, setelah ia meneguk tehnya, ia pun mengelus lembut foto yang ada di sana dengan jempol tangannya.

Bahkan, tanpa sadar, air mata itu menetes begitu saja di atas foto itu. Ia rindu Korvin, sungguh! Bahkan, dia sangat merindukan Korvin di saat-saat seperti ini. Dia butuh teman agar tak kesepian.

Selama ini, Grace dan Korvin menghabiskan musim dingin mereka dengan menonton TV di rumah. Atau paling tidak, keduanya pergi jalan-jalan di tempat yang cukup dekat. Grace tak mungkin mengajak Korvin untuk jalan-jalan di tempat jauh, sebab... Grace tak ingin menghabiskan gaji bulanan adik tercintanya itu.

Namun, rupanya... musim dingin kali ini Grace harus menelan pahit kekecewaannya. Dia berada jauh dari Korvin, bahkan... dia tak tahu, bagaimana Korvin bisa menjalani hidupnya seorang diri. Korvin tak bisa memanggang roti, pun melakukan pekerjaan-pekerjaan mudah lainnya. Dan Grace tak mau, Korvin menghabiskan gaji bulannya hanya untuk sekedar makan di luar.

Grace memeluk kedua kakinya, matanya terpejam bersamaan dengan cairan bening yang luruh dari kedua matanya. Entah sampai kapan, ia harus tersiksa seperti ini. Bahkan Grace merasa, jika keputusannya bekerja di rumah keluarga Kyle, adalah... salah.

==000==

"Apa yang harus kulakukan?" tanya Nicholas saat Sean baru saja masuk ke dalam ruangannya.

Sean mengerutkan kening, dia menoleh ke sana—ke mari untuk mencari tahu apakah benar dirinya yang diajak bicara Nicholas? Saat ia yakin jika dirinyalah satu-satunya orang yang ada di sana, Sean pun mendekat.

Matanya memandang ke arah Nicholas yang duduk dengan tenang sambil bertopang dagu di balik mejanya.

"Tentang Omar?" tebak Sean tak paham, dia kemudian tersenyum, dan menyerahkan beberapa dokumen kepada Nicholas. "Tenanglah, kau tak perlu melakukan apa pun, Nick... aku dan Marvin sudah mengurus semuanya." lanjutnya bangga.

Nicholas bergeming, matanya menatap dingin ke arah Sean. Dan, Sean tahu... apa arti tatapan itu.

"Apa?" tanyanya yang tak mengerti. Nicholas menghela napas panjang, kemudian dia menyingkirkan dokumen yang baru saja diserahkan Sean ke tepi.

"Apa yang harus kulakukan untuk membuatnya tersenyum?" tanya Nicholas pada akhirnya.

Otak Sean bekerja cepat, dia bingung siapa yang dimaksud oleh sepupunya. Sebab, dalam hidup dia mengenal Nicholas, tak pernah sekalipun Nicholas memikirkan untuk membuat orang lain tersenyum. Bahkan, memperdulikan orang pun tak pernah. Yang ia pedulikan hanyalah... bagaimana cara membunuh orang, dan... bagaimana cara membalas dendam.

"Dia? Siapa?" tanya Sean tak mengerti. Meski ia takut dengan jawaban itu, tapi dia memilih bertanya, dari pada memberikan jawaban yang salah dan berakhir nyawanya melayang begitu saja.

Rahang Nicholas mengeras, tatapannya semakin tajam memandang ke arah Sean. Dan, Sean pun menelan ludahnya dengan susah. Dia tahu, seorang Nicholas Kyle tipikal orang yang tak suka ditanya, tak suka diusik, dan... tak suka dengan sesuatu yang berjalan tak sesuai kehendaknya.

Bagi Nicholas, ia adalah Tuhan untuk dirinya sendiri. Sebab, ia bisa memberi hidup orang yang memohon padanya untuk dibiarkan hidup, dan... dia bisa membunuh orang yang tidak ingin dibiarkan hidup. Dia tak percaya jika di Dunia adalah Tuhan, dan itulah Nicholas... lelaki mengerikan yang Sean kenal. Terlebih, lelaki itu adalah sepupunya sendiri.

"Maaf, Nick... aku—"

"Berilah kejutan, maka dia akan senang." jawab Marvin tiba-tiba.

Sean memberi isyarat kepada Marvin, tentang siapa yang dimaksudkan Nicholas. Namun, Marvin mengacuhkan Sean kemudian menunduk hormat di depan Nicholas.

Nicholas berdiri, ia menebas jubah hitamnya. Matanya kini menerawang ke arah balkon kamar Grace, memandangi wanita itu yang tengah menangis. Dia benci perasaan aneh ini, perasaan yang mengganggunya ketika melihat air mata Grace. Dan, Nicholas ingin segera menghapus rasa aneh itu di dalam dadanya.

"Belikan gaun terindah di negeri ini, dan siapkan makan malam mewah untuknya."

"Baik, Tuan Kyle." jawab patuh Marvin.

avataravatar
Next chapter