webnovel

8. Menjadi Seseorang Yang Berguna

Ben cukup terkejut mendengar permintaan Deviana. Ia menatap wajah wanita yang tengah meringis di hadapannya. Lalu ia menoleh ke samping dan melihat seseorang yang sedang memperhatikannya.

Wanita itu adalah Briella. Tatapannya begitu sinis seperti yang hendak membunuh. Briella pasti salah satu dari orang yang membencinya. Entahlah, Ben tidak yakin akan hal itu. Selama ini Ben tidak pernah memiliki skandal dengan wanita itu, tapi Briella selalu menatapnya seperti itu.

"Ben? Sepertinya, lupakan saja," ujar Deviana membuat perhatiannya kembali pada wanita itu.

"Oh, maaf. Aku tadi—"

"Katakan saja kalau kamu tidak mau pergi bersamaku supaya aku tidak perlu terlalu mengharapkanmu." Wajah Deviana tampak getir.

"Tidak, tidak. Aku tidak bermaksud untuk berkata seperti itu. Maksudku, oke. Aku akan pergi bersamamu. Hmmm, kapan waktunya? A-apa yang harus aku kenakan? Apa ada tema khusus?" Ben berusaha berbicara serius dengan Deviana meski sesekali ia melirik ke arah Briella.

"Semua orang wajib mengenakan pakaian resmi. Hanya itu saja," ucap Deviana datar yang kemudian terkejut karena jawaban Ben sebelumnya. "Kamu serius, Ben? Jadi … kamu mau pergi bersamaku ke prom night?"

Ben mengedikkan bahunya. "Ya." Lalu ia mengangguk.

Senyum simpul tampak begitu manis di wajah Deviana. Ia tampak senang mendengar jawaban dari Ben. Padahal sebenarnya, Ben tidak begitu tertarik pada acara itu. Ia merasa tidak nyaman jika nanti ia sampai bertemu dengan beberapa mantannya di acara itu.

Ya, tidak heran jika ada beberapa kakak tingkat yang pernah berpacaran dengannya, meski hanya seumur jagung. Ben masih baik pada mereka semua karena mereka memang putus secara baik-baik. Namun, tetap saja, Ben khawatir jika ada salah satu dari mereka yang tidak menyukai Deviana dan malah semakin membencinya saat Ben pergi bersama Deviana ke acara itu.

Ah, Ben tidak peduli. Jika ia bisa menemani Deviana ke sana, mungkin ia bisa mencuci mata untuk melihat wanita-wanita cantik yang mungkin bersedia untuk memanjakannya.

"Terima kasih ya, Ben. Kamu adalah penyelamatku!" seru Deviana ceria.

"Uhm, Dev, aku mau bertanya sesuatu. Kenapa kamu mau pergi denganku? Bagaimana jika Gani melihat kita dan menyangka jika ada sesuatu di antara kita? Dia bisa saja cemburu padaku."

Wajah Deviana kembali berubah menyeringai. "Begitu ya. Uhm, aku tidak pernah berpikir jika dia akan cemburu padamu. Dia kan … dia kan …."

"Ah sudahlah. Kita lihat saja nanti. Jika aku berhasil membuatnya cemburu, itu artinya dia memang benar-benar menyukaimu," ucap Ben dengan penuh keyakinan.

Deviana terkekeh hambar. "Kamu ini ada-ada saja. Mana mungkin Gani sampai cemburu padamu. Itu mustahil."

"Hmmm, sejak tadi kamu bilang mustahil terus. Kamu kan tidak akan pernah tahu apa isi hati pria." Ben mengangkat sebelah alisnya.

Deviana menggigit bibirnya dan tampak memelas. "Jadi, apa yang harus aku lakukan?"

"Santai saja. Pakailah gaun terbaikmu dan rias wajah semaksimal mungkin. Kita akan membuat semua orang terkejut melihatmu."

"A-aku tidak punya gaun yang bagus dan aku tidak bisa merias wajah dengan maksimal," ucap Deviana sedih.

Ben mendecak. "Tenang saja. Datanglah ke Tie The Knot. Biar semuanya aku yang atur."

"Serius, Ben?! Kamu akan menolongku?"

Ben terkekeh. "Iya, iya, Dev." Lalu ia menepuk bahu Deviana yang mana membuat wanita itu tampak seperti tersengat listrik.

"Terima kasih banyak ya, Ben," ucapnya pelan sambil tersenyum malu-malu. "Kamu benar-benar penyelamatku."

"Sudahlah. Jangan berkata seperti itu. Kita kan teman. Sesama teman harus saling membantu."

Ben dan Deviana melanjutkan langkahnya menuju ke ruangan kelas. Ia melihat Briella jalan terlebih dahulu dan memilih untuk duduk di deretan paling depan.

Ben menghela napas sambil merenungi nasibnya. Ada banyak wanita yang menyukainya dan ada pula yang membencinya. Briella adalah salah satu yang paling mengerikan di antara semua wanita yang membencinya.

Cara wanita itu menatapnya benar-benar membuat sekujur tubuh Ben merinding. Ben tampak seperti yang sudah melakukan dosa besar padanya. Padahal ia tidak benar-benar mengenal wanita itu sama sekali.

Yang ia tahu, Briella adalah seorang mahasiswi dengan nilai-nilai terbaik. Ayahnya adalah seorang dokter, tapi Briella lebih suka mengambil kuliah jurusan bisnis yang sama dengan Ben. Wanita itu berasal dari keluarga yang kaya raya dan untuk itu, ia sangat tertutup dan tidak mudah bergaul.

Untuk beberapa alasan tertentu, wanita itu memutuskan untuk membenci Ben meski Ben tidak tahu kesalahan apa yang telah ia perbuat padanya.

Selama di dalam kelas, Ben tidak benar-benar memperhatikan saat sang dosen menerangkan pelajaran. Ia sibuk bertukar-tukar kertas surat dengan Deviana untuk membahas tentang gaun yang akan temannya itu kenakan nanti.

Sepertinya kegiatan Ben itu agak mengganggu pelajaran di kelas. Sang dosen, Pak Arif, segera menegur Ben.

"Ben, kalau kamu lebih suka membuat keributan, silakan keluar dari kelas saya," ucap Pak Arif tegas.

Ben nyengir. "Maafkan saya, Pak," ucapnya tanpa penyesalan.

Lagi-lagi, Briella si wanita judes itu menatap Ben dengan sinis. Saat Ben balas menatapnya, Briella mengangkat dagunya dan membuang wajahnya.

Sikap Briella membuat Ben jadi miris. Haruskah ia terima dengan sikap menyebalkan dari wanita itu?

Usai kelas, Ben pun berjalan keluar bersama Deviana. Lalu Jihan datang menyusulnya. Mereka duduk terpisah cukup jauh selama di kelas.

"Ben, selesai kuliah nanti bisa datang ke rumahku?" tanya Jihan.

Ben menghentikan langkahnya dan berbicara dengan sahabatnya itu. "Oh, ada apa, Han?"

"Ada sesuatu yang ingin aku berikan untukmu. Sebenarnya, bukan dariku, tapi dari orang tuaku. Apa kamu akan datang?"

"Tentu saja. Apa mereka sudah kembali ke Batam?"

"Ya. Mereka baru saja kembali. Ada sedikit oleh-oleh untukmu," ucap Jihan sambil mengangguk.

"Oke. Pulang kelas, kita langsung ke rumahmu."

Lalu Deviana berkata pada Ben. "Ben, sekali lagi terima kasih ya karena kamu sudah mau menolongku. Aku sudah tidak ada lagi kelas, jadi aku mau pulang. Besok aku akan berkunjung ke butikmu ya."

"Baiklah. Sampai ketemu lagi besok, Dev." Ben melambaikan tangannya pada Deviana.

Setelah wanita itu pergi, Jihan pun menatapnya. "Apa yang kamu lakukan, Ben?"

"Aku hanya memberinya sedikit pertolongan," jawab Ben sambil mengedikkan bahunya.

Jihan menyipitkan matanya sambil melipat tangannya di dada. "Pertolongan apa?"

"Dia tidak punya teman untuk pergi ke prom night. Untuk itu, aku menolongnya dengan menjadi partner-nya. Aku akan meminjamkannya gaun yang bagus dan membantu merias wajahnya."

Ben merasa dirinya seperti seorang pahlawan. Baginya, tak masalah jika ia bisa menolong temannya sendiri. Setidaknya, ia bukan hanya sekedar pria yang suka menggoda wanita saja. Ia pun seorang teman yang berguna.

Next chapter