3 Kesedihan yang paling mendalam adalah kehilangan

Matahari tidak bersinar terang hari ini, bersembunyi dibalik awan seolah malu-malu. Seperti perawan yang baru saja jatuh cinta. Cuacanya cukup dingin dengan semilir angin yang cukup menyejukan.

Suasana melankolis yang sesuai dengan penghuni kamar Anggrek disalah satu rumah sakit ternama di ibukota.

Wajah sendu dengan kecemasan yang kentara. Sepasang mata tampak sembab, bisa dipastikan telah banyak air mata yang keluar dari sana. Terlihat seperti telah menangis berjam jam lamanya.

Sepasang mata itu adalah milik Rania, ibu Grey.

Wanita paruh baya itu duduk sembari menggenggam tangan putri bungsunya yang terkulai tanpa tenaga. Terlihat begitu pucat seolah tanpa aliran darah. Masih terasa hangat, itu yang membuat Rania merasa sedikit tenang. Menandakan putrinya masih bersamanya. Hanya sedang tertidur, tapi dalam jangka waktu yang tidak Rania sukai.

3 hari..

Gadis itu belum juga bangun. Badanya tidak bergerak. matanya tidak terbuka. Mulutnya tidak mengeluarkan suara. Seolah semuanya tidak berfungsi.

Rania kembali menangis ketika merasakan sebuah usapan dibahunya. Itu suaminya, berusaha memberinya ketenangan.

"Kenapa Grey belum bangun juga? Kemana putriku?". Rania terisak isak, menyembunyikan wajah di perut pria yang telah menemaninya hampir selama hidupnya.

Pria itu, Malik. Mengusap pelan airmata yang keluar dari sudut matanya. Grey tidak pernah membuatnya khawatir, putrinya itu mandiri dan tidak pernah mengeluh tentang apapun. Dia sudah terbiasa melihat Grey bergerak kesana kemari dihadapanya. Memanggilnya Ayah, memijat pundaknya, membuatkan kopi dan nasi goreng.

Saat ini rasanya begitu aneh dan menyakitkan. Putrinya terbaring dengan begitu banyak alat medis ditubuh. Ada sengatan listrik yang mengenai hatinya. Dia merasa bersalah karena tidak memperhatikan Grey, tidak bertanya apapun pada gadis itu. Tidak pernah bertanya apa yang Grey inginkan. Dia menyesal karena pernah merasa senang saat Grey menjadi anak yang mandiri.

'Maafkan Ayah, Grey'

Rania dan Malik menoleh kearah pintu. Sudah masuk seorang gadis tinggi dengan tubuh kurus yang nyaris sama dengan postur tubuh Grey.

Gadis itu Inara. Baru kembali dari luar kota. Menjenguk neneknya yang tiba-tiba jatuh pingsan ketika berjalan jalan.

Inara adalah teman dekat Grey,meski tinggal di daerah yang berbeda dan tempat kerja yang berbeda.

Gadis itu tidak pulang setelah sehari semalam menunggu Grey.

"Sudah bertemu dokter Arya?". Pertanyaan terburu yang dilemparkan oleh Rania. Inara mendekat sebelum menjawab.

"Dokter Arya tidak ada bi, beliau sedang melakukan operasi di Rumah sakit lain. Kemungkinan nanti sore beliau datang". Inara mengucapkan dengan hati hati. Berharap ibu Grey bisa mengerti.

"Tapi bagaimana dengan Grey? Dia seharusnya mengurus putriku". Ada nada marah yang terselip tapi lelah dan lemah lebih mendominasi. Rania sebenarnya ingin teriak, marah karena putrinya dibiarkan koma begini tapi apa yang bisa dia lalukan. Tenaganya habis. Tubuhnya kelelahan.

"Dokter Arya juga bertanggung jawab pada pasien lain. Pada keluarga pasien lain. Bukan berarti dia tidak perduli pada putri kita. Mengertilah". Malik berusaha menenangkan istrinya. Dia tidak bisa menyalahkan Dokter Arya karna bagaimanapun dokter itu memiliki banyak pasien yang butuh ditangani. Dia bisa mengerti.

"Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Grey? Apa yang akan kulakukan jika Grey meninggalkan aku? Aku tidak akan bisa bernapas lagi". Ucap Rania emosional.

"Bibi jangan bicara begitu. Bagaimana jika Grey mendengar itu?. Bibi harus bersemangat". Inara juga tidak tau apakah Grey bisa mendengar ucapan mereka disaat gadis itu koma. Inara tidak paham tentang hal-hal berbau medis. Dia hanya mengerti tentang patah hati. Itu saja.

"Grey bisa mendengar kita?". Wajah itu tampak bersinar penuh harap. Inara tidak ingin mematahkan semangat wanita yang sudah dianggapnya ibu itu. Dia ingin itu Grey kembali ceria.

"Tentu saja Bi, dia bisa mendengar apapun yang kita ucapkan". Inara melemparkan tatapan kearah Grey, berharap gadis itu mendengar bahwa mereka semua menunggu. Memohon agar sahabatnya itu bangun sesegera mungkin. Ada banyak hal yang ingin dia ceritakan.

"Ibu akan menunggu tidak perduli selama apapun itu. Bangunlah saat kau siap". Rania mengeluh lembut pipi putrinya. Kapan terakhir kali dia melakukan itu?

Sudah lama sekali, mungkin saat putrinya masih sekolah dasar.

Dering ponsel menarik atensi mereka semua.

"Audrey". Ucap Malik setelah mengeluarkan ponsel dari saku.

"Kau ingin bicara?". Malik bertanya. Rania menggeleng sebagai jawaban.

"Katakan aku baik-baik saja". Pesan Rania sebelum suaminya keluar ruangan untuk menjawab telepon. Rania tidak ingin Audrey merasa khawatir. Putri sulungnya berada di tempat yang jauh. Sudah cukup berat bagi gadis itu untuk tinggal berpisah dari keluarganya. Rania tidak ingin menambah beban pikiran Audrey. Biarkan gadis itu fokus pada pendidikanya.

"Audrey tidak pulang, Bi?". Inara bertanya perihal kakak perempuan Grey. Gadis yang dia tau sedang kuliah di luar negri. Grey bilang, Audrey akan menjadi seorang dokter saat pulang nanti.

"Dia ingin tapi tidak bisa. Bibi bisa mengerti". Inara mengangguk, tidak ingin bertanya apa alasannya. Masalah keluarga dan Inara tidak ingin turut campur.

"Aku tidak melihat pacar Grey dari kemarin". Inara kembali bertanya tapi kali ini tentang kekasih Grey. Sejak kemarin saat dia datang, tidak ada orang lain selain ayah dan ibu Grey. Jadi dia mulai penasaran kemana Adrian berada.

"Adrian pulang saat kau datang. Kalian tidak berpapasan di koridor?".

"Mungkin tidak". Meskipun berpapasan, Inara juga tidak akan paham karena dia tidak pernah bertemu dengan Adrian. Konyol bukan?. Dia berteman baik dengan Grey tapi tidak tahu seperti apa wajah kekasih temannya itu. Mereka tidak pernah punya kesempatan untuk bertemu karna schedule kerja yang berbeda.

Beberapa bulan lalu Grey pernah menunjukan foto pria itu, tapi tetap saja dia tidak akan ingat.

Adrian sepertinya pria yang sibuk, Grey juga, dia juga. Mungkin itu alasan mereka tidak bisa bertemu.

Hanya Grey yang punya jadwal fleksibel karena malam hari gadis itu tidak memiliki kegiatan.

"Dia menunggu Grey berhari-hari jadi Bibi minta dia pulang. Dia juga harus bekerja, kasihan kalau harus kelelahan". Inara kembali mengangguk.

Rania bangkit ketika Malik masuk kedalam ruangan. Inara tidak terlalu perduli tentang apa yang mereka katakan. Pasti tentang pembicaraan ditelpon tadi.

Inara kembali memandang Grey, wanita itu tidur terlalu nyenyak. Sangat tidak bagus bukan?

"Kau harus seㅡ". Ucapan Inara terpotong

Bunyi alat medis mengagetkan mereka semua.

"ㅡBibi lihat!!"

Semua wajah berubah panik.

avataravatar
Next chapter