17 MENGHILANGNYA RASA SAKIT

Cowok itu berlari menaiki anak tangga dengan tergesah-gesah. Membuka pintu rooftop, dan kembali berlari sambil berteriak memanggil nama Nerta.

Langkahnya terhenti di depan meja, Alzam mulai duduk. Kemudian Ebi ikut duduk di depannya dengan senyum tipis.

"Ini yang kamu maksud?" tanya Ebi.

Alzam mengangguk, memutar kotak kaca berwarna hitam itu agar Ebi tahu bagaimana kondisinya.

"Mau langsung nyoba apa gimana Ta?"

"Mau nanya dulu."

"Nanya apa?"

"Ini kamu yang buat?"

"Iya dong, selain ganteng, aku juga kreatif Ta. Tapi kreatifnya beda."

"Bedanya?"

"Bedanya, kreatifnya aku itu buat bikin kamu senyum terus."

"Lebay Al."

"Gapapa, buat kamu mah apa sih yang engga Ta?" sahut Alzam.

Ebi tertawa kecil, kemudian beralih untuk memperhatikan kotak yang di berinama 'Sutas Harapan Alta' itu.

"Al, kenapa namanya alta?" tanya Ebi dengan kening bertaut.

"Itu sebenernya dua nama Ta, aku gabungin. Al itu namaku, dan Ta itu nama kamu, jadilah alta," jelas Alzam.

"Kamu selalu bisa ya ya Al, aku sampai gak habis pikir haha!"

"Bagus kan Ta?"

"Iya, bagus banget."

"Terus ini mainnya gimana  Al?" Ebi terus memperhatikan kotak itu dengan penuh pertanyaan yang ada di dalam otaknya.

Alzam mengambil alih, membuka pintu yang ada di bagian atas kotak sambil memperhatikan Ebi dengan senyuman yang tak pernah luntur.

"Ini caranya tinggal gini aja, di puter biar kecampur rata, baru kamu ambil satu kertas kaya gini."

Alzam mengeluarkan seutas kertas berwarna hitam. Kemudian ia menyodorkan kotak itu pada Ebi, memberikan kode agar Ebi melakukan seperti yang dia lakukan.

Ebi mengerti, dan mencoba untuk memasukkan tangan kanannya ke dalam kotak. Memutar isi kertas yang ada di dalam sana, dan mengambil satu dari sekian banyak kertas.

Di tatapanya kertas berwarna hitam itu dengan kening bertaut. Ebi bingung, ia  kembali menatap Alzam, "Kenapa warnanya hitam?"

"Apanya Ta?"

"Warna kotak sama warna kertasnya, kenapa hitam?" tanya Ebi lebih spesifik.

"Oh itu, soalnya sebelum berharap pasti yang kita rasain itu abu-abu Ta. Perasaan kacau, rasa pahit yang menurutku cocok untuk warna hitam. Waktu di buka kertasnya, ada tinta berwarna putih, itu harapan kita yang pasti akan terwujud."

Ebi terdiam, ia masih memperhatikan kertas hitam itu, dan kemudian membukanya dengan perlahan.

"Aku ingin pulang, menuju tempat yang tak pernah membuatku sakit," gumam Ebi.

"Sesuai Ta?" tanya Alzam.

Ebi mendongak, menatap cowok itu dengan tatapan datarnya, "Kamu nulis sesuai sama apa Al?"

"Sesuai sama perasaan hati kita Ta. Jangan bertanya lebih jauh Ta, lebih baik diam daripada merasa tidak nyaman."

"Aku tahu, maaf ya Al. Bukan karena apa, cuman aku ngerasa sesuatu yang tertulis di sini, sesuai sama apa yang aku minta dua hari yang lalu."

"Aku harap apa yang kamu minta Tuhan kabulin Ta, tapi aku juga berharap salah satunya gak di kabulin."

"Kenapa?" tanya Ebi dengan kening bertaut.

"Karena aku gak mau kamu lenyap Ta, aku gak mau kamu menghilang hanya untuk bertemu dengan Tuhan."

Ebi membisu, kalimat yang baru saja keluar dari bibir Alzam membuatnya merasa tidak nyaman. Doa yang selalu di berikan kepada Tuhan, yang tak pernah ia lupakan, dan selalu di impikannya. Kali ini terasa berbeda, Ebi merasa tidak nyaman.

"Al?" panggil Ebi.

Alzam menjawab dengan dehaman, dan Ebi mulai menatap sorot mata itu dengan tatapan sendunya.

"Aku udah bosen hidup, aku gak ngerti apa tujuanku di sini, apa tugas yang Tuhan kasih sampai aku harus bertahan di dunia yang menyeramkan ini," jelas Ebi panjang, perhatiannya beralih pada sepatunya yang mulai usang.

Alzam menghela samar, menggenggam salah satu tangan mungil itu sambil memberikan senyuman tipis, "Ta, aku tahu kamu capek, aku tahu kamu muak, aku juga Ta. Aku juga muak sama takdir yang terus mainin aku, tapi waktu aku mau bunuh diri. Aku mikir lagi Ta, aku cari tujuan hidup aku, dan sekarang aku mau hidup lebih lama lagi."

Ebi menoleh, menatap Alzam datar sambil berkedip beberapa kali, "Apa Al? Apa tujuan itu?"

"Kamu Ta, tujuanku sekarang pengen bahagiain kamu. Aku pengen kamu tersenyum bahagia sama aku, dan tujuanku yang kedua mengurangi semua beban yang kamu miliki."

****

Kaki jenjang itu melangkah dengan cepat. Melewati pertokoan yang mulai menata setiap barang kosong di depan sana. Gadis itu menghela, langkahnya mulai berhenti di depan lampu merah. Memperhatikan langit yang mulai menggelap,

Ebi menghela panjang, genggaman pada amplop cokelat itu semakin menguat. Gadis itu kembali menoleh ke arah kanan, dan kiri. Memperhatikan kendaraan yang tak kunjung berhenti untuk memberikannya waktu berjalan.

Semua kendaraan itu terlihat terburu-buru, mempercepat laju beserta suara klakson yang saling bersahutan. Padahal keselamatan harus nomor satu, tapi mereka seolah-olah tidak memperhatikan itu semua.

Jalanan mulai sepi, Ebi segera berjalan cepat yang terlihat seperti berlari.

Setelah menempuh waktu sekitar lima belas menit dengan berjalan, toko yang di inginkannya mulai terlihat. Toko roti yang terlihat sangat ramai itu membuat senyum Ebi merekah. Ia segera memasuki toko roti itu, mencoba untuk menunggu sebentar, sampai lumayan sepi pengunjung.

"Ada yang bisa di bantu?" tanya salah satu karyawan toko dengan senyum ramahnya.

Ebi segera mendekat, memberikan surat lamarannya, dan berkata, "Saya mau titip lamaran Mba."

"Oh, maaf Mba, toko kami masih belum membutuhkan karyawan. Sudah cukup banyak di sini," sahut perempuan itu.

Ebi terdiam sejenak, dan berkata, "Ah! Gitu ya, makasih ya Mba."

"Iya, sekali lagi mohon maaf ya Mba."

Gadis itu mengangguk sambil tersenyum kecut. Berjalan keluar dengan helaan napas panjangnya. Mencari pekerjaan paruh waktu tak semudah yang di bayangkan, dan toko tadi adalah toko kesepuluh yang sudah Ebi coba untuk melamar.

Semua toko menolaknya karena mereka mau pegawai tetap, bukan paruh waktu untuk anak sekolah seperti Ebi.

Ebi kembali menghela, memperhatikan jalanan yang penuh dengan pengunjung. Ia mulai melangkah dengan gusar, jalannya lunglai karena semangatnya yang mulai pudar.

Ia rasa tak ada lagi harapan yang tersisa, tak ada lagi pelita yang terus di katakan orang-orang itu. Mereka bilang keajaiban akan selalu datang, entah di waktu sedang sudih, atau senang. Keajaiban tak pernah memandang latar belakang seseorang, tapi kenyataannya keajaiban selalu memandang latar belakang orang. Selalu mendahulukan orang kaya  yang memiliki harta.

Untuk orang miskin hanya kecil kemungkinan untuk mendapatkan keajaiban, yang ada hanya kata susah yang selalu muncul. Tak pernah absen untuk datang, tak pernah bosan pula bersanding dengan orang miskin.

"Nerta?"

Panggilan itu membuat Ebi menoleh, langkahnya terhenti dengan kening bertaut dalam. Seseorang yang memakai hoodie kuning terang, dengan masker berwarna putih tengah berlari sambil melambaikan tangan ke arahnya.

Ebi tidak tahu itu siapa, tapi sepertinya cowok itu mengenalnya dengan baik.

avataravatar
Next chapter