1 Ujian Sekolah

Safira tersentak bangun dari tidurnya. Butiran-butiran keringat membasahi keningnya.

[Ah, rupanya itu hanya mimpi]

Mimpi ini bukanlah yang pertama kali. Safira sudah sering memimpikannya selama 10 tahun terakhir. Kejadiannya sama persis. Rumahnya terbakar. Ia diserang pria berjubah hitam. Diselamatkan pria berambut panjang. Terakhir ditolong Paman Edgar.

Namun yang paling mengusik pikiran adalah kata-kata yang diucapkan pria berambut panjang itu pada dirinya. Ingatlah aku menyayangimu melebihi hidupku.

[Apa maksud kalimat itu?]

Safira berpikir keras. Kata-kata itu terus mengganggunya. Muncul pertanyaan-pertanyaan seperti siapa pria itu? Kenapa ia menyelamatkannya? Kenapa ia mengatakan kalau dirinya menyayangi Safira melebihi hidupnya sendiri?

Meski dapat mengingat dengan detail kejadian dalam mimpinya, Safira tidak dapat mengingat seperti apa wajah dari pria berambut panjang itu. Satu-satunya yang ia ingat adalah mata merah menyala dari pria berjubah hitam yang ingin membunuhnya.

Kring kring!

Alarm berbunyi. 06.00.

Safira bergegas bangun dari kasurnya. Ia tidak boleh membiarkan dirinya larut dalam pikiran-pikiran tidak jelas soal mimpi. Ia harus fokus. Setidaknya untuk hari ini saja. Hari ini adalah hari yang sangat penting menentukan perjuangannya selama masa SMP.

Yup, hari ini ujian nasional terakhir. Matematika!

Sudah sejak sebulan lalu ia belajar keras demi lulus dari mata pelajaran sialan bernama matematika! Bayangkan selama 3 tahun di SMP, belum pernah sekalipun ia mendapat nilai diatas 50 untuk mata pelajaran yang satu ini.

[Ya Tuhan, tolong kali ini saja buat nilai matematikaku 60. Aku harus lulus]

***

"Hari ini kita makan apa , Ma?" Tanya Safira pada wanita berumur 35 tahun di depannya.

Mama menoleh. "Mama tadi belanja ayam di pasar. Kita akan makan sup ayam."

Tanpa disuruh Safira sudah menyusun peralatan makan di meja makan. Ini adalah didikan mamanya sejak kecil. Maklum, sejak kecil Safira harus belajar mandiri. Dia harus sigap membantu ibunya yang single parent ini.

Mama mengangkat panci penuh sup ayam ke atas meja makan.

"Hati-hati masih panas," mama memperingatkan Safira.

"Jadi bagaimana dengan ujian matematika hari ini?" tanya mama sambil menyendokan sup ke mulutnya.

Safira menghela napas. "Semoga ujian kali ini berhasil. Aku harus lulus mata pelajaran gila ini kalau mau masuk sekolah desain."

Mama menuangkan minum untuk Safira.

"Jadi kamu yakin ingin melanjutkan sekolah ke SMA..?" Mama berusaha mengingat-ingat.

"SMA Tri Dharma, Ma."

Kadang Safira kesal dengan mamanya. Mama mudah lupa akan hal-hal penting contohnya SMA impian Safira yang memiliki prestasi desain dan melukis paling bagus seantero Jakarta.

Namun ia memahami mamanya sedang banyak pikiran. Mama harus memikirkan pekerjaan kantor yang menumpuk. Rumah. Dan Safira. Ditambah, mama kian sibuk bekerja hingga larut malam demi menghidupi dirinya di kota besar ini.

Disaat seperti inilah ia berharap ayahnya masih hidup. Andai saja.

"Intinya setelah ujian ini selesai, kita harus segera ke SMA Tri Dharma untuk mendaftar. Oke?"

Mama mengangguk tersenyum.

Safira paling suka melihat mama tersenyum. Akan ada dua lesung pipi muncul. Untungnya Safira mewarisi lesung pipi manis dari mamanya ini. Selain itu, ia juga mewarisi mata coklat mamanya. Hatinya senang. Setidaknya ada beberapa bagian wajahnya yang mirip dengan wanita yang telah melahirkannya ini.

"Safira."

Paman Edgar datang dari arah pintu ruang tamu. Senyum sumringah terpancar dari pria yang memiliki kulit coklat ini.

Meskipun berkulit coklat Paman Edgar memiliki tubuh setinggi 180 cm. Cukup tinggi untuk ukuran orang Indonesia. Matanya berwarna hitam legam. Saking hitamnya, sewaktu kecil Safira pernah bertanya pada pamannya mana yang lebih hitam: mata pamannya atau arang. Paman Edgar hanya tertawa.

Sebenarnya Paman Edgar tidak cocok dipanggil dengan sebutan paman. Wajanya cukup muda. Mungkin sekitar 20an akhir. Selain memiliki badan tinggi, pamannya ini juga memiliki otot kekar dibalik kaus polo yang benar-benar selalu dipakainya se-ti-ap ha-ri.

"Lho bukannya paman bilang baru datang dari Inggris minggu depan?" tanya Safira.

Paman menarik kursi makan di sampingnya. "Hmm… rencana berubah, Nak. Paman merindukanmu."

"Aih bohongnya.." gerutu Safira. "Paling paman rindu dengan cewek montok yang habis diajak kenalan tempo hari di mall."

Paman Edgar hanya tertawa.

"Hush, jaga mulutmu," tegur mama.

"Sudahlah, Wi." Paman Edgar tidak habis pikir dengan mulut judes Safira. Gadis kecil yang dulunya suka menggendong boneka beruang ini telah tumbuh menjadi gadis cerewet yang cantik.

Selesai makan, Safira berpamitan dengan mama dan pamannya. Hari ini ia akan melawan mata pelajaran sialan itu. Bersiaplah matematika!

avataravatar
Next chapter