1 Part 1

Namaku adalah Hiroshi Chen Lee. Jika dilihat lihat aku lebih mirip orang Chinesse. Itu karena ayahku memang orang Chinesse sedangkan ibuku orang Jepang. Aku punya kakak bernama Kenzo Arnius Lee. Wajah kakakku mirip seperti ibu, yaitu seperti orang Jepang. Kami semua tinggal di Beijing. Aku dan kakakku awalnya bersekolah disana. Begitu juga dengan ayah dan ibuku yang awalnya bekerja di sana, sebelum kami pindah ke Amerika. Tempat yang pernah mengubah hidupku 180 derajat.

Aku akan memulai awal kisahku dengan berbagai pendapat orang orang yang menganggap rumah adalah tempat yang nyaman, menyenangkan, indah, dan tempat yang hangat. Jika kalian beranggapan sama seperti itu, maka kalian sangat berbeda denganku. Benci. Itulah yang kurasakan setiap harinya. Hatiku selalu remuk mendengarkan perkataan orang orang tentangku. Aku lelah mendengar orangtuaku selalu mengoceh dan membandingkan-bandingkanku dengan orang lain, seperti dengan saudaraku maupun anak dari teman orangtuaku. Orangtuaku termasuk orangtua konservatif yang keinginannya harus dipenuhi olehku. Karena kalau tidak kuturuti, aku akan dimarahi habis habisan, ditampar, dipukuli, ataupun dicambuk dengan sabuk. Aku pun selalu mengalah dan menuruti hampir semua kemauan orangtuaku, tapi aku tentu saja tidak bahagia dengan hidup yang aku jalani, karena itu hidup impian orangtuaku, bukan impianku.

Aku ingin menjadi seorang pakar seni bela diri sabuk hitam yang sangat hebat. Karena itu di usiaku yang masih muda, aku tidak mengeluh kelelahan bahkan setelah berjam-jam berlatih. Setelah bertahun-tahun kerja keras dan upaya, aku mendapat pujian tinggi dari industri wushu dengan tekad dan fondasi seni bela diri yang kokoh. Aku menerima banyak penghargaan di kompetisi nasional di usia muda. Aku juga dianugerahi dua medali emas di Kompetisi Wushu Pemuda Beijing. Dua tahun kemudian, ketika aku berusia 10 tahun, aku masuk pertama dari 57 pesaing yang sangat baik ketika tim wushu nasional sedang mencari anggota baru, dan aku pun berhasil memasuki wushu nasional B-Mannschaft. Aku adalah peraih medali emas Beijing Youth Wushu dua kali. Namun orang tuaku sama sekali tidak bangga. Melihatku bertarung pun jarang. Semua jerih payahku untuk membuat mereka bahagia, untuk membuat aku berguna dimata mereka, usahaku untuk membuktikan aku sangat ingin ahli dalam kungfu pada orang tuaku agar mereka tak memaksaku dengan berbagai les privat, dan memaksaku menguasai semua bidang mata pelajaran di sekolah, semuanya sia sia. Mereka terus saja memaksaku untuk menjadi seperti kakakku. Yang orang tuaku mau, yaitu menjadi orang jenius seperti kakakku. Tentu saja semua itu bukanlah impianku. Namun mereka tetap saja memaksaku.

Kekesalan yang kudapat setiap harinya, selalu kupendam dalam dalam di depan mereka. Aku hanya bisa diam membiarkan mereka menyakiti perasaanku. Rasanya sakit tapi aku tak punya pilihan lain selain diam saja. Jika aku memberontak, maka mereka akan memakai kekerasaan padaku. Aku tak bisa melawan.

Hanya dihadapan orang lain aku bisa terlihat kuat namun jika dihadapan orang tuaku, maka aku bukan apa apa. Bagi mereka aku hanyalah anak yang gagal di keluarga ini.

Orang tuaku selalu merendahkanku dan menggunakan kekerasan padaku saat aku mendapat nilai C. Tapi saat aku mendapat nilai A+ di kelas, aku sama sekali tidak dipuji karena menurut mereka mendapat A+ bukanlah sesuatu yang istimewa karena kakakku sering mendapatkannya. Aku selalu saja tek pernah dihargai oleh mereka. Usahaku belajar mati matian agar aku bisa disayang mereka, agar aku tak dicaci maki oleh mereka, semuanya sia sia. Mereka sama sekali tak pernah bangga padaku.

Aku tidak membenci kakakku. Karena hanya kakakku yang baik padaku di keluarga bodoh ini. Aku hanya sangat iri padanya karena dia selalu mendapat apa yang dia inginkan. Dia selalu disayang dan selalu dibangga banggakan oleh orang tuaku. Kalau hanya untuk Kenzo, maka orang tuaku akan melakukan apa pun demi dia dengan alasan dia sangat pintar dalam seluruh bidang mata pelajaran di sekolahnya. Dia selalu saja memenangkan olimpiade sains, matematika, dan lain lain. Karena Kenzo pintar, dia bisa menjadi anak emas di keluargaku. Tidak hanya pintar, Kenzo adalah anak yang baik dan tampan, semua orang menyukainya. Berbeda denganku yang terbuang di keluargaku.

Aku tahu, aku tak akan bisa menjadi anak emas seperti kakakku. Karena aku tak sepintar dia. Tapi setidaknya hargailah aku sebagai seorang anak. Hargailah usahaku. Mungkin mereka memang benar. Aku hanya Hiro yang gagal dan terpojok di keluargaku.

Sejujurnya, aku ingin bisa terbuka seperti anak lain pada umumnya. Menceritakan apa yang dialami seharian itu, diberi pelukan dan kata-kata afirmasi untuk menyemangatiku, atau sekadar ditanyai kabar oleh orangtuaku. Namun, apa dayaku? Orang tuaku tidak peduli dan sama sekali tidak pengertian. Setiap hal yang kulakukan di mata mereka selalu saja salah.

Awalnya, saat aku masih kecil. Aku sering menangis diperlakukan seperti sampah oleh orang tuaku. Tetapi lama kelamaan aku terbiasa, aku akhirnya tidak bisa lagi menangis melihat orangtuaku yang kasar, menjengkelkan, dan bertingkah seperti binatang. Aku tidak menangis bukan karena tidak lagi sakit hati tapi karena aku sudah tidak lagi bisa mengekspresikan rasa sakit dihatiku.

Masih banyak lagi kisah yang sangat tidak menyenangkan terjadi di rumah.

Setiap aku berbuat kesalahan, ayah tidak pernah bertanya baik-baik. Ayah selalu menggunakan cara yang kasar. Sedangkan ibu, jika tidak melakukan kekerasan, ibu selalu melakukan kekerasan verbal. Menghinaku, merendahkanku, dan setiap apa yang aku lakukan tidak pernah benar di mata mereka.

Cara bicaranya sangat menyakitkan. Sering sekali mereka mengatakan kepadaku "Kalau kamu tidak mau hidup bersama kita, silahkan kamu keluar dari rumah ini, tinggal aku, ayahmu, dan kakakmu saja." Sungguh itu adalah kalimat yang sangat menyakitkan dan menginjak harga diriku.

Ayah dan ibu adalah orang yang sangat egois, dimana mereka selalu berkelit akan kesalahan yang mereka lakukan, mencari cari alasan untuk pembenaran dan yang paling parah adalah mengungkit ungkit kesalahanku agar aku terlihat lebih buruk lagi, bahkan jika mereka sudah jelas jelas salahpun masih tetap saja tidak mau diam, dan jika mereka sudah terpojok, senjata mereka adalah melakukan kekerasan fisik agar aku terdiam dan tidak memojokkan mereka lagi.

Mereka tidak pernah mendengarkan perkataanku. Apapun yang aku katakan akan mental dan tidak akan mau mereka dengarkan. Mereka tidak akan mengakui bahwa aku benar kecuali jika mereka sudah mendengarkan hal serupa dari orang lain.

Terkadang aku terus-terusan dikamar dan tidur lama karena aku sangat ingin mati. Merasa tidak dihargai, tidak didukung, dan tidak bisa berbuat apa-apa. Sebagai anak hal apa yang bisa pantas kulakukan untuk membuat orang tuaku berhenti bersikap seperti itu? Ya, cukup diam.

Karena kebencian, perasaan jengkel, dan dendam yang menumpuk. Aku membuat geng dengan aku sebagai ketuanya dan teman teman club kung fu ku sebagai anggotanya. Aku dan teman temanku terus terusan memukuli anak lain sebagai pelampiasannya. Dan juga berbuat onar sebagai pelampiasan.

Aku adalah seorang kung fu ajaib pemberontak, sadis dan kejam. Tetapi jika kalian sudah dekat denganku, aku tidak akan sekejam itu. Aku selalu berlatih dengan keras saat latihan agar aku suatu hari bisa sukses dan diakui oleh orang tuaku, sampai sering kali teman temanku bilang padaku bahwa aku sudah berlatih keras dan menurut mereka usahaku sudah cukup. Maksud mereka adalah orang tuaku tak akan pernah berubah dan tak akan pernah puas.

Jika kalian tanya bagaimana hari hariku di sekolah? Akan kujawab hari hariku sangat membosankan. Namun semua itu tak akan membosankan jika ada teman temanku. Terutama jika ada si kecil Travis yang dulunya adalah anak pindahan. Dulu dia anak baru di club kung fu denganku. Karena itu aku bisa dekat dengannya. Ditambah lagi ayahnya adalah teman bisbis ayahku. Dia dan keluarganya adalah orang kulit hitam yang menurutku rambutnya keren. Intinya dia dan keluarganya adalah orang orang yang ramah dan baik.  Sedangkan teman temanku yang lain di sekolah, aku mengenalnya karena mereka se club kung fu denganku. Menurut orang lain, mereka adalah anak anak nakal pembuat onar. Tapi aku tak peduli apa tanggapan orang orang lain tentang mereka. Mereka teman temanku dan aku menerima mereka apa adanya.

Jika kalian tanya bagaimana nilai sekolahku? Akan kujawab nilaiku buruk. Aku selalu mendapat B+. Mendapat A+ hasil kerjaku sendiri saja kadang kadang. Yah, setidaknya aku bilang buruk di mata orang tuaku, namun di mata kakakku dan teman temanku. Itu adalah nilai yang bagus.

Semuanya sedikit berubah ketika aku bertemu Sharon Wang di sekolah. Aku dekat dengannya karena dia kebetulan sebangku denganku. Karena dia, aku lebih jarang dimarahi ataupun dipukul seperti dulu. Setiap kali ujian ataupun ulangan harian, Sharon Wang selalu membantuku untuk mendapatkan A+ di sekolah supaya aku tidak dimarahi habis habisan ataupun dipukul di rumah. Sedangkan untuk Kai dan Han, aku mengenal mereka sejak masih kecil. Kami tumbuh bersama. Dan tentunya se club kung fu bersama. Jadi tidak jarang aku dekat dengan mereka.

Diantara sekian banyak teman yang kupunya. Aku hanya punya 4 sahabat yang kumaksud diantaranya adalah :

1. Kai Shen Zhou

14 years old

2. Han Liang Zheng

13 years old

3. Sharon Wang

14 years old

4. Travis Chamberlain

13 years old

***

Kenzo Arnius Lee

Age : 18 years old

Height : 175 cm

Hiroshi Chen Lee

Age: 14 years old

Height : 160 cm

avataravatar
Next chapter