webnovel

Jalinan Takdir dalam Simpul Semesta

Seorang lelaki paruh baya tengah duduk sendirian di bawah pohon besar, matanya yang tajam menerawang jauh ke atas langit yang kelabu. "Bukankah lebih baik seperti ini?" ujarnya menggumamkan kalimat tersebut seolah kalimat itu ditujukan pada dirinya.

"Kau telah melakukan satu kesalahan fatal." entah dari mana suara itu muncul, karena tak ada pemiliknya dan bagai gema yang memantul di antara pohon-pohon yang menjulang tinggi, terdengar namun tak terlihat. Akan tetapi lelaki paruh baya itu sama sekali tak terusik oleh ketiadaan wujudnya, ia tersenyum getir mendengar kalimat itu.

"Kurasa aku sudah melakukan apa yang seharusnya kulakukan, dan aku merasa sudah benar." lelaki itu bangkit dari duduknya lantas membersihkan tanaman liar yang menempel di celananya.

"Kau salah Amor," suara itu kini terdengar menggelegar di antara pepohonan, membuat kawanan rusa yang sedang duduk di semak-semak lari berhamburan.

Hembusan angin terasa lebih kencang dari sebelumnya, nada kalimat itu seolah menghantam semua benda yang dilaluinya bahkan seekor burung pipit yang sedang bertengger di atas batang pohon pun ikut terbang untuk menghindari sebuah bencana yang bisa meledak kapan saja.

Melihat itu raut wajah lelaki paruh baya itu berubah drastis. Ketakutan seolah menjalar ke dalam tubuhnya. Wajah tegasnya yang terlihat kokoh mulai bergetar hebat, "Bisakah kita bicarakan ini baik-baik." ucapnya berusaha untuk tetap tenang.

"Tidak Amorphophallus kali ini kau harus menanggung akibatnya." suara itu mulai mengintimidasi lelaki paruh baya yang sering disapa Amor itu. Tiba-tiba saja suhu udara di sekitar hutan terasa begitu dingin, tekanan yang dirasakan Amor begitu kuat, hingga nyaris saja menghisap tubuhnya. Seakan-akan ada sesuatu yang menarik dirinya dari segala penjuru hutan.

Dengan cepat Amor berlari untuk menghindari bencana yang seperti sedang mengejarnya. Namun sayangnya, bahkan seorang lelaki sehebat dia tak mampu melawan hukum alam, Amor terpental sekitar 500 meter setelah sebuah dentuman besar menghantam dirinya. Jeritan suaranya menghilang bersamaan dengan jatuhnya Amor ke dasar jurang, menyisakan keheningan dan kegelapan.

 

🍁🍁🍁

 

12 Juni 2050

Tanggal itu muncul di dalam layar seukuran televisi sesaat setelah seorang gadis berkulit putih dan berambut pirang kecoklatan menaruh sebuah buku di atas timbangan berbentuk persegi. Kemudian dimasukkannya sebuah kartu berwarna hijau di bawah layar tersebut. Lalu dengan cepat alat itu mendeteksi semua data yang diperlukan dalam proses peminjaman buku. Selanjutnya gadis itu mengetikkan namanya dengan menggunakan huruf kapital, tujuannya untuk memastikan keaslian wujud si peminjam yang terdeteksi dari sidik jarinya. Erythrina Cristagalli, begitulah yang tertulis di sana, kemudian jari telunjuknya menekan tulisan confirmed yang ada di layar tersebut, dan selesai sudah proses peminjaman bukunya.

"Wow," gumam Erythrina atau yang sering disapa Ery itu dengan antusiasnya sembari  mengambil buku tersebut dan menarik kembali kartu identitas miliknya dari mesin peminjam.

Matanya berbinar memancarkan warna iris hijau daun mintnya, ia begitu terkesan membaca judul buku yang bertuliskan "Kingdom plantae" itu. Inilah buku yang dicari-carinya kemarin, dan baru saja ia menemukannya di sebuah perpustakaan yang cukup tua ini. Ery tersenyum, lesung pipinya menegas.

"Coba kita lihat," dengan gesit dibolak-baliknya lembaran halaman buku yang dipegangnya. Jari tangannya yang lentik menelusuri tiap kalimat dalam buku itu, bola matanya bergerak kesana kemari, mencari sesuatu yang sedang dicarinya.

"Citrus maxima... Piper betle... Zea mays. Oh kenapa nama ilmiah ini panjang sekali." rutuk Ery ketika membaca deretan daftar nama ilmiah yang sangat panjang itu.

"Hello... Permisii,"

Teriakan seseorang di ujung Speaker berhasil membuat Ery terperanjat kaget, lalu matanya beralih melihat layar CCTV mesin peminjaman. Terlihat Sesosok lelaki berambut coklat keemasan sedang berjalan di  balik rak-rak buku. Sepertinya dia sedang mencari seseorang. Wajahnya terlihat sangat kesal dan kusut, Ery menghela napas dengan lega, ternyata itu hanya seorang pengunjung biasa. Namun ada yang aneh dalam diri lelaki tersebut, karena bagaimana pun lelaki itu tampak seperti bukan orang kota ini, itu jelas sekali terlihat dari iris matanya yang berbeda dengan penduduk di sekitar sini. Seperti iris miliknya, hanya saja warna iris mata lelaki itu coklat keemasan.

"Permisi... Permisii, hello." teriak lelaki itu sekali lagi. Bola matanya terus bergerak dan menyusuri setiap sudut ruangan perpustakaan itu. Ada gelagat aneh yang berusaha disembunyikan olehnya.

"Bodoh, apa yang sedang dilakukan orang itu?" gumam Ery. Karena tak tahan melihat tingkah laku aneh yang dilakukan lelaki itu maka ditutuplah buku yang baru saja dibacanya lalu ia masukan buku pinjaman itu ke dalam tas ranselnya. Kemudian Ery bergegas menghampiri si pemilik suara.

"Jawab aku Ro—"

"Tolong berhenti berteriak," ucap  Ery sedikit jengkel, "kau tidak lihat tulisan di layar itu." lanjutnya sambil menunjuk sebuah layar yang tertempel di setiap pilar perpustakaan, tertulis di sana aturan yang melarang pengunjung berteriak dan sejumlah aturan yang lainnya.

"Ya, aku tahu. Dan aku datang ke sini untuk meminjam buku," ucap lelaki itu dengan sedikit gelagapan, sepertinya dia terkejut oleh kedatangan Ery yang begitu mendadak.

"Dan kau tak mesti berteriak seperti itu 'kan?"

"Well, kupikir penjaga perpustakaannya tak bisa mendengar suaraku. Karena sudah ada jadi tolong data buku pinjamanku ini," jawabnya asal, sambil menyodorkan sebuah buku dengan sampul yang sedikit terkelupas dan warna coklat tuanya yang mulai terlihat pudar  itu ke hadapan Ery. 

"Tunggu-tunggu, kau pikir aku penjaga perpustakaan?"

"Well," lelaki itu menganggukkan kepalanya dan alis mata kirinya sedikit terangkat.

"Yang benar saja, aku ini bukan penjaga perpustakaan, aku ini pengunjung lho." ucap Ery tak habis pikir akan apa yang diucapkan oleh lelaki itu.

"Yeah siapa pun pasti akan berpikir begitu."

"Mungkin hanya kau yang berpikiran seperti itu. Dan ya, kau bisa meminjam buku lewat mesin peminjam 'kan?" Ery mendengus kesal.

"Mesin peminjam? Apa itu? Aku lebih suka penjaga yang mencatatkan pinjaman pengunjungnya."

"Ya Tuhan, apa kau tak tahu? Di sini tak ada penjaga perpustakaan. Kau lupa ya sekarang ini zaman teknologi, semua sudah serba canggih,  atau jangan-jangan kau hidup di zaman purba?"

"Realistislah sedikit mana ada orang yang masih hidup selama itu. Sudahlah, kalau begitu tolong pinjamkan bukuku ini. Aku kurang paham mengenai mesin itu," ucapnya dengan sedikit gengsi.

"Huh, baiklah aku akan mengajarimu cara meminjam buku di mesin itu." Erythrina kesal padanya tapi bagaimana pun juga ia merasa sedikit iba pada lelaki yang aneh itu, "coba tunjukkan padaku kartu indentitas perpustakaanmu?" lanjut Ery.

"Aku tak memilikinya," ucapnya datar.

"Apaaa!?" pekik Erythrina tak percaya mendengarnya.

Next chapter