1 Prolog

(We had joy, we had fun, we had seasons in the sun but the hills that we climbed were just seasons out of time..)

Melodi lagu yang menenangkan itu membangunkannya. Namun meskipun lagu itu terkesan damai, udara yang dia hirup begitu menyesakkan. Aroma parfum melati dan keringat seseorang yang seolah habis berlari maraton keliling kota. Dengan susah payah, dia membuka matanya dan melihat keadaan sekelilingnya. Interior mobil mewah. Kemudian dia juga menyadari bahwa tangannya ternyata diikat asal menggunakan tali rafia. Di depannya ada seorang lelaki paruh baya-terlihat dari rambut putihnya yang panjang, dengan bahu lebar yang mampu membuat kursi pengemudi yang dia tempati terasa sempit dan kecil.

"Sudah sadar?", suara lelaki itu mengagetkannya.

"Kamu siapa?", dengan susah payah dia menjawab lelaki itu dengan tenggorokan yang terasa sangat kering. Dia berusaha untuk melepaskan ikatannya, namun anehnya tenaganya seolah terkuras habis.

"Jangan banyak gerak. Aku masih memberikan sebagian Energiku kedalam tubuhmu"

(Sebentar. Ini terasa salah. Kenapa aku tidak dapat mengingat satupun kejadian sebelum ini. Bukan. Tidak hanya sebelum ini, aku...seolah tidak punya ingatan apapun. This isn't good. Bahkan namaku saja...aku tidak ingat..)

Seolah mendengar kegelisahan dalam dirinya, lelaki itu berkata, "Namamu Sian. Kamu adalah anak angkatku. Apapun ingatan yang mungkin masih kamu miliki, aku harap kamu meninggalkan itu semua. Ini untuk kebaikanmu sendiri".

"Sian? Sepertinya itu bukan namaku..Lalu, anehnya, kenapa aku tidak bisa mengingat apapun? Apa yang sudah kamu lakukan padaku?!"

"Oh, Shut up. Suatu hari ketika ingatanmu kembali, kamu akan bersyukur aku sudah menyelamatkanmu dari mereka."

"Mereka? Siapa maksudmu? Aku dikejar? Lalu aku sekarang dibawa kemana? Aku-"

Tak sempat menyelesaikan kalimatnya, mobil yang mereka tupangi terguling dengan keras ketika sebuah truk menabrak dari samping kiri secara tiba-tiba. Dengan sisa-sisa kesadarannya, Sian melihat samar-samar lelaki yang mengaku telah menyelamatkannya bertarung dengan segerombolan pria menggunakan baju serba hitam.

(Tidak mungkin dia bisa menghadapi semua pria itu sendirian. Aku harus keluar dari reruntuhan mobil ini, tapi tubuhku tidak bisa kugerakkan. Mungkin ajalku hendak menemuiku. I have no regrets in this life tho. Ingatan aja gak ada..)

Saat kesadarannya hendak hilang, Sian melihat sepersekian detik cahaya putih meledak di depan matanya. Silau, panas, namun tidak menyakitkan. Dia penasaran, apakah semua ini mimpi atau kenyataan.Samar-samar dia juga mendengar bisikan halus seorang gadis yang memanggil namanya. Bisikan itu seolah membelai punggungnya dengan pelan, dan menyuntikkan Energi yang begitu besar ke dalam tubuh Sian. Namun semuanya berubah menjadi gelap. Sian tahu ini adalah mimpi pertama yang selalu dia mimpikan setiap malam. Mimpi selanjutnya sebenarnya yang tidak ingin dia saksikan lagi.

***

"Hey, hey, aku dengar dari Papa kamu bisa membuat api?", tanya seorang gadis kecil berambut hitam panjang sepunggung, kepada Sian. Senyumannya terkesan jahil namun, Sian tahu gadis ini cantik. Sian sedang bermain robot di depan perapian rumah, bersama dengan gadis itu yang sedang bermain boneka.

"Kamu ini ya, kalo ada orang lain di sini, panggil aku 'Pangeran'. Kamu bisa dihukum kalau memanggilku dengan sebutan seperti itu. Lalu tentang itu, ya, hanya ketika aku berkonsentrasi. Lagian, ini rahasia, jangan sampai kamu kasi tahu ke orang lain", ujar Sian sambil mengulurkan jari kelingking kecilnya pada gadis itu.

Gadis itu menganggukkan kepala dengan semangat dan melingkarkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Sian, "Hehehe, kan di sini gak ada siapa-siapa. Janji! Tapi, kamu harus buktiin dulu. Jangan-jangan kamu boong lagi, hehehe"

"Yaudah-yaudah, sekali aja ya, tapi ingat, jangan sampe kamu pegang api yang aku buat, oke?"

Menarik nafas dalam-dalam, Sian mencoba fokus pada aliran Energi di seluruh tubuhnya dan membayangkan warna Energi tersebut berubah menjadi merah. Dengan rapalan mantra kuno yang dia pelajari bersama gurunya, api berwarna merah menyala muncul di telapak tangannya. Gadis itu berteriak kegirangan. Lupa akan pesan yang diberikan Sian, dia ingin mencoba untuk menyentuh api itu, namun untungnya Sian sempat mencegahnya dan melemparkan api tersebut ke dalam perapian.

"Aku udah bilang kan, jangan menyentuh api yang aku keluarkan! Kamu bisa terluka!"

"M-maafkan aku..", gadis itu sangat ketakutan hingga bibirnya bergetar.

"Oh, ya ampun, aku juga maaf, tadi sepertinya aku kelewatan. Aku hanya tidak ingin membuatmu terluka", ujar Sian sambil menarik gadis itu dalam pelukannya.

Ketika Sian memeluknya, gadis kecil itu menangis, namun tak berapa lama tangisannya berhenti. Masih di dalam pelukan, gadis itu melihat wajah Sian sekilas, "Pangeran?"

"Hmm? Kenapa?"

"Aku akan berjanji menikahi Pangeran 15 tahun lagi! Pangeran keren, tampan, baik..Pokoknya aku suka sama Pangeran!"

Sian bisa merasakan pipinya sedikit merona, "Giliran gini aja kamu panggil aku Pangeran. Lagian kamu juga masih kecil, bisa jadi kamu lupa sendiri dengan janjimu ini"

"Nggak akan! Aku berjanji dimanapun, kapanpun aku melihat Pangeran, aku akan selalu ingat dengan janji ini. Ohya, kita kan cuman beda 2 tahun. Aku bukan anak kecil!"

"Hahhaa, good then. Aku tunggu janjimu 15 tahun lagi!"

Suasana hangat itu berubah ketika terdengar suara ketokan pintu yang begitu keras. Tanpa bisa Sian cegah, gadis kecil itu bangkit dari pelukan Sian dan pergi untuk membuka pintu rumah. Anehnya gadis itu hanya terdiam saja. Ketika Sian hendak menghampirinya dan menyuruhnya masuk kembali, gadis itu berlari keluar. Refleks, Sian juga ikut berlari mengejar gadis itu, namun gadis itu sudah berada di tengah jalan besar, dan tidak bergerak. Dari ujung kiri, datang sebuah truk besar yang dalam hitungan detik dapat menyambarnya

Seolah terbangun dari mantra yang menimpanya dan menyadari dimana dirinya sekarang, gadis itu berteriak ketakutan ke arah Sian, "Pangeran, selamatkan aku!!"

Tiba-tiba seluruh tubuh Sian terasa panas karena amarah dan ketakutannya yang memuncak. Dia sadar bahwa ada yang berubah dari dirinya, dan dia juga melihat api berwarna biru keluar mengelilingi seluruh tubuhnya, menyambar truk dan seluruh kendaraan yang ada di jalan besar itu. Pikirannya hanya satu. Menyelamatkan gadis itu dari semua orang yang ingin menyakitinya. Dalam sekejap, gadis itu berhasil dia selamatkan. Sian menurunkan gadis itu dari gendongannya dan menyuruhnya kembali ke dalam rumah.

Gadis itu menolak masuk dan menatapnya dengan nanar sambil menyentuh pipi Sian yang dia yakin masih berapi, "Pangeran, maafkan kesalahanku..Tapi tolong sadarlah. Setelah ini aku yakin ada banyak orang yang akan mencari Pangeran. Tolong, sadarlah.."

Sian tidak mengerti maksud ucapan gadis itu. Ketika dia ingin menjawabnya, suaranya tidak bisa keluar. Panik merayapi Sian, meskipun begitu, gadis itu seolah mengerti apa yang terjadi. Tak takut akan api yang masih dikeluarkan Sian, gadis itu memeluk Sian dan merapalkan mantra yang belum pernah dia dengar sebelumnya. Sian berusaha melepaskan pelukan gadis itu, karena dia takut akan melukainya dalam sekejap. Akan tetapi, ternyata gadis itu seperti tidak terpengaruh dan tidak terluka karena api yang dia keluarkan. Gadis itu masih membisikkan kata-kata yang menenangkan Sian.

"Shushh..aku di sini. Pangeran tidak perlu takut sendiri. Aku di sini..Tolong sadarlah.."

***

Sian terbangun. Lagi-lagi dua mimpi itu menghampiri malamnya. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Dia di kamarnya. Gelap dan meskipun kamarnya lebar, mimpi tadi membuat kamarnya terasa sempit. Dalam sekejap, Wyatt menyalakan lampu kamar dan berdiri untuk memberikan susu hangat pada Sian.

"Same nightmare?"

Sian menganggukkan kepalanya.

"Wow, you really have to find a mate, buddy. I love you, man,-Ehem, not that kind of love..tapi, aku gak sanggup harus terbangun setiap jam 2 malem hanya untuk memberikanmu susu dan menenangkanmu", Wyatt duduk kembali di tempat tidurnya sambil menyalakan TV.

"You know, Wyatt, aku bisa sendiri. You don't have to do this. Kalo kamu udah gak tahan dan terganggu sama sleeping cycle ku, aku lebih prefer kamu meninggalkanku", ucap Sian sambil menyeruput pelan susu hangat yang diberikan sahabatnya itu.

"It's not that simple and I'm not leaving you that easily. Robert menyuruhku tinggal satu apartemen denganmu. Lagian, aku lebih milih tinggal denganmu selama weekend. Sudah cukup setiap Senin sampai Jumat kita harus tinggal di Main House dan melihat saudara kita berkelahi hampir setiap jamnya", ujar Wyatt sambil melipat kakinya di balik selimut

Dia melanjutkan, "No offense, aku seneng tinggal di apartemen Pent House mu yang super mewah ini.Besides, siapa yang bisa tahan dengan emosimu itu dan mood swing yang berubah hampir setiap saat? Well at least, jika kamu sudah menemukan pasangan yang tepat, aku bisa punya alasan untuk keluar dari sini dan mencari kebebasan juga tempat tinggalku sendiri."

Menghela nafas, Sian meletakkan gelas susu hangatnya di meja kecil pemisah tempat tidurnya dan Wyatt. Meskipun Sian menyetujui perkataan teman/saudaranya itu, dia tetap berfikir realis.Sejak mereka diadopsi oleh Rubert, kebebasan adalah salah satu hal yang ditentang oleh nya. Alasannya satu. Semua anak angkat Rubert memiliki permasalahan tersendiri yang sangat kompleks. Kebanyakan dari mereka adalah buronan banyak orang. Selama 5 tahun, Sian selalu menahan diri untuk menanyakan pada Rubert apakah alasan mereka sering berpindah rumah ada hubungannya dengan dirinya. Dari mimpi yang akhir-akhir ini dia alami, dia yakin bahwa salah satu penyebabnya adalah dirinya.

Tak sadar, Sian bertanya tentang pertanyaan yang selama ini juga dia pendam, "Wyatt, pernahkah kamu berfikir dari mana keluargamu berasal?"

(Oh shit, have I just said that out loud?)

"Hmm..ya. Kalau boleh jujur iya. Tapi aku gak ingin mencari tahu lebih dalam. Kalau mereka mencariku, mereka pasti sudah menemukanku. Listen, bro, aku hanya ingin hidup dengan bebas. Aku gak peduli dengan masa laluku"

"You're damn right. Mungkin akunya aja yang terlalu sentimental"

"Hahaha, baru nyadar anak ini. Kemana aja woy?"

"Anjay, ni anak minta dipukul memang", dengan gelak tawa yang begitu besar, Sian melempar bantal pada Wyatt. Tak lama mereka larut dalam perang bantal yang berujung hingga subuh.

avataravatar
Next chapter