webnovel

Part 3

     Menggenggam raket dengan mantap. Matanya fokus pada gerakan lawan. Kaki jenjangnya terlihat melompat kecil di atas lapangan itu. Tepat ketika sebuah bola mengarah ke areanya, kakinya sudah berlari kencang, tangannya segera mengayunkan raket hingga mengenai bola. Saking kuatnya, bola darinya pun tak mampu di tangkis. Hal hasil, pertandingan pada hari itu pun dimenangkan olehnya. Seperti biasa, ketika dirinya mengantongi kemenangan, melambaikan tangannya ke bangku penonton. Dengan senyum sumringahnya, berterima kasih pada para penonton yang sudah setia mengikuti pertandingannya.

--

"Kenapa aku harus membeli pakaian?" sadarnya.

Sedari tadi mengelilingi gangnam hingga tanpa sadar memasuki sebuah butik. Anehnya, ia termenung mengamati sebuah gaun berwarna putih, bertangan panjang dan jauh dari kata seksi. Sama sekali bukan seleranya. Tapi anehnya lagi, ia meraih baju itu lalu melangkah menuju ruang ganti.

"Mwoya ige? Kenapa aku harus mencoba baju ini? Ini bukan gayaku.." pikirnya tapi tetap mencoba gaun itu. Beberapa saat kemudian, dilihatnya pantulan dirinya dari cermin. Tidak ada reaksi apapun diwajahnya.

"Majjayo, aku memang tidak cocok menggunakan pakaian seperti ini." ujarnya merasa gaun itu terlalu kuno. Tapi lucunya, bukannya mengganti kembali pakaiannya, ia malah melangkah ke kasir lalu membayar gaun tersebut. Tak lupa melepas labelnya, melangkah keluar butik dengan bungkusan baju miliknya ditangannya.

     Masih merasa ragu, kembali melihat pantulan tubuhnya dari dinding kaca sebuah kafe. Dikembangkannya gaun berwarna putih itu. Jauh berbeda dari dress putih yang dulunya pernah ia gunakan. Mengamati gaun yang ia kenakan itu, ia tersenyum merasa lucu.

Pertama kali untuknya menggunakan pakaian seperti itu. Jika biasanya selalu menampilkan kesan seksi, kini ia lebih terlihat feminim, sungguh manis. Ketika itu ia menyadari sesuatu, lipstik merah masih mewarnai bibirnya. Merasa harus menghapus lipstik norak itu, matanya dengan cepat melihat kearah toko kosmetik. Tanpa ragu, ia melangkah masuk kedalam toko itu.

     Tidak butuh waktu lama untuknya mendapatkan lipstik yang ia inginkan. hanya butuh beberapa menit saja, ia sudah kembali keluar dari toko kosmetik itu. Tentu dengan bibirnya yang sudah berganti warna. Dengan riasannya yang lebih tipis dan warna lipstik yang lembut membuatnya terlihat seperti gadis remaja. Ia melangkah riang, masih di daerah gangnam dan masih ingin melihat-lihat.

"Oo?" berdiri dihadapan sebuah salon.

Sesuatu terlintas di kepalanya. Dengan yakin ia melangkah masuk. 2 jam kemudian kaki jenjangnya kembali melangkah keluar dari salon. Kali ini terjadi sebuah perubahan pada warna rambutnya.

Rambutnya yang sebelumnya berwarna cerah kini menjadi hitam pekat. Begitu juga dengan alis matanya yang ikut berubah warna menjadi hitam. Tapi kali ini ia tidak ingin melihat kearah dinding kaca yang ada di depan salon. Mengganti warna rambutnya benar-benar membuatnya bingung setengah mati.

"Kenapa aku merubah warna rambutku?!" erangnya dalam hati.

Trrrt.. Trrrt..

Ponselnya bergetar. Dilihatnya nama Henry di layar ponselnya.

"Yak, eodiya?" sapa Henry.

"Gangnam." jawabnya yang tengah menunggu taksi lewat--sedang malas menyetir mobil.

"Jinja? Aku juga sedang di gangnam. Kemarilah, aku sedang duduk di kafe." tawar Henry semangat. "akan aku kirimkan alamatnya. Aku tunggu!" dan panggilan itu pun terputus.

"Mwoya, aku tidak bilang mau." gumamnya. Pesan dari Henry telah ia terima. Dilihatnya alamat itu, tidak jauh dari posisinya pada saat itu. Berpikir dirinya akan kebosanan jika cepat pulang kerumah, ia pun memutuskan untuk menghampiri Henry di kafe itu.

--

"Nugu?" tanya Sehun setelah menyeruput kopi panas miliknya.

"Temanku. Kebetulan dia sedang berada di sekitar sini, jadi kusuruh kesini saja." jawab Henry seraya mengunyahnya donatnya.

"Teman? Kau punya teman?" tanya Sehun tak tertarik.

"Aish!" kesal mendengar itu. "dia teman baikku. Dulunya kami tinggal bersebelahan. Tapi ketika SMA kami berpisah karena dia memilih bersekolah di Jepang. Kami sempat bertemu sebentar, tapi ia melanjutkan kuliahnya di Sydney, sudah 4 tahun lamanya kami terpisah. Sejak kepulangannya kesini, aku baru bertemunya sekali dan itu sangat singkat. Ah, jangan mengatainya, mengerti? Aku sangat paham dengan mulut tajammu itu. penampilannya memang terlihat nakal, tapi sesungguhnya dia adalah gadis yang sangat baik." jelasnya menatap Sehun tajam. "awas saja jika kau mengatainya yang tidak-tidak." tapi Sehun tetap tak bereaksi apapun.

"Aa, bagaimana tadi pertandinganmu? Kakimu baik-baik saja?" kata Henry setelah itu.

"Kupikir kakiku sudah sembuh total." sahut Sehun.

"Sembuh apanya. Berhati-hatilah." tegurnya. Mereka memang belum lama berteman, mungkin baru sekitar 3 tahunan sejak Sehun meminta Henry untuk menjadi dokter pribadinya. Dan sejak itulah hubungan mereka semakin erat, mereka bahkan nyaris berjumpa setiap harinya.

"Arraso.."

Ketika itu suara kerincing terdengar pertanda adanya pengunjung yang datang. Henry dan Sehun yang kebetulan duduk menghadap ke pintu masuk dengan bersamaan menoleh. Sadar atau tidak, keduanya terdiam tak bergerak. Mengamati gadis itu yang tengah melangkah menghampiri mereka. Wajahnya tidak asing. Pikir Sehun.

Dilihatnya gadis itu yang juga terlihat kaget dengan keberadaannya. Merasa harus terlihat santai, segera Sehun meraih cangkir kopinya lalu menyeruputnya perlahan.

"Yak.. terakhir kali aku melihatmu, sepertinya kau tidak seperti ini." sapa Henry ke Yoona yang sudah duduk dihadapannya. Diam-diam Yoona melirik Sehun yang duduk di samping Henry. Dilihatnya Sehun yang tengah serius membaca majalah.

OMG! Kenapa ada dia disini? Erang Yoona dalam hati.

"Aa, Yoona-a, ini temanku. Oh Sehun. Dia si atlit tenis yang pernah aku ceritakan padamu."

"Mwo? Jadi dia si atlit tenis itu? Pabo! Pabo! Pabo! Kenapa aku bisa lupa dengan wajahnya. Padahal Henry pernah mengirim fotonya padaku." erangnya dalam hati. Tersenyum pasrah ke Sehun yang tengah menoleh ke arahnya sejenak. Tapi kembali membaca majalahnya.

Pantas saja ketika melihatnya aku langsung tertarik. Ternyata dia si atlit tenis.

"Yak.. Dia temanku. Kenapa kau malah baca majalah!" menyikut lengan Sehun. Sudah dapat ia tebak, Sehun pasti akan berlaku cuek. Sehun masih saja serius dengan bacaannya dan tidak menghiraukan Henry yang terus berkicau di sampingnya.

"Aish, lalu kenapa?" sambar Sehun kilat. "jangan ganggu aku." dan kembali fokus dengan majalahnya. Dihadapan mereka, Yoona hanya bisa menyimpan rasa jengkelnya.

"Tidak usah hiraukan dia!" kesalnya. Setelah itu langsung mengajak Yoona mengobrol dengannya. Saking asiknya mengobrol, mereka benar-benar melupakan keberadaan Sehun disana.

     Disaat bahan obrolan masih sangat banyak. Perbincangan itu mendadak terganggu dengan kedatangan fans Sehun. Berhamburan sampai kafe itu terasa sesak. Meminta foto bersama juga tandangannya. Awalnya mereka masih sangat tertib, tapi lama kelamaan keadaan kafe semakin padat dan keberadaan mereka semakin mengganggu.

Beberapa petugas berdatangan guna membubarkan mereka, tapi jumlah mereka terlampau banyak. Sehun sudah sangat kelelahan, Yoona dan Henry mencoba mendorong mereka untuk menjauh dari Sehun, tapi mereka malah mendapatkan pukulan.

"Yoona-a, gwenchana?" tanya Henry yang tengah membantu Yoona untuk berdiri setelah terjatuh berkat perlawanan fans-fans itu.

"Gwenchana.." tentu Yoona tidak akan tinggal diam atas perlakuan itu. Dilihatnya Sehun yang masih duduk di sofanya. Pada saat itu Yoona menyadari sesuatu, ada luka lecet di wajah tampan itu. "yak, kapan luka ini ada diwajahmu?" tanya Yoona setelah mendorong mereka yang tengah mengerubuni Sehun. Seakan baru menyadarinya, Sehun mendadak cemas. Remaja-remaja itu mulai beringas. "andwe, ini tidak bisa dibiarkan." bagaimana pun juga ia merupakan fans pria itu. Melihat idolanya terluka seperti itu tentu membuatnya marah.

"Henry-a, bantu aku." kata Yoona lalu berbisik kepadanya.

Seakan sudah sepakat dengan niat mereka, meyakinkan diri mereka untuk dapat melakukan itu dengan baik. Henry sudah mengambil posisi yang tepat. Lalu Yoona, menggenggam tangan Sehun cukup erat.

"Jigeum!" teriak Henry lalu berlari menuju pintu keluar seraya tangannya yang terus mendorong tubuh-tubuh itu agar memberi jalan untuk Yoona dan Sehun. Tidak mereka sangka, diluar kafe mereka kembali dicegat oleh fans lainnya. Bahkan lebih ramai.

"Aish! Yak, jika kau seterkenal ini, kenapa kau masuk ke sembarang kafe!" bentak Yoona ke Sehun. Tidak menjawab, karena terlalu kaget dengan keadaan disana. "tundukkan kepalamu!" mendorong kepala Sehun agar segera menunduk. "kita harus lari!" teriak Yoona. Tidak bisa berdiam di tengah kerumunan itu. Dengan langkah besar Yoona, Henry dan Sehun berlari keluar dari kerumunan itu dan ternyata mereka berhasil. Tapi sayangnya, fans-fans itu belum menyerah.

    

     Berlari kencang seperti orang gila. Masih menggenggam tangan Sehun, berlari mengikuti langkah Henry yang memandu mereka didepan. Melewati gang-gang kecil yang menghubungkan mereka ke jalan lainnya. Walau begitu, fans-fans itu masih terlihat mengejar. Dibelakang mereka, berlari bak zombie yang tengah kelaparan. Ketika itu, saking paniknya, Henry sampai terpisah dari Yoona dan Sehun. Secara bersamaan memilih jalan yang berbeda.

"Omo, aku sangat lelah!" keluh Yoona dengan langkahnya yang melemah. "aku sudah tidak kuat, kau pergilah." katanya yang sudah melepaskan genggaman tangannya dari Sehun. bersandar pada bangunan yang ada disampingnya. "pergilah, selagi mereka masih jauh." teriakan remaja-remaja itu semakin mendekat. "yak kka!" desak Yoona dengan sisa nafasnya.

Entah mengapa, Sehun merasa bersalah jika meninggalkan Yoona disana. Tidak berpikir lagi, kini gantian Sehun yang menggenggam tangan Yoona. Tidak menghiraukan mulut Yoona yang terus berkicau, berlari menuntun gadis itu ke manapun kakinya melangkah.

     Tanpa sadar mereka sudah menginjakkan kaki disebuah daerah yang sepi. Berlari menuju bagian belakang deretan bangunan. Disana tempat dimana banyaknya tumpukkan sampah, mengesampingkan kondisi disana dan lebih memilih menyelamatkan diri dari fans-fans itu. Sehun dan Yoona memilih berhenti sejenak, mengatur nafas mereka yang tak karuan. Yoona sampai terduduk di aspal.

"Gwenchana?" tanya Sehun ke Yoona. Belum sempat Yoona menjawab, teriakan  fans kembali terdengar, sontak Yoona langsung berdiri dan tangan Sehun reflek kembali menggenggam tangan Yoona.

Tidak memiliki waktu untuk berlari dari sana, Sehun memilih bersembunyi di lorong sempit antar bangunan. Benar-benar ingin merasa aman, ia terus melangkah menelusuri lorong sempit itu, hingga ia menemukan sebuah lemari tak terpakai yang terletak asal di sana. Segera ia menuntun Yoona untuk berdiri disamping lemari itu.

     Berdiri berdampingan menempelkan tubuh ke dinding. Berusaha menempel sebaik mungkin mengikuti bentuk lemari yang ada disamping mereka. Saking gugupnya bahkan nyaris lupa bernafas dan saking cemasnya, mereka sampai lupa melepaskan genggaman itu. Masih tergenggam sangat erat, hingga tanpa sadar mereka sama-sama menyadarinya.

Melirik tangan mereka masing-masing. Dapat mereka lihat, kedua tangan itu yang terus bertaut tak terpisahkan. Sontak secara bersamaan mereka tersentak kaget dan genggaman itu pun terlepas. Lalu hening. Jika Sehun tengah memikirkan bagaimana caranya untuk pergi dari sana, sedangkan Yoona tengah bersorak ria didalam hati, ia senang bukan main.

Dia menggenggam tanganku!

Erangnya dalam hati. Tersenyum malu dengan pipinya yang bersemu merah.

Trrrt.. Trrrt..

Ponsel Sehun bergetar. Segera diangkatnya panggilan itu.

"Yak eodiya!" teriak Henry kuat, bahkan Yoona dapat mendengar suaranya itu. "aku sudah berada di mobil, cepat katakan dimana kalian, aku akan segera datang!" buru-buru Sehun menjelaskan posisi mereka. Kemana saja tadinya kaki itu melangkah hingga akhirnya mereka tiba di tempat itu. Belum memutuskan panggilan itu, Henry mulai mengarahkan laju mobilnya mengikuti arahan Sehun.

--

"Kenapa kita ke apartemenku.." kata Sehun yang baru saja memberikan handuk kepada Henry. Diliriknya toilet miliknya, dimana Yoona tengah berada disana. Membuatnya semakin terlihat murung. Ia tidak pernah suka jika apartemennya didatangi seorang gadis. Tentunya selain Sora.

"Apartemenku terlalu berantakkan." sahut Henry tidak merasa bersalah. Dapat terlihat jelas raut tak suka di wajah Sehun. "aish, kenapa dia lama sekali. Aku sudah kebelet." keluhnya yang ikut melirik ke arah toilet. "yak! apa kau mandi selama ini? Kenapa lama sekali!!" teriaknya guna menegur Yoona.

"Sudah mau selesai!" balas Yoona juga berteriak dari dalam toilet. Ruangan yang biasanya sepi kini terasa lebih hidup.

"Saking bersihnya, kau bahkan tidak bisa melihat keringat di tubuhmu?!!" teriaknya lagi kesal dengan sahabatnya itu. Dilihatnya Sehun tengah merebahkan tubuhnya di sofa, disampingnya. jelas sekali bahwa Sehun terlihat terganggu dengan keributan yang mereka lakukan.

"Memangnya kenapa? Wae wae!" jawab Yoona yang baru saja keluar dari toilet. "aku baru saja selesai mengeringkan rambutku.." sambungnya seraya menyisir rambutnya yang sudah kembali berwarna blonde.

"Omo, rambutmu." sadar Henry yang hendak masuk kedalam toilet. "yang sebelumnya tidak permanen?" Yoona menggelang dan mulai serius mengamati pantulan tubuhnya di cermin. "hoh, kupikir kau sudah sadar." lalu menghilang masuk kedalam toilet.

"Memangnya kenapa denganku?" grutu Yoona merasa tak memiliki kesalahan. Dilihatnya Sehun di sisi lain. Tengah duduk bersandar pada sofa, serius pada ponsel yang tengah pria itu otak-atik. Dengan santai Yoona melenggang menghampirinya. Ragu-ragu duduk di sofa yang sama, tidak jauh dari Sehun, sedikit gugup namun berhasil mengatasi kegugupannya itu.

"Jika kau sudah selesai, kau bisa pergi." kata Sehun tepat ketika Yoona hendak berkata.

"Ee?" tidak percaya Sehun akan mengatakan itu.

"Aku tidak suka jika seorang gadis sepertimu menginjakkan kaki di apartemenku." jelas Sehun dengan nada tak bersahabat. Tak juga menoleh pada Yoona dan masih serius pada layar ponselnya.

"..." benar-benar sakit mendengarnya. Dia kembali seperti semula. Pikir Yoona. Menahan mulutnya yang hendak memaki. "baiklah jika begitu. Aku pergi." ujarnya lembut tak sesuai dengan yang ingin ia katakan. Menahan kekesalan itu, melangkah pasrah keluar dari kamar itu. "Hoh! kali ini aku benar-benar kesal." gumamnya yang sudah berada di lift. "kenapa wajahnya harus tampan jika mulutnya kasar seperti itu?" mengetuk-ngetuk heelsnya ke lantai lift. Tidak menghiruakan lirikan orang yang berada di sampingnya. "dan kenapa aku tetap menyukainya?!! Argggh!" teriaknya. Semua orang yang berada di lift sontak kaget secara bersamaan, teriakannya menggema disana. Mengacak rambutnya geram. Gaun putih yang ia kenakan sudah terlihat kucel berkat aksinya tadinya. Tapi ia sudah tidak memikirkan itu. Ia sudah terlalu kesal, tepatnya kesal pada dirinya yang ternyata tidak juga membenci pria itu.

--

     Sinar matahari pagi menyinari wajahnya. Kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya. Dari balik selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, ia tersenyum dengan matanya yang masih tertutup rapat. Rambut blonde panjangnya terlihat berantakkan, beberapa helai menutupi wajah manisnya. Dapat ia hirup aroma kopi di kamarnya itu, dan suara anak kecil yang tengah tertawa diiringi suara berisik dari siaran televisi.

"Tunggu!" ia tersentak kaget. Matanya melotot menatap langit kamarnya. "ini bukan kamarku!" erangnya dalam hati. Masih berbaring, menyibak selimutnya. Dilihatnya tubuhnya yang mengenakan kemeja putih yang kebesaran. "ini juga bukan pakaianku!" dengan gerakkan cepat duduk dari tidurnya. Ditepi tempat tidur, mengamati kamar itu. "dimana aku??!!!!" meringis panik. Kembali didengarnya suara tawa seorang anak. Mencoba meyakinkan dirinya, melangkah keluar dari kamar itu. "kenapa aku merasa pernah kesini?" melewati koridor yang dipenuhi dengan rak berisikan banyak piagam. Dan diujung koridor, sebuah ruangan yang luas, dengan ruang keluarga dan dapur yang menjadi satu. Dengan mata bulatnya, kembali melotot menatap tontonan yang ada dihadapannya.

"Oo? Appa, dia sudah bangun!" seru seorang gadis kecil, menunjuk kearah Yoona yang tengah berdiri di sudut ruangan itu, menatap mereka tak percaya. Dilihatnya, pria yang baru saja dipanggil appa, tengah menoleh padanya. Mendadak lututnya melemas. Pria tampan itu menatapnya tak bersahabat. Seakan penuh amarah yang tertahan.

Apa yang sebenarnya telah terjadi?!!!!! Batinnya sudah siap menangis.

Continued..

(Komentarnya dulu baru lanjut)

Next chapter