webnovel

Part 1

     Suara langkah kakinya berdentam pelan, berirama dan terlihat ringan. Perlahan kecepatan kakinya meningkat diikuti kestabilan stamina yang ia miliki, tak terlihat lelah, bahkan semakin semangat dan terus berlari. Tabung oksigen menemaninya dengan selang oksigen yang tersalurkan ke mulut dan hidungnya. Beberapa kabel pendeteksi detak jantung menempel pada badan atletisnya, yang tak berbalutkan kain, melainkan berbalutkan keringatnya. Memperlihatkan kesan erotis namun menawan.

     Disampingnya terlihat asistennya yang selalu menemaninya ketika tengah berlatih. Termasuk seorang dokter yang sekalian mempelajari juga mengamati perkembangannya. Air keringat terus mengalir, sama sepertinya, asistennya juga tanpa henti bolak balik padanya untuk menyeka keringat di wajahnya. Hingga satu jam sudah berlalu, perlahan turun dari alat treadmill. asistennya langsung menghampirinya. menyeka keringatnya dan memberinya minuman.

"Eottae?" tanyanya kepada sang dokter yang terlihat tengah serius mengamati layar laptop miliknya.

"Sejauh ini perkembanganmu masih stabil. Hari ke hari kau terus mengalami perubahan. Kurasa jika kau terus melakukan latihan seperti ini, pada saat pertandingan itu tiba aku sangat yakin, kau pasti akan menempati juara satu." jelas sang dokter menepuk dada tegapnya dengan bangga. "keundae, bisakah untuk tidak menghubungiku di waktu piketku? Kau selalu berlaku seenakmu." nada bicara si dokter berubah manja. Untuk dokter berkacamata sepertinya, dokter berwajah tampan sepertinya, tentu akan sangat imut jika melihatnya berlaku imut seperti itu.

"Aku akan membayarmu lebih banyak dari rumah sakit itu." jawabnya tak menghiraukan wajah imut itu. "aku harus pergi sekarang. Berikan tasku." ujarnya ke asistennya. "ah, jangan ikuti aku." melangkah pergi menuju kamar ganti.

"Yak.." panggil si dokter merasa diacuhkan. "yak Sehun-a.." panggilnya lagi dengan manja. "aish, kapan dia akan berubah?" gumamnya mengamati kepergian pria yang bernama Sehun itu. "hanya Sora yang dapat meluluhkan hatinya." tersenyum entah mengapa.

"Majjayo, Sora adalah segalanya untuknya." sahut asisten yang berbadan gempal itu. "uisa-nim, apa kau akan pergi sekarang? Aku harus bersiap-siap untuk mengikutinya." jawab asisten berbadan gempal itu.

"Ne, aku harus segera kembali ke rumah sakit. Ah Shindong-ssi, bukankah tadinya dia mengatakan untuk tidak mengikutinya?" tanya si dokter yang sebenarnya merupakan teman akrab Sehun.

"Aku tidak bisa melepaskan pandanganku darinya, jika aku tidak mengikutinya, aku akan sangat mengkhawatirkannya." jawab Shindong yang mendadak merasa sedih.

"Gwenchanayo.. kesehatannya sudah membaik. Otot kakinya juga sudah mengalami banyak perkembangan." mengelus pundak Shindong memberi semangat. "memangnya dia akan kemana? bukankah jadwalnya bekerja masih lama?"

"Sekarang jamnya Sora pulang sekolah. Kurasa dia hendak menjemput anak itu." mengangkat panggilan di ponselnya sejenak dan kembali menghadap si dokter. "aku baru saja mendapat panggilan dari salah satu anak buahku. Sepertinya dia sudah akan pergi. Aku permisi dulu. Ah, aku akan menghubungimu jika dia akan berlatih lagi. Geurom, sampai jumpa lagi." melangkah buru-buru keluar dari ruang gym.

"Paling tidak aku bisa sedikit tenang. Kau beruntung memiliki asisten sepertinya." batin si dokter. Juga hendak beranjak, si dokter segera membereskan barang-barangnya. Melipat kaca matanya lalu memasukkan kedalam saku jas putihnya. Ia sudah siap melangkah pergi.

--

     Mengendarai mobilnya yang juga berwarna putih. Sekilas si dokter terlihat berbeda, kini sedikit lebih macho. Menyetir dengan santai dan tetap fokus pada keadaan disekitar mobilnya. Sore itu kota Seoul terlihat sangat ramai. Kendaraan terlihat berbaris di setiap lampu merah. Kebetulan pada saat itu merupakan jam pulangnya bekerja. pantas saja jika banyak kendaraan yang terlihat. Menunggu lama ketika terjebak lampu merah, tapi dokter itu tetap terlihat santai. Menyalakan radio mobilnya, menikmati alunan musik hingga mobilnya kembali meluncur pelan. Trrrrt! Ponselnya berdering. Menyambungkan ke mobilnya lalu menerima panggilan itu.

"Yeobose.."

"Henry-a.. Eodiya???" teriakan itu lebih dulu terdengar. Membuatnya mengatup rapat mulutnya. "kenapa ruanganmu kosong? Cepatlah kesini, aku sangat bosan.. aish kau ini, bukankah kau berjanji untuk menjemputku di bandara?" celutuk orang tersebut tanpa memberikannya kesempatan untuk berbicara.

"Mianhae.. Naega.."

"Setelah 4 tahun lamanya apa kau tidak merindukan sahabatmu yang cantik ini? Kau ini benar-benar! Cepat kesini! Aku tidak ingin menunggu lama." bentak orang tersebut yang ternyata seorang perempuan. "ah! Bawakan aku teokkbokki. Ah! Jampong juga! Jangan lama-lama! Jangan membuatku menunggu!" dan panggilan itu pun berakhir. Si dokter yang ternyata bernama Henry tidak sekali pun menyelesaikan perkataannya. Tapi ia malah tersenyum. Mengapa? Karena akhirnya ia bisa bertemu sahabat kecilnya.

"Yoona-a, akhirnya kau pulang juga." batinnya dengan senyumnya yang merekah bahagia.

--

     Berdiri bersandarkan tembok gerbang sekolah. Melipat kedua tangan hingga menempel ke dada. Menggerakkan kakinya pelan, memainkan pasir yang tengah diinjaknya. Disekitarnya, para ibu meliriknya malu-malu. Sebagian terpana sebagian lagi merasa bimbang dengan statusnya. Setiap harinya melakukan itu hingga semua orangtua murid mengenalnya. Walau sebelumnya dirinya sudah lebih dulu terkenal berkat semua kemenangannya dalam olahraga Tenis. Ya, ia adalah seorang atlit tenis.

"Appa!!!" teriak seorang anak dari arah gedung sekolah. Dengan rok mini dan jaket baseballnya, berlari menuju ayahnya. Hal pertama yang ia lakukan dan selalu ia lakukan, memeluk ayahnya dengan erat. Setelah itu dengan lancar melaporkan semua yang telah ia lakukan di sekolahnya. "aku lapar." ujarnya di akhir kalimat. Wajah manis itu menatap ayahnya dengan matanya yang berbinar membujuk.

"Arraso.." sahut pria itu seraya menggendong putrinya itu. melangkah menuju mobilnya yang terparkir di tepi jalan. " keundae, bukankah tadi appa memakaikanmu celana panjang? Kemana celananya? " tanyanya.

"Tadi aku menumpahkan minuman ke celanaku, maka itu aku menggunakan rok ini.. Appa mianhae, padahal aku sudah berjanji untuk tidak menggunakan rok mini seperti ini. Hanya ini yang temanku bisa pinjamkan padaku." jawab anak berumur 4 tahun itu dengan bijak.

"Jika begitu, mulai besok appa akan memasukkan pakaian cadangan ke dalam ranselmu." putrinya itu manyun merasa bersalah. "gwenchana, appa tidak akan marah padamu.." rayunya. " Sora-a.. jika kau cemberut seperti itu appa akan sedih. " kini malah dirinya yang ikutan manyun.

"Kalau begitu aku ingin makan ice cream yang banyak!" seru gadis kecil itu semangat.

"Baiklah. Tapi sebelum itu kau harus makan malam dulu." balasnya seraya membuka pintu mobilnya dan menempatkan putrinya di jok paling depan.

"Aaa..." mulai merengek manja. Tapi tidak dihiraukan pria itu. dengan senyuman mautnya, ia mulai menyetir dan tetap tidak menghiraukan putrinya yang terus bertindak manja. Satu hal yang jelas, dia adalah seorang ayah yang tegas. Siapa dia? Si atlit tenis. Oh Sehun.

--

"Thanks bro.." sapa Yoona ketika menerima bungkusan makanan dari sahabatnya Henry. "wow, daebak.." menjilat saus teokbokki yang tersisa di jarinya. "btw, kau dari mana? Bukankah ini jam kerjamu? Dari tadi banyak sekali perawat yang mencarimu." ujarnya dengan mulutnya yang penuh dengan teok.

"Kunyah dulu makananmu. Aish, kau jorok sekali." melempar gumpalan tisu ke wajah sahabatnya itu. " tadinya aku sedang bersama client ku. Yak, kau tidak membawa apa-apa untukku? "

"Ehei.. igo." balasnya yang melempar sebuah kotak ke pangkuan si dokter.

"Ige mwoya?" tersenyum senang setelah melihat kotak yang bermerek terkenal itu.

"Dasar matre." celutuk Yoona dan kembali menikmati makanannya. Beralih ke jampong dan menikmati sensasi pedas yang membakar lidah. "minum.. minum." teriaknya. Dengan tawanya Henry melangkah cepat menuju lemari es, lalu kembali dengan dua botol jus jeruk di tangannya.

"Aku akan menjaganya baik-baik." ujarnya setelah memberikan jus itu ke Yoona. Mengamati isi kotak itu yang ternyata berisikan sepatu. Ia senang bukan main. "bagaimana kau bisa tahu merek kesukaanku?" mengelus sepatu itu bahagia.

"Memangnya apa yang tidak aku ketahui tentangmu? Aku bahkan pernah melihat itu mu.." lalu tersedak karena Henry menepuk kepalanya dengan kuat.

"Jaga mulutmu! Bagaimana jika ada yang mendengarnya!"

"Haha.. mian." terduduk lemas akibat perutnya yang sudah penuh tak berongga. Bahkan bersendawa riang tanpa memikirkan image jelek pada dirinya. "kalau begitu aku pulang dulu." menarik kopernya dan bersiap untuk melangkah pergi.

"Mwoya.. aku baru saja tiba kau sudah mau pergi?" tahan Henry.

"Dari bandara aku langsung kesini, aku bahkan belum mengabari orang rumah."

"Jadi kau kesini hanya untuk makan?" grutu Henry tak bisa menahan sahabatnya itu lagi.

"Ne." membuka pintu kamar itu. "aku akan menghubungimu lagi. Bye bye.." pintu pun tertutup dan gadis itu tak terlihat lagi.

"Hoh." tak bisa berkata lagi. "kenapa aku selalu dipertemukan dengan orang-orang seperti mereka? Mereka yang selalu berlaku seenaknya." meratapi nasibnya yang tak seindah gelarnya. Baru saja bersandar di sofa empuknya, seorang perawat mengetuk pintunya, membuatnya harus segera bangkit dan memulai tugasnya pada hari itu.

--

     Duduk santai didalam taksi yang tengah mengantarnya ke rumah orangtuanya. Matanya terus mengamati apa yang terlihat dari balik kaca mobil. 4 tahun sudah ia meninggalkan negara itu, tak terhitung kerinduan yang ia rasakan. melihat bangunan-bangunan asing di sepanjang jalan, bibirnya terus membentuk senyuman kerinduan. Diturunkannya kaca mobil, angin menerjang dirinya hingga membuat rambut blondenya tersibak tak terarah. Tapi malah membuatnya semakin bahagia. Bahkan aroma angin kota itu sangat ia rindukan.

"Ahjussi, aku turun disini saja!" ucapnya tiba-tiba. Membayar tagihannya lalu turun dari taksi dengan tergesa-gesa. Dengan heels 7cm yang ia gunakan, melangkah cepat bahkan terlihat buru-buru. Matanya terus menatap pada objek itu. tatapannya penuh kerinduan dan tak sabaran. Mendorong pintu kaca itu dan mulai memasuki sebuah cafe yang keseluruhan interiornya berwarna merah muda. Kini suara heelsnya yang menapak lantai tak lagi terdengar. Itu karena dirinya sudah berdiri mantap didepan sebuah kasir.

"Vanilla ice creamnya satu." ujarnya sebelum si pelayan sempat berkata. "ah, tolong berikan porsi terbesar." bingung dan juga merasa aneh. Tapi si pelayan tetap tersenyum dan mulai menagih bayarannya. Yoona segera membayarnya dan memilih duduk disalah satu sofa, terletak di samping air mancur kecil.

     Sebenarnya tidak ada yang salah pada dirinya. Tapi mengapa semua mata tertuju padanya? Setelah ia mencoba untuk mencari tahu. mengutuk dirinya dengan geram. Pelanggan yang berada disana rata-rata anak-anak dan orangtua mereka. Mengapa begitu? Itu karena Yoona memasuki sebuah kafe yang bertemakan anak-anak. Tidak salah jika orang dewasa memasuki tempat itu, namun jika hanya seorang diri dan dengan berpernampilan sepertinya. Tentu akan terlihat aneh. Lalu, seperti apa penampilannya?

     Dress ketat berwarna putih yang membentuk lekuk tubuh. Panjangnya selutut dan jika duduk akan naik hingga pertengahan paha. Tak berlengan, dan berkerah lebar nyaris memperlihatkan belahan dada. Ditambah lipstik merahnya dan polesan mata yang penuh, dengan rambut blondenya yang terang, dimana pun ia berada pastinya akan menjadi bahan tontonan. Apalagi saat itu adalah pertengahan musim gugur, udara tentu terasa dingin. Tapi gadis itu sama sekali tidak menghiraukan itu seakan tubuhnya bebal akan udara dingin, lagi pula semua yang ia gunakan adalah hal biasa yang selama ini ia gunakan di Sydney, negara dimana ia berkuliah. Bersikap tenang dan berpura-pura tidak menyadari setiap lirikan tajam disana.

     Ice cream pesanannya telah disajikan. Dengan mantap ia menyendok ice cream berporsi jumbo itu. Semakin banyak mata yang meliriknya, tapi ia tetap kukuh dan masih bisa menahan diri. Ketika rasa vanilla melumer di mulutnya, semua memori indah di masa lalu menghampirinya. Seakan terputar kembali di ingatannya, ia tersenyum senang. Menyantap ice cream dengan senyuman diwajahnya. Tak sengaja setetes ice cream menodai dressnya. Buru-buru ia melangkah menuju toilet. Berdiri di hadapan wastafel. Mencoba membasahi noda ice cream dengan air.

     Sayangnya usahanya untuk menghilangkan noda malah berakhir memperbanyak noda. Dressnya bagian bawah kini bercorak coklat muda. Ia kesal bukan main. untuknya penampilan merupakan nomor satu. Dan ketika dressnya tampak lusuh seperti itu, tentu dirinya menjadi tak bersemangat. Dengan lemah ia melangkah keluar dari toilet. Berjalan menuju tempat duduknya.

"Aaa!" teriaknya tiba-tiba. Kini dressnya menambah warna baru, yaitu pink. Dihadapannya, seorang anak perempuan menangis tersedu-sedu dikarenakan ice cream strawberry miliknya telah musnah. "yak.." sedikit membentak juga sedikit menahan volume suaranya. Semakin bad mood.

"Ice creamku.." rengek anak itu meratapi ice creamnya yang sudah menempel pada dress Yoona.

"Kenapa kau menabrakku.." merasa bahwa anak itulah yang melakukan kesalahan.

"Appa.." teriak anak itu memanggil ayahnya.

"Yak.. Yak.. kenapa kau menangis seperti ini? Ini salahmu.. berhentilah menangis.." terlihat kaku, hanya berdiri dengan wajahnya yang sedikit merunduk guna menatap anak itu.

"Appa.. Ice creamku.." tangisan anak itu semakin kuat. Semua pelanggan mulai mengamati mereka berdua.

"Aish, kenapa jadi aku yang terlihat bersalah?" geram bukan main. Ia berjongkok, menatap anak itu dengan lekat. Bahkan menggenggam lengan anak itu agar anak itu membalas tatapannya. "yak, kumohon berhentilah menangis.. semua orang sedang melihat kita.." bujuknya sedikit mengancam. "yak.." mengguncang-guncang tubuh anak itu, tapi malah membuat tangisan anak itu semakin kencang. "yak!" bentaknya akhirnya.

"Apa yang sedang kau lakukan!" seseorang mendorong tubuhnya dengan kuat. Membuatnya tersungkur ke lantai.

"Aww!" Yoona meringis kesakitan. Wajahnya berubah bringas. Ia bangkit dari lantai dan menatap lantang orang yang telah mendorongnya itu. Lucunya, setelah melihat siapa orangnya, Yoona malah diam terpana. Dilihatnya seorang pria tampan yang tengah menggendong anak perempuan yang tengah menangis itu. Pria itu mengelus punggung anak perempuan itu penuh perhatian. Dan beberapa detik kemudian pria itu menatapnya. Tatapannya sangat tidak bersahabat. Penuh kemarahan.

"Apa yang sebenarnya telah kau lakukan!" tanya pria itu dengan nada suaranya yang penuh penekanan.

"Itu.. Aku.." begitu banyak kata-kata yang ingin ia katakan. Tapi berakhir tersendat di tenggorokannya. Wajah tampan itu membuat dirinya lemah.

"..." saking marahnya, pria itu diam tak mampu berkata, melainkan mengerang dalam hati. Dengan usaha penuh akhirnya pria itu berhasil menahan amarahnya dan memilih untuk segera pergi dari sana.

"Aaa j-jogiyo.. jogiyo.." panggil Yoona mengejar pria itu yang sudah melangkah pergi. Mencoba menyeimbangkan langkahnya, tapi langkahnya terhenti di ambang pintu. Ia melupakan kopernya. Dengan cepat ia berlari kecil kembali ke tempat duduknya. Meraih gagang koper dan kembali melangkah keluar. Sayangnya pria itu tak terlihat lagi. Kini Yoona benar-benar terlihat lemah. tak bersemangat. Tak lagi terpikirkan apapun di pikirannya. Entahlah, ia mendadak merasa kosong.

Continued..

.

.

.

(baru akan dilanjut setelah ada yang berkomentar)

-

-

-

-

-

Hi kakak-kakak..

Saya baru saja terbitkan novel.

Judulnya White Romance

Jika ingin tahu, bisa cek di instagram saya @hyull

Murah kok. Rp 78.000

Dan White Romance novel terbaik yang pernah saya buat.

Siapa tahu tertarik, bisa langsung diorder.

Maaci..

Next chapter