4 Sang Legenda

Karaj menyeringai melihat kepulan asap dari tempat Nierna berada. Tetapi setelah kepulan asap itu memudar, dilihatnya Lumeehe melindungi Nierna dengan cahaya biru yang keluar dari kepalanya. Belum hilang rasa terkejut Karaj, datang serangan dari belakang.

"Kamulah yang akan mati!" teriak Gulu sambil mengayunkan tangannya yang keras, bersamaan dengan serangan Morx yang memutar-mutar palu besar.

Karaj berkelit dengan cepat, dan langsung menghunuskan ujung tongkatnya hingga menembus ulu hati Gulu.

"Grrhm ... Gulu!" Morx berteriak marah, ketika melihat tubuh bebatuan Gulu hancur berantakan.

Kematian pesaing sekaligus sahabatnya tersebut, menyulut kemarahan Morx. Palunya menerjang Karaj membabi buta. Tetapi menghadapi Karaj dengan serangan tak beraturan hanya akan merugikannya. Beberapa detik kemudian, cahaya merah menghantam Morx tanpa ampun, sehingga membuat pemimpin Doroga tersebut tewas dalam keadaan hangus.

Baru saja berhasil mengalahkan Gulu dan Morx, kini serangan lain datang bahkan lebih cepat dan lebih kuat. Dua bilah pedang besar menebas dan mengayun ke arah Karaj. Ketika pedang besar menebas dari kanan, Karaj mengelak ke bawah, namun sebilah pedang yang lain menyambutnya. Dengan sigap Karaj menahan serangan dengan tongkatnya. Kendati Karaj dapat menahan dan berkelit, tetapi kali ini serangan yang datang bertubi-tubi berhasil mendesak Karaj, hingga akhirnya sebilah pedang berhasil menghujam dada dan mendorongnya terpental sejauh tiga meter.

Sambil memegangi dadanya yang terluka, Karaj menatap tajam pada Qhedar yang tengah berdiri sambil memegang dua bilah pedang besar di tangannya.

"Qhedar, tidak percuma kamu menjadi pimpinan Terazora Droxila." ucap Karaj.

"Jangan lupakan kami." timpal Lumeehe, seraya berdiri di sebelah Qhedar dan Nierna.

"Majulah sekaligus, biar aku menghemat waktu!"

Usai berkata demikian Karaj menerjang ketiganya. Sementara itu, Qhedar, Nierna, dan Lumeehe bersiap-siap menyambut dengan kekuatan mereka masing-masing. Kedua pedang Qhedar berpendar terang, Gelang-gelang Nierna berputar dan dialiri cahaya-cahaya ungu, sementara kepala Lumeehe membesar dan menjadi semakin merah. Kedua belah pihak kini telah siap mengeluarkan kemampuan terbaik.

"Sambut serangan ini!" teriak Qhedar seraya mengangkat pedangnya ke atas, diikuti kedua temannya yang juga mengarahkan serangan mereka ke arah Karaj.

Ketiga Terazora Droxila mengeluarkan cahaya-cahaya dahsyat yang meluncur cepat ke arah Karaj. Bukannya surut, Karaj justru tersenyum "Hanya itu kemampuan kalian? Kalau begitu tamatlah Xoranum Ertaz!" seru Karaj lalu menebas cahaya-cahaya yang menyerangnya.

"Aaaargh!" ketiga petinggi Xoranum Ertaz menjerit, dan terhempas dengan luka yang cukup parah.

Sementara itu, Karaj tetap berdiri kukuh tanpa terluka. Melihat ketiga lawannya terluka, Karaj menyeringai sambil berjalan mendekat.

"Belum selesai ...," kata Qhedar seraya berdiri dengan susah payah sambil memegangi dadanya yang berlubang.

"Cih! Kalian bertiga saja tidak sanggup melawanku. Apalagi sekarang kamu hanya sendiri." ujar Karaj sambil melempar pandangan pada Nierna yang kedua kakinya terkoyak dalam, dan Lumeehe yang kedua tangannya terputus.

"Melihat keadaanmu, aku bisa menghabisimu dengan mudah. Mati!"

Karaj melesat dengan cepat ke arah Qhedar sambil menghunuskan ujung tongkatnya. Saat kematian sudah semakin dekat, tiba-tiba seseorang berkelebat dan menangkis tongkat Karaj.

TIIING!

"Kamu—" gumam Karaj seraya menatap tajam pada sosok yang baru saja datang.

"Anarra—" Qhedar terkejut melihat kehadiran sang penyelamat.

"Za, pergilah bersama Za Nierna dan Za Lumeehe." tukas Anarra.

"Ta—"

"Cepat pergi!" bentak Anarra.

Qhedar tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh anak buahnya, namun ia tahu Anarra bermaksud menyelamatkannya. Dengan bersusah payah, Qhedar memanggul kedua temannya.

"Jangan pikir kamu bisa lari!" seru Karaj sambil menerjang.

Akan tetapi dengan sigap Anarra menghalangi. Tongkatnya menghantam tongkat Karaj. Terdengar suara kedua tongkat tersebut saling beradu dan berdenting. Melihat kesempatan itu, Qhedar berusaha sekuat tenaga masuk ke dalam pesawat kecil berwarna biru.

"Cih! Minggir Aninoke (murid) jangan halangi aku!" geram Karaj merasa kesal pada Anarra.

"Maaf Gamanoke (guru), nyawaku kupertaruhkan demi Xoranum Ertaz." jawab Anarra seraya menangkis tongkat Karaj.

Kamu memaksaku!

DUAAK!

Karaj menjadi marah, ditendangnya Anarra kuat-kuat. Anarra yang tidak menyangka gerakan Karaj, terdorong ke belakang sejauh dua meter. Mendapat kesempatan itu, Karaj melompat menuju pesawat yang sudah berada belasan meter di atas landasan. Tongkat di tangannya berpendar merah. Tapi disaat cahaya merah hendak dilontarkan, Anarra melesat dan mengayunkan tongkatnya.

TRAAAANG!

Sekali lagi, Anarra berhasil menggagalkan usaha Karaj. Karaj menjadi semakin geram, apalagi pesawat yang ditunggangi Qhedar telah melesat cepat keluar dari Ertazium.

"Aninoke, kamu sungguh tidak tahu balas budi!" hardik Karaj sambil menatap tajam pada Anarra.

"Apa saja akan aku lakukan demi membantumu Gamanoke. Tapi tidak, jika kamu bermaksud menghancurkan Xoranum Ertaz yang turut kamu bangun."

Keduanya saling menatap tajam. Anarra memang Aninoke yang ia sayangi, layaknya seorang anak. Demikian pula Anarra yang menaruh rasa hormat pada Karaj sebagai Gamanoke. Namun perbedaan pandangan politik keduanya mengharuskan mereka berada di sisi yang berlawanan. Pertempuran antara Gamanoke dan Aninoke tersebut sudah tak bisa dihindari.

"Gamanoke, kamu terlalu berambisi untuk merebut kekuasaan." tukas Anarra.

Mendengar kata-kata itu Karaj tersenyum "Aku harus mengejar mereka, waktuku tidak banyak meladenimu. Siapkan kekuatan puncakmu! Hari ini, Karaj atau Anarra yang akan mati!" seru Karaj lantas melesat ke atas sambil memutar-mutar tongkatnya.

"Baiklah Gamanoke!"

Anarra menghentakkan kaki lalu melesat ke atas seraya memutar-mutar tongkatnya. Kedua tongkat mereka berputar semakin cepat, hingga mengeluarkan suara berdesing yang memekakkan telinga. Putaran dari kedua tongkat tersebut menghasilkan angin yang menghempaskan sekelilingnya. Aliran listrik bertenaga petir, berkilatan pada kedua tongkat. Inilah saat penentuan, salah satu dari keduanya harus meregang nyawa demi prinsip yang mereka pegang teguh.

"Selamat tinggal Aninoke!" teriak Karaj seraya melempar aliran listrik dari tongkatnya.

"Sambut aku Gamanoke!" seru Anarra yang juga melemparkan aliran listrik.

Kedua aliran listrik melesat cepat hingga akhirnya saling berbenturan, menyebabkan sebuah ledakan yang sangat besar.

BLAAAAAAAAAAAR!

Ledakan itu membuat Ertazium hancur berkeping-keping. Tak terhitung jumlah korban jiwa dari peristiwa tersebut. Namun kejadian tersebut berhasil menghentikan Zelliot, sekaligus menorehkan Anarra sebagai pahlawan yang melegenda bagi Xoranum Ertaz.

Akhirnya kedamaian di Galaksi Avallen tercapai. Namun, tidak ada yang menyangka kalau peristiwa tersebut justru awal dari malapetaka.

Dominasi atas kekuasaan dan kekayaan selalu menjadi hal yang memikat sebagian orang, juga menjadi momok menakutkan bagi sebagian yang lain.

Orang-orang selalu menginginkan peperangan karena itulah ladang kekayaan dan kekuasaan. Tidak ada senjata yang terjual tanpa peperangan, tiada lahan yang diolah tanpa penaklukan. Demikianlah hakikat makhluk berakhal yang memiliki nafsu angkara.

Akan tetapi, selalu ada pahlawan yang muncul di tengah kemelut dan siap memorak-porandakan ideologi yang berlandaskan keserakahan. Tak sampai ribuan tahun dari zaman ini, puncak peperangan akan membuncah.

Bersambung ....

avataravatar