webnovel

BAB 1 (Novel Misterius)

Seorang gadis cantik bergaun putih tersenyum memandangi wanita yang tengah berlutut menyamakan tinggi dengannya. Dia terlihat begitu polos. Wajahnya masih saja tersenyum walau wanita yang dipanggilnya 'ibu' itu kini memandangnya sedih. Hazel hanya mampu merasakan kehadiran wanita itu dan tak memperdulikan tempat dimana dia berpijak sekarang. Tak perduli dengan derasnya air hujan, gema petir yang memekakkan telinga, dan juga deru kendaraan ditengah gelapnya malam.

"Hazel, ibu punya sesuatu untukmu," ujar wanita yang mengaku sebagai ibu dari gadis bernama Hazel.

Hazel tersenyum sambil memamerkan gummy smile miliknya. "Benarkah?"

Wanita itu mengangguk. "Pejamkan matamu!"

Disaat Hazel memejamkan matanya, tepat saat itu pula air mata sang ibu jatuh. Mencoba menyembunyikan isak tangis dengan cara menggigit bibir bawahnya. Tak membiarkan sang putri mendengar tangis kencangnya, walau sesekali dia hilang kendali dan mengeluarkan sesenggukan kecil. Dadanya terlalu sesak untuk tidak melampiaskan emosi berupa tangis. Pelupuk matanya terlalu penuh dan tak bisa membendung air mata lebih banyak lagi.

Wanita itu kembali mengusap sepasang pipi gembul Hazel dengan tangan gemetar. "Jangan buka matamu sebelum hitungan ke-20. Bisa lakukan itu untuk ibu?"

Hazel mengangguk mengerti.

Wanita berparas cantik itu memalingkan wajahnya kearah lain, tak kuasa melihat bibir Hazel yang masih tersenyum tanpa ada yang meminta. Kedua tangannya bergerak menggapai tangan Hazel, kemudian menaruh sebungkus cokelat ditangan kanan dan payung hitam ditangan kirinya. "Maafkan ibu," gumamnya hampir tanpa suara.

Pada awalnya, gadis cantik itu terus saja tersenyum, tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya setelah mendapatkan hadiah untuk yang pertama kalinya dari sang ibu. Namun beberapa saat kemudian, kedua tangan yang kini sibuk menggenggam dua benda itu mulai gemetar. Hazel mendengar suara jejak kaki yang bergerak semakin menjauh, kemudian hilang ditelan malam. Sepasang telinganya tak lagi mendengar suara, isak tangis, atau bahkan deru nafas sang ibu seperti sebelumnya.

"Satu …."

"Dua …."

"Ti-tiga …."

Bibir mungil itu terus bergerak, menghitung angka demi angka sesuai janjinya pada sang ibu.

Saat itu Hazel mulai menyadari keadaannya yang masih terus berdiri mematung, meski tahu bahwa sang ibu baru saja pergi meninggalkannya. Dia tetap memenuhi janjinya untuk tidak membuka mata sebelum hitungan ke-20. Namun, setelah tahu bahwa sang ibu baru saja meninggalkannya, seketika lututnya lemas dan jatuh bertumpu ditanah.

Gadis kecil itu melemparkan payungnya sambil menangis pilu. Melangkahkan kakinya menyeberangi jalan raya dengan tatapan jauh kedepan. Hazel sama sekali tak memperdulikan teriakan orang-orang yang memintanya untuk menjauh dari sana. Seperti tuli, kedua telinganya sama sekali tak mendengar bunyi klakson bersautan tanpa henti.

"Apa yang sedang mereka lakukan?" gumam Hazel. Melihat seorang wanita dewasa memeluk anak perempuan diatas bebatuan diujung tebing.

Mereka berpelukan, tersenyum, dan saling memberikan pancaran cintanya satu sama lain. "Sayang, mari kita bertemu ayah." Ujar wanita dewasa sambil mendekap erat putrinya.

"Pejamkan matamu, jika apa yang kamu lihat bisa membuatmu takut dan menangis." Seseorang berkata dibalik punggung Hazel. Suara anak laki-laki dengan logat bule yang sangat kental.

Byurrr ....

Hazel merdengar suara benda berat jatuh ke dasar laut. "Apakah mereka jatuh atau menjatuhkan diri?"

Hazel tak bisa melihat apa yang terjadi sebenarnya. Pandangannya tiba-tiba berubah gelap. Seseorang menutup kedua matanya dengan telapak tangan yang lebih besar. Tapi, itu bukan tangan orang dewasa. Tubuhnya bahkan tidak begitu besar. Telapak tangannya juga tidak terlalu lebar seperti orang dewasa pada umumnya. Bisa dipastikan sosok itu memiliki usia diatas Hazel. Atau bisa dikatakan tubuhnya sedikit lebih tinggi dari anak perempuan yang jatuh bersama ibunya barusan.

"Hiks." Hazel menangis. Membasahi telapak tangan itu dengan air matanya.

Sosok itu mulai menjauhkan telapak tangannya dari wajah Hazel. Kemudian menyentuh kedua bahu sempit Hazel dan memutar tubuh mungil itu hingga berhadapan dengannya. Kedua mata Hazel hanya mampu melihat dadanya yang telah basah karena air hujan. Laki-laki itu menarik lengan Hazel, membawa tubuh itu kedalam pelukannya. Tangannya pun bergerak, melepas jacket tebal ditubuhnya, dan memindahkannya keatas kepala mereka berdua.

"Siapa namanu?" tanyanya dengan logat bicara yang terdengar berbeda dan sangat khas.

"Hazel," jawabnya tanpa ragu.

Masih berusaha keras mengangkat dagu untuk melihat wajah dan kedua matanya lebih jelas lagi. Dan Hazel melihatnya. Menangkap pemandangan wajahnya yang penuh memar dan juga darah kental yang telah mengering ditulang pipi hingga juga ujung bibirnya. Hanya tiga detik dia membiarkan mata Hazel untuk melihat wajahnya. Cokelat hazel adalah warna matanya. Sama seperti nama gadis kecil yang kini termangu melihat keindahan didepannya.

Belum puas memandangi visual sempurna didepannya, Hazel harus pasrah saat laki-laki itu kembali menutup matanya. Kali ini bukan dengan telapak tangannya, melainkan ujung jacketnya. "Apakah kamu malaikat? Biarkan aku melihatmu!" pinta Hazel penuh harap.

Hazel memintanya dengan sangat, namun laki-laki itu menggeleng, meminta sang gadis untuk kembali memejamkan mata. Dia juga melepas beanie putih dikepalanya, memakaikan benda itu diatas kepala sampai menutupi kedua mata Hazel. Setelah itu ia membawa Hazel berteduh, menuntun langkah kecil Hazel dengan penuh kesabaran.

Laki-laki itu berdiri tepat didepan gadis yang lebih pendek darinya. Dia juga melindungi tubuh Hazel dari cipratan air hujan yang semakin deras terasa. Karena membelakangi tetesan air dibelakangnya, alhasil belakang tubuhnya basah kuyup. Laki-laki itu membiarkan tubuhnya menggigil kedinginan, demi melindungi anak perempuan yang baru ditemuinya.

"Tetap disini, jangan kemana-mana sebelum aku kembali." Pinta remaja laki-laki itu sambil mengguncang kedua bahu sempit Hazel.

Laki-laki itu tersenyum puas setelah mendapat respon berupa anggukan cepat dari Hazel. Kemudian dia berbalik dan berlari ketempat dimana orang-orang mengerumbungi tempat yang menjadi saksi bisu seorang ibu membawa pergi nyawa anak perempuannya. Tubuh tingginya berlari menerjang keramian. Kerutan senyum diwajahnya seketika berubah menjadi kerutan pilu. Dia menangis dengan air mata yang semakin membanjiri wajah tampannya.

"Mommy ... Abriana," lirihnya dengan air mata mulai mengalir deras. Berlutut diujung tebing sambil memeluk kaki pria tua dengan sepasang bibir bergetar menahan tangis.

~~~@~~~

Rabu, 15 Mei 2019

"Hazel, ada paket untukmu!" teriak Adipati dengan suara baritone yang khas.

Hazel tersentak. Tubuhnya perlahan bangkit dan duduk sebentar untuk mengambil nafas; mengisi rongga dadanya dengan pasokan oksigen. Berkali-kali menguap dan memaksakan diri untuk berjalan keluar dengan langkah gontai. Sepertinya dia kelelahan. Terlihat jelas saat bibir kecil itu terbuka beberapa kali untuk mengambil nafas dan menyeka keringatnya dengan kasar.

Akhir-akhir ini ia sering bangun dengan rasa takut. Setiap malam selalu mendapatkan potongan mimpi yang cukup membingungkan, seperti: seorang wanita yang dipanggilnya ibu––yang meninggalkannya di tengah gelapnya malam, menyaksikan dua orang bunuh diri, dan pertemuannya dengan laki-laki bermata cokelat hazel.

"Apakah mereka benar-benar bunuh diri? Lalu kenapa laki-laki itu menutup mata orang lain? Kenapa tidak menutup matanya saja?"

Ada begitu banyak pertanyaan dibenak Hazel, setelah sekian lama didatangi mimpi sama yang terus berulang. Dalam mimpinya, dia melihat seorang gadis kecil dengan gaun yang sangat cantik, menangis dalam pelukan anak laki-laki tampan dibawah rinai hujan. Entah siapa gerangan, karena dalam mimpinya, semua wajah itu tidak terlihat begitu jelas. Tapi satu hal yang pasti, gadis itu menyebut dirinya bernama Hazel.

"Apakah itu aku?" batinnya.

"Ada apa?" tanya Hazel. Berjalan menuruni anak tangga dengan rambut berantakan seperti singa.

"Seharusnya kamu beli buku khusus jurnalis, bukan novel fiksi romantis seperti itu." Omel Adipati, ayah asuh Hazel. "Oh, ya. Jika kontrak magangmu dengan Golden Time habis, kamu bisa mengirimkan lamaran pekerjaan ke INDOnews."

"Ya, tahun depan," jawab Hazel sambil menaiki anak tangga menuju kamarnya. Memandangi paket tanpa nama dan alamat pengirim itu benar ditunjukan untuknya. "The Eternal Love : Hazel Star?" keningnya seketika berkerut.

"Tampannya." Puji Hazel dengan senyum yang merekah. Memandangi satu-satunya ilustrasi dihalaman awal novel. Ilustrasi yang sengaja dibuat khusus oleh penulis untuk karakter utama novel, Zaidan Abriana. "Kau terlalu sempurna untuk menjadi manusia, tapi aku berharap kau tak sekedar tokoh fiksi."

Lembar demi lembar cerita sukses membuat bibir Hazel tersungging bahagia. Zaidan Abriana selalu digambarkan dengan segala kesempurnaan hidupnya. Dia juga mendapatkan beberapa julukan unik seperti: Face Genius karena pahatan wajah sempurna, Sexy Brain karena kecerdasan diatas rata-rata dengan IQ 150, dan julukan Prince Frozen karena kepribadian dingin bak kutub es.

"Hazel Star? Aku?" Satu alisnya terangkat, masih merasa bingung dengan cara sang penulis menggambarkan karakter wanita yang terkesan lebih rahasia. Apalagi nama karakter utama wanitanya ini sangat mirip dengan namanya, Hazel Star.

Diawal-awal cerita, sang penulis hanya menggambarkan sosok Star sebagai pemanis kisah Zaidan Abriana. Laki-laki tampan yang diam-diam mencintai gadis bernama Star itu memang sedikit mengesampingkan urusan percintaannya. Dia lebih memilih bersembunyi dari Star dan membantu gadis itu mencapai hal-hal kecil yang mampu membahagiakannya.

"Rooftop?"

A.L. Nama pena sang penulis novel ini memberikan suguhan ilustrasi visual tampan tokoh utama pria disetiap awal bab. Termasuk dengan bab pertama yang diberi nama 'Hazel Star'. Dan disana penulis menaruh ilustrasi dimana tokoh utama yaitu Zaidan Abriana, tengah memandangi wanita yang dicintainya diatas rooftop gedung INDOnews. Pemandangan yang benar-benar menyegarkan mata. Benar-benar cantik dan sempurna. Entah kenapa keindahan itu justru membuat Hazel diserang rasa kantuk hebat.

"Hoam …."

Perempuan itu berkali-kali membuka matanya yang hampir tertutup rapat. Masih mempertahankan matanya agar tetap terjaga. Mencoba dan terus mencoba menyelesaikan bacaannya pada bab awal. Namun sepertinya semua usahanya terbuang sia-sia. Karen akini tangan kanan Hazel sibuk menutup mulut yang terus saja menguap tanpa henti, sedangkan tangan kirinya masih memegang erat novel yang baru saja dibacanya pada bab pertama.

Brukkk ….

Hazel tertidur dengan wajah terjatuh tepat diatas buku yang terbuka dibagian bab pertama, cerita dengan keindahan ilustrasi atap gedung INDOnews.

~~~@~~~

Meeting Room, INDOnews.

"Zel!" panggil seseorang sambil menepuk bahu kanan Hazel.

Hazel tersentak dan refleks mengangkat kepalanya. "I-iya?"

"Ada titipan untukmu." Katanya seraya meninggalkan sebuah kertas origami yang dilipat menyerupai burung merpati.

"Huh?" Hazel mengerutkan keningnya. Menggerakan bahunya dan melihat keadaan sekitar yang terasa begitu asing dimatanya.

Entah ini bagian dari mimpinya atau bukan, sekarang Hazel menyadari bahwa dia baru saja terbangun setelah tertidur disebuah ruangan bernuansa putih. Didepannya terdapat sebuah meja panjang dengan dua baris kursi mengelilinginya. Sedangkan didepan sana sebuah proyektor masih menyala, menampilkan sebuah video beberapa tragedi mengerikan dimasyarakat mulai dari kecelakaan, bencana alam, sampai dengan kasus narkoba.

"Tempat apa ini ?" tanyanya pada diri sendiri. Kedua tangannya terlihat berusaha keras menyentuh pinggiran meja untuk menopang tubuhnya yang lemas.

"Apa ini?"

Matanya langsung berbinar saat mendapati kertas origami berbentuk burung merpati. Hazel juga menemukan satu surat yang menggantung dengan tali yang terikat dikaki burung. Terlihat seperti surat cinta, karena ditulis dan dikemas begitu manis. Dan ini merupakan kali pertama Hazel mendapatkan surat dengan tulisan tangan yang sangat cantik.

Dear,

My Princess

"Jika burung ini sudah sampai pada wanitaku, tolong katakan padanya bahwa sang kekasih sedang merindu. Saking rindunya, sampai tidak mampu mengendarai kereta kuda untuk menjemput Putri. Tolong temui pangeran di rooftop. Beri dia kecupan manis agar bisa bangkit kembali."

Love,

Your Prince

Setelah selesai membaca secarik surat itu—Hazel langsung memutar tubuhnya dan berlari keluar ruangan. Tubuhnya sempat mematung sejenak, memandangi keadaan sekeliling yang terlihat begitu asing. Dari desain dan dekorasi gedung, sepertinya tempat ini pantas disebut dengan kantor perusahaan. Semua orang digedung ini terlihat benar-benar sibuk. Sepertinya ini memang kantor yang memperkerjakan orang-orang dengan semangat hidup tinggi. Bahkan, dari kejauhan telinga Hazel bisa mendengar suara-suara gaduh seperti; ketikan keyboard computer, bunyi printer, dan juga mesin fotokopi.

Beberapa orang sempat menyapa Hazel. Dan yang dilakukan Hazel hanyalah menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. Ekspresi bingungnya semakin menjadi setelah mendapati wajah-wajah asing memandanginya dengan kening berkerut. Entah apa yang sedang difikirkan mereka, sepertinya keberadaan Hazel disini memang sebuah kesalahan. Dia tak seharusnya ada ditempat seperti ini, dia pasti sudah gila.

"Oh, rooftop!"

Mata dan mulutnya membulat kompak setelah mengingat isi dari surat misterius yang didapatinya beberapa saat yang lalu. Tanpa ragu, Hazel lebih memilih berlari kearah tangga darurat, seolah-olah hal seperti ini memang sering ia lakukan. Bahkan saat ini ia terlihat mengenakan pedometer yang menggantung dipinggang rampingnya. Alat elektronik inilah yang biasa digunakan untuk menghitung langkah orang yang berjalan atau berlari. Tidak hanya pedometer yang membuat penampilan Hazel berbeda dari hari-hari biasanya, bahkan setelan kantor yang dikenakannya saat ini terbilang lebih rapi dan berkelas.

Sesampainya dirooftop Hazel kembali mematung. Atap gedung yang seharusnya terlihat biasa-biasa saja, kini berubah menjadi luar biasa. Mulutnya terbuka lebar saat melihat beberapa lampu kecil mirip lampion dan tumblr light yang menggantung diatas kepalanya. Tidak begitu terang ataupun gelap, cukup nyaman untuk konsumsi mata normal seperti dirinya.

Selain lampu taman kecil yang bersinar warna-warni, disana juga terdapat banyak kertas origami yang menggantung dengan berbagai bentuk dan warna. Dan yang paling menjadi pusat perhatiannya adalah keberadaan satu meja bulat diampit dua kursi berwarna putih, dimana terdapat cake dengan dekorasi yang sangat cantik dengan beberapa lilin diatasnya.

Bibirnya tersenyum saat membaca lembar demi lembar surat yang menggantung bersama kertas origami yang disulap menjadi berbagai bentuk lucu. Isinya tak jauh dari seputar kesan dan pesan seseorang untuk Hazel. Selain itu, ada juga beberapa surat berisi potongan kata-kata manis bak puisi romantis. Dan yang terakhir, tepat depannya, ada satu kertas origami warna putih berbentuk bintang, ukurannya jauh lebih besar dari kertas origami lainnya. Bibirnya seketika terbungkam, tangan yang kini tengah menggenggam kertas putih itu terlihat bergetar, bahkan jantungnya ikut berdebar saat membaca tulisan tangan diatas surat itu.

"Hanya ada satu bintang dari seratus origami yang aku buat. Dan aku memberinya nama HAZEL STAR. Jika kamu bertanya; kenapa hanya ada satu bintang dari seratus origami, jawabannya karena hanya ada satu Hazel dari sekian banyaknya Hazel yang pantas menghias galaksi dihatiku. The one and only Hazel Star"

–– Zaidan Abriana ––

Next chapter