18 Chapter 18 Kerinduan Irene

"Tapi, selama ini....," suaranya melemah. "…selama ini aku bertahan untuk menyimpan rindu ku pada mu, Yu. Kamu nggak tahu, kan?" tanya Irene kepada Yuuto.

"Aku bisa merasakan," hanya itu jawaban Yuuto yang di anggap bijak.

"Dan, sekarang... sekarang aku nggak bisa tahan lagi. Aku nggak kuat lagi menyimpan rindu terlalu lama. Maka, aku nekat datang ke sini! Sebab kita tidak pernah bertemu di kampus." ucap Irene.

Memang, Yuuto sendiri mengakui dalam hati, bahwa selama ini ia menjadi jarang bertemu ddngan teman-temannya. Sejak ia bangkit dari kematiannya, lebih-lebih sejak Yuki sering datang padanya, hubungan Yuuto dengan sahabat-sahabat dekatnya menjadi renggang di luar kesengajaan. Sunny, Yohan, Ryan, Simon, seperti seorang teman biasa bila bertemu. Tak bisa seakrab dulu rasanya. Entah hal itu di sebabkan karena apa, Yuuto sendiri tidak tahu. Apalagi sejak ia mengontrak rumah sendiri, ia menjadi seperti terasing dari teman-teman akrabnya.

"Yu, kenapa kamu nggak pernah menemui ku? Kamu nggak suka sama aku, ya?" tanya Irene pelan, kali ini ia memberanikan diri menggenggam tangan Yuuto yang ada di meja teras.

"Aku sibuk, Ir." jawab Yuuto singkat.

"Aku sudah terka kamu akan menjawab bergitu. Karena itu alasan yang paling mudah dan selalu di ujung bibirmu. Siap meluncur sewaktu-waktu."

Melihat ekspresi wajah Irene tampak serius, di bungkus kemurungan, Yuuto mencoba menetralisir suasana agar tak menjadi tegang. Ia mengajak Irene tertawa, menggoda dengan lirikan mata, dan semua itu ternyata tidak berlaku bagi Irene. Ia membutuhkan keseriusan. Karenanya segera berkata,

"Perempuan judes itu yang membuat mu enggan datang menemui ku, Betul, kan?"

Yuuto cengar-cengir, membuat Irene semakin merasa di permainkan. Dongkol hatinya, Tapi tangan yang menggenggam tangan Yuuto itu tidak mau di lepaskan. Hanya wajahnya yang tampak makin cemberut menahan dongkolan hati.

"Suatu saat, aku pasti datang menemui mu, setelah kesibukan ku berkurang. Maklum, aku sedang meniti karir. Kalau nggak berani korban waktu dan tenaga, aku nggak bakalan sukses, Ir." ucap Yuuto.

Sempat pula kata-kata itu di renungkan oleh Irene. Ia mulai bisa memaklumi. Alasan itu memang benar. Memang tepat. Jadi, mau bilang apa lagi?

Irene segera mengalihkan pembicaraan. "Yu, besok aku ada undangan pesta ultahnya Nana. Kamu dapat undangan nggak?"

"Mungkin ia kirim ke rumah Om Ripto." jawab Yuuto.

"Bagaimana kalau besok kita berangkat bersama, Yu? Kita tunjukkan pada mereka bahwa antara kamu dan aku masih tetap ada hubungan. Sebab, belakangan ini mereka menyangka aku sudah putus hubungan dengan mu." ajak Irene.

Yuuto diam beberapa saat, mempertimbangkan. Irene mendesak, "Bisa kan, Yu? Kamu nggak keberatan, kan?"

Yuuto pun segera berkata, "Bagaimana besok saja! Aku akan menelepon ke rumah mu sebelum pukul empat sore kalau memang aku nggak ada kesibukan malamnya."

"Yaaah... jadi, kamu nggak bisa kasih keputusan secara pasti, Yu?" Irene tampak kecewa.

"Aku tidak mau mengecewakan kamu, Ir. Jadi, aku harus lihat siskon besok setelah lewat dari pukul 2 siang. Bisa nggak bisa ku hubungi deh!"

"Harus bisa, Yu!" sambil Irene menggenggam tangan Yuuto lebih kuat. "Aku percaya kamu tidak akan mengecewakan aku. Karena itu kamu pasti bisa! Pasti ada waktu untuk ku. Oke?"

Irene akhirnya pulang setelah jarum jam menunjuk pukul 9 malam. Baru saja ia masuk ke dalam mobilnya, tiba-tiba bulu kuduknya berdiri meremang. Ia mengusapnya sekilas, lalu melambaikan tangan kepada Yuuto. Mobil pun di jalankan dengan kecepatan sedang-sedang saja.

"Gila! Kenapa bulu kuduk ku jadi merinding terus sih? Ada apa, ya?" pikirnya sambil memutar-mutar stiran mobil. "Aneh. Sejak aku meninggalkan rumah Yuuto, aku jadi sering berdesir-desir. Tuh, sekarang malah deg-degan? Padahal nggak ada masalah apa-apa, kok aku jadi deg-degan, ya? Ah, mungkin aku terlalu bahagia karena bisa bertemu Yuuto. Atau, mungkin aku terlalu berharap bahwa esok malam aku akan datang ke pestanya Nana bersama Yuuto. Ih, belum tentu jadi sudah girang duluan. Aneh juga perasaan ku ini.... "

Mobil biru tua itu meluncur menembus kegelapan malam. Angin yang berhembus pada saat itu mulai kencang. Irene menyangka akan turun hujan. Tak jadi masalah kalau hanya hujan saja. Tapi, soal tengkuk kepalanya yang sejak tadi bergidik merinding itu yang membuatnya menjadi resah. Belum lagi di susul bau wangi-wangian yang aneh. Seperti bau kembang dan bau yang mirip kapur barus. Entah bau apa itu.

Untuk menghilangkan rasa takut yang mulai mengembang dalam hatinya, Irene menghidupkan musik. Ia memutar kaset lagu jazz kesukaannya. Ia mencoba ikut-ikutan menyanyikan lagu itu. Ternyata, rasa cemas dan resah tak bisa terusir. Bahkan ia masih sering merasakan bulu kuduknya yang meremang. Sekujur tubuhnya jadi merinding, dan jantungnya jadi berdebar-debar.

Waktu ia memandang kaca spion di atasnya, "Hahhh.....?!"

Irene nyaris kehilangan kontrol kemudi akibat sentakkan rasa kagetnya. Dari kaca spion itu ia melihat seorang perempuan duduk di jok belakangnya dengan tenang. Perempuan itu mengenakan gaun putih dan rambutnya terurai.

Tetapi, pada saat Irene menoleh ke belakang, perempuan itu tak ada. Jok belakang kosong, tanpa penumpang lain. Ketika memandang kaca spion lagi, sosok perempuan berwajah dingin itu kelihatan. Irene makin tegas melihat wajah perempuan itu lewat spion jika ada mobil yang berpapasan dengannya. Sorot lampu mobil yang menerpa wajah itulah yang membuat penglihatan Irene menjadi jelas.

Dengan jantung Irene menjadi makin cepat. Makin menghentak-hentak. Sebab, kini ia ingat, bahwa wajah yang di lihatnya dari kaca spion itu adalah wajah yang terpampang di papan-papan reklame pinggir jalan, dan iklan-iklan di majalah atau koran. Wajah itu tak lain dari wajah Yuki.

Dua kali Irene menegok ke belakang dan tetap tidak menemukan penumpang di belakangnya. Di mobil itu, menurut perasaannya, yang ada hanya dia sendiri. Tapi, mengapa melalui kaca spion ia bisa melihat penumpang lain selain dirinya?

Yang ketiga kalinya Irene menegok ke belakang, barulah ia terpekik kaget, karena wajah itu benar-benar ada. Yuki duduk dengan tenang di jok belakang. Matanya yang hampa itu memandangnya bagai tak berperasaan. Hal itu membuat Irene gemetaran, grogi dan keringat dinginnya mulai mengucur. Sebab, ia sempat melihat tangan Yuki menggenggam sebilah pisau tajam dan putih mengkilat. Pisau itu di genggam dan berada di atas pangkuannya.

Irene salah tingkah. Ia bingung harus berkata apa kepada penumpang aneh yang ada di belakangnya itu. Ia tetap membawa mobilnya dengan kecepatan tetap. Tapi, ia tak sadar bahwa saat itu ia telah masuk ke jalan tol yang lain arah, bukan menuju rumahnya, melainkan menuju luar kota.

***

Bersambung…

avataravatar
Next chapter