1 Ludwig Drossel

   Chadwick dan istrinya sedang mengepak koper-koper beludru ke bagasi mobil uap tua di pinggir bar sewarna kecubung layu. Ia menumpuk-numpuk benda itu supaya rapi, beringsut mengecek odometernya dan duduk di bangku kemudi.

   Istrinya, Libby Drossel mengulum senyum pada pemuda berkemeja lusuh yang satu kancingnya nyaris copot. Libby pergi ke sisi Ludwig, ia menepuk pundak tegapnya dan melipat kerah si laki-laki kamp konsentrasi.

"Ayo, sayang." Libby meyakinkan Ludwig agar ia menyikapi ini secara jernih.

  Ludwig memeluk dirinya, ia menyumpah-serapahi cuaca dingin semembekukan ini. Ia pelan-perlahan duduk tepat membelakangi Ayahnya, sedangkan Libby mengangkat panniernya dan menyamankan diri di samping Ludwig.

   Mobil itu bergerak menimbulkan asap. Ludwig tiada bosan memerhatikan jendela, meneliti apapun yang melalang buana. Ia memergoki banyak sekali mobil velo dengan roda padel hampir bengkok, toko-toko farthingel yang membalut pada boneka manekin tua, bar beretalase sumpek karena begitu banyak botol wiski dan kerumunan pejalan kaki. Itu menarik, Ludwig tidak menyangkal mobilitas Inggris akan secerah ini, rasanya Ludwig ingin mencatatnya pada diary.

"Apa yang kamu lihat, Ludwig?" Libby merekatkan mantel wolnya seolah ia butuh udara yang menghangatkan, lantas menoleh pada Ludwig.

   Ludwig menunduk gelisah. Atmosfer canggung menggantung merajai pikiran bercabangnya. "Tidak ada." Kata Ludwig menjawab. "aku suka kota."

"Kita hampir sampai." Chadwick mengumumkan. Ludwig semakin risih dan merasa tidak enak. "Nak, jangan gugup." Chadwick tertawa hambar.

   Ludwig mengintip jendela lagi. Gerbang pasak tembaga yang dipasang carang-carang berdiri kokoh memagari manor milik Chadwick Drossel. Mobilnya masuk, ada koloni pohon ek yang menelannya, dan mereka disambut oleh rumah bermuka setengah lingkaran berlapis-lapis berukir motif geometri rumit memekakan mata.

"Ya!" Chadwick turun. "kita disini."

    Ludwig berkedip-kedip mencerna, kemudian dengan ragu menginjakkan kakinya di rumput segar kehijau-hijauan. Ada gadis bersurai cokelat karamel yang mengenakan pannier seperti bunga tulip terbalik, ia menyunggingkan senyum sambil mendadah-dadah padanya.

   Segera, dayang-dayang membongkar mobil mereka dan mengatur koper milik Ludwig. Si gadis bergaun ungu maju mencubit gaun sepanjang mata kakinya, lalu membungkuk hormat.

"Selamat datang Ayah, Ibu," suaranya jernih. Ia memperlihatkan konde kecil di belakang kepalanya ketika menekuk punggung. "dan Kakak."

   Ludwig membalas senyum. Ia diajak masuk oleh Chadwick yang memimpin jalan. Mereka masuk ke manor, nyatanya lilin ada dimana-mana, lampu gantung logam menghiasi plafonnya, jam raksasa berdiri menjadi pusat perhatian, sofa-sofa merah mahal diletakkan pada tiap sudut aula.

"Ini rumahku. Ini rumahmu." Chadwick mendeklarasikan. Ia terkekeh-kekeh dan membanting diri ke sofa, lekas pelayan-pelayan mengerubungi pria berdialek Irlandia itu dan membantu melucuti pakaian musim saljunya. Therese pegi duduk di set sofa yang sama, ia menuang teko poci gemuk berakrilik perempuan di peternakan dan menyuguhi ayahnya secangkir teh Boston. Disini, Libby mengelus lembut kepala Ludwig, ia memandangnya teduh dan menyisikan diri ke kelokan lain pada altar.

   Pelayan perempuan setengah baya bernama Bethany menghampiri Ludwig dan menunjukkan dimana kabinnya. Ia dibawa pada kamar beraroma madu bersetelan coklat. Ketika masuk, ada rak buku lima tingkat menyambut. Ludwig menyipitkan matanya, itu buku-buku mengenai ilmu botani, bagaimana menjadi pebisnis sukses, buku matematika, dan trilogi novel dengan sampul menarik.

"Berkemas dan segera pergi ke meja makan pada pukul tujuh, Tuan." Si pelayan menginformasikan, wajahnya murung dan ia nampak kurus kering; itu menyebabkan persepsi buruk pada penilaian Ludwig.

  Ludwig merebahkan diri di ranjang berkelambu kelabunya. Ia memeluk bantal dan memanjakan diri dengan betapa menyenangkannya tidur secara layak. Ludwig kemudian mengguling-gulingkan badan, kakinya turun dan tubuhnya tertarik bangun. Bagus, ia akan menjelajahi kamar.

  Ia menemukan almari tua yang engselnya berderit minta pelumas ketika dibuka, gorden linen, karpet merah yang ia yakini dijahit oleh ibu tirinya. Dan oh, ada radio, surat-surat asuransi pada meja eboni tua, tinta serta-merta bulu sebagai piranti menulis, dan koleksi stempel ayahnya. Ia menyukai menjadi anak dengan orang tua yang menyayanginya, ia memiliki rumah, ayah, ibu, dan adik yang anggun.

   Pintu tiba-tiba diketuk, menguasai telinga Ludwig yang lumayan sibuk mengecek satu-persatu sekotak stempel milik Chadwick.

"Buka saja, tidak dikunci." Titahnya.

  Therese si gaun ungu memutar kenopnya dan menyapa Ludwig.

"Selamat datang." Ujarnya. Ia pergi ke perapian merapikan kayu bakar, lalu menyabet korek lalu menyalakan bara. Kelotak api sebunyi ranting-ranting patah mengisi pendengaran Ludwig.

"Terimakasih."

"Nama saya Therese Drossel." Ia menjelaskan. "secara teknis satu catur wulan lebih muda daripada Anda."

"Apa wajib seformal itu?" Ludwig menanyainya skeptis, memasang muka ingin tahu. "Ha ha!" Therese menyisikan sisi rambutnya ke belakang telinga. "tidak usah formal, keluarga tidak menuntut tata bahasa."

"Ayo Kak," Therese mengajak. "biarkan kamarnya menjadi hangat dan mari makan malam."

   Ludwig mengenali Therese sebagai perempuan blak-blakan yang mewarisi sifat ayahnya, cukup periang. Si lekaki Jerman lantas membuntuti Therese menuju meja makan. Di lorong, pelayan-pelayan berpakaian bartender memerhatikan mereka. Mereka memiliki kesamaan mengejutkan, yaitu pandangan dan mata parau. Tidak ada yang nampak senang, mereka seakan menanti bahaya dan mengantuk. Ludwig merasa tidak enak karena diperhatikan oleh bola mata yang saraf-sarafnya menyeruak itu, ia agak meletakkan waspada pada pasal ini. Therese sibuk mengabaikannya---mengabaikan respon pelayan-pelayan Drossel, hinggaLudwig berbisik.

"Mereka kenapa?" Katanya.

Ketika menginjak anak tangga, Therese memelankan lajunya. "Sejak awal sudah begitu, aku tidak tahu."

   Mencapai koridor yang menghubungkan dua bangunan, Ludwig tanpa sengaja menabrak satu diantara segolongan pelayan yang melintas menyungsung pakaian kotor. Keranjang milik wanita tua bertudung biarawati itu jatuh, ia nyaris membentur pilar. Ludwig panik, ia membantu si wanita tua menyeimbangkan kakinya dan minta maaf.

"Maaf." Ujarnya.

"Tidak, tidak, tidak." Balas si wanita tua. "tunggu, kamu anak baru?"

   Ekspresinya mengerikan. Dia gelisah dan takut, tangan berkeriput dengan kulit melipat-lipat membentuk pola kasar itu gemetaran hebat. Wajahnya yang berjerawat tiada kalah memilukan memerah seiring tangisnya pecah terurai.

"Jangan pergi!" Si wanita tua memohon. Pelayan lainnya sigap mencegah nenek itu yang berupaya menggelayut di kemeja Ludwig dan menjauhkannya spontan.

"Anaknya di eksekusi oleh Scotland Yard, tolong mengerti Tuan Drossel." Rekannya menjelaskan. Ludwig menatap ngeri si nenek yang meronta-ronta, menuntut, memberontak supaya di bebaskan. Therese menarik Ludwig pergi cepat-cepat seolah dikejar anjing liar yang memburu ikan hering.

"Nenek itu hendak menyakiti ayah. Tempo hari dia dipergoki menjadi gila dan memberontak dengan garpu makan." Therese sampai pada pintu besar. "aku merekomendasikannya di pecat, tapi ayah begitu murah hati untuk tetap mempekerjakannya dalam gaji penuh."

   Pada akhir kalimat Therese, Ludwig mendapati meja makan kaca serta seperangkat alat makannya yang serba kayu diletakkan apik dengan manner bangsawan. Ayahnya, Chadwick menoleh.

"Oh ini dia, putraku!" Serunya. "cepat, duduk dan makan."

    Therese duduk di kursi pinggir kanan menyebelahi ibunya. Ludwig menghela napas dan duduk dimana saja, tepatnya di dekat Chadwick pada kursi yang dibuat spesial.

   Mereka menyediakan sup dan daging. Tapi di dominasi roti. Pelayan datang mengirim botol anggur, mereka berdiri menempel ke tembok dan tidak meletakkan botolnya di meja makan, menunggu aba-aba Chadwick ketika ia siap mabuk-mabukkan.

"Selamat ma---" Ucap berucap Therese tidak diselesaikan karena ada suara lain yang menyahut.

"Chadwick Drossel kawanku!" Pria berjas rapi datang memeluk Chadwick. "oh sial, aku menginterupsi acara manis kalian."

   Pria itu mencurigakan. Dia terlihat keren mengenakan jas berdasarkan persepsi Ludwig, tapi tunggu, topi tingginya merusak gaya. Ludwig agak kecewa ia mempergunakan mode yang salah, tapi rasanya ia lebih mengecewakan karena muncul di tengah-tengah acara manisnya. Itu tidak sopan, Ludwig membencinya.

"Tidak begitu, Mr. Jones." Libby berdiri mempersilahkan punggung tangannya dicium hormat oleh si bapak-bapak. Jones menekuk lututnya mencium punggung tangannya, nampak gentle bagi Therese. Ludwig sekilas melirik Therese; ia tiba-tiba merasa terganggu dan memonyong-monyongkan bibir.

"Tentu saja tidak, Jones!" Chadwick menyahut. "katakan ada apa gerangan dan mari bergabung."

"Oh no," ia mengerutkan dahi. "beritanya tidak baik. Marquis ingin cepat mengabsen wajahmu, istrimu, dan dua anak manismu sekarang."

Muka Chadwick menjadi kusut. "atau apa?

"Dia mengancam akan bunuh diri." balas Mr. Jones datar. "MAKA DARI ITU CEPAT BERGEGAS!"[]

avataravatar
Next chapter