3 Bunker

Meja makan besar kayu cendana. Diatasnya ada lampu gantung berdudukan besi yang difungsikan supaya lilin-lilinnya dapat bertengger dengan cantik. Di tengah mejanya ada vas jumbo berisi buket bunga kaca piring segar yang direndam air keruh kekuning-kuningan. Pula, berjejer peralatan makan perunggu, teko antik berulik pegangan menawan dan berbagai botol wiski bekas perang dunia I. Mereka diimpor, dibuat khusus, dan di tuangkan dalam manner keluarga Drossel yang megah mewah.

Makan malam ini kelewat mewah.

Rufus duduk di kursi paling ujung, mengepalai acara makan. Ada empat pasangan menikah di meja ini, yaitu Ayah dan Ibu, Paman Wayne dan Bibi Madison---mereka kerap menyebutnya Madam Maddy, Paman Abraham dan istrinya Lottie si Bulgarian pendek kerempeng, Paman Nigel dan istrinya Abbigail---kami memanggilnya Lady Abby. Aku memperhatikan keempat pasangan itu, dan kesembilan anaknya termasuk aku dan Therese. Serta tentu saja, Rufus dan kedua anak adopsinya; Alastair dan Travis.

"Dimana Henriqueta?" Madam Maddy angkat bicara. "ya tuhan, anak itu!"

"Dia bilang padaku, Madam. Katanya hendak pergi ke Harley Farm menangani panen musim gugur. Sweet potato memang sedang dibudidayakan." Therese menyahut, seraya mengikat kain satin putih mengitari lehernya sebagai celemek makan. "Aku yakin Harley tua mengajaknya dinner di barn."

"Aku sudah memperingatnya, berka---berpuluh---beratus---beribu-ribu kali!" Madam Maddy meremas kepalan tangan itu, meremukkan udara di dalamnya. Postur gemuknya mengingatkanku pada gaya busana Ratu Marie Antoinette sebelum kepalanya di guillotine. Aku tidak menyukainya; pita suara wanita ini berlemak puluhan kilo ini membentuk tipe cempreng, dia sok baik, muka dua. Tiga malah. Aku memandangnya ogah-ogahan seraya membolak-balikkan garpu.

"Ouch! Anjing-anjing nakal, apa yang kalian perbuat pada renda gaunku?!" Keluh perempuan paling nyentrik yang menjaga penampilannya. Ia menguncir dua rambutnya sedikit, menyisakan sisanya terurai lembut hingga pantat. Ujung-ujung rambutnya bergelombang layaknya putih-beliung, mengadisionalkan betapa feminimnya si perempuan pirang. Ia menyukai warna putih, gaun-gaun mewah menawannya selalu dilingkupi mutiara dan perhiasan, didominasi putih elegan. Namanya Katahina Drossel, orang Inggris yang sensitif terhadap keringat dan mandi. Aku begitu mengagguminya sebagai adik yang dapat menjaga segala-galanya tetap tertib.

    Sekomplotan anjing bertulang tempurung bengkok menjilat-jilat ujung gaun Katahina dan berlari menggonggong menuju Rufus. Sial, bulu mereka rontok dimana mana, lihat saja lantainya!

"Jack, John, Jessie." Si tiga anjing beralih mejilati muka Rufus, Rufus mengelus bulu kutuan mereka sambil terkekeh-kekeh tidak jelas.

"Kakek, tempo hari mereka menggigit-gigit sepatu yang baru saja dikirim kemari." Katahina mengangkat kakinya, menujukkan sepatu pantofelnya yang bolong-bolong.

"Tiga mamalia darat itu memecahkan bola saljuku." Saudaraku yang lain, Alastair Drossel, mengangkat paperbag dan menumpahkan isinya; pecahan beling dan boneka salju tiruan yang sudah terkelupas lapisan flanelnya.

"Mereka pipis di ranjangku tadi." Sambung Milorad si anak paling muda.

"Mereka menyobek buku skripsi seri kelimaku. Padahal itu akan diikut-sertakan ke penerbit London." Saudaraku si tukang belajar, Arthur Drossel menyahut.

"Mereka mengacaukan proyek ilmiahku. Jika saja John menyenggol botol yang salah, asam sulfat akan menyulap kaki mereka menjadi tengkorak bulldog." Omel Nathaniel Drossel, Saudaraku si play boy yang menekuni anatomi dan farmasi. Dia senang sekali membaca jejak kasus jurnalis di koran.

"Mereka buang air besar di taplak. Madam Maddy mengiranya itu ulahku yang jahil meletakkan tanah basah." Osman, saudaraku yang paling rajin beribadah itu mengumumkan keluh-kesahnya.

Rufus kelimpungan.

"Ya tuhan." Ucap si Rufus jenggotan, ia mengelus kumisnya gundah gulana atas protes-protes cucu-cucunya.

Ting Ting Ting!

Kepala pelayan membenturkan kepala garpu berkali-kali pada cekungan gelas kaca, menandai makanan sudah matang siap saji. Gerombolan dayang menyungsung piring-piring kolosal berulik metal yang ditempa, berisi makanan beraroma rempah yang kental akan kecap, lada dan keju meleleh. Aku mencium bau lada yang menguar kemana-mana, aroma panggangan dan seledri di atas setiap daging-dagingan.

    Aku menoleh pada Therese ketika mereka menghidangkan. Therese hendak muntah, dia mual. Aku tahu, dia akan mengingat peristiwa bunker segampang itu jika menjumpai daging, merah menyemburkan minyak, dipanggang secara sirloin, pada pelupuk matanya. Dan jika benar salah satu anggota Drossel pelakunya, bisa saja mereka mengolah daging manusia supaya dapat di konsumsi.

    Therese batuk-batuk, ia berdiri dan berlari ke belakang.

"Dia kenapa?" Tanya Katahina.

"Biar kutebak," Madam Maddy menjawab cepat. "Keracunan jamur?"

"Bisa jadi." Balas Arthur.

  Milorad yang sama-sama tidak ingin sama sekali menyentuh daging memperhatikanku. Dia membuang muka, lalu mengaduh sakit.

"Aduh!" Seru Milorad. "Perutku, rasanya melilit!"

"Ada apa ini?" Libby meletakkan sendok dan garpunya menyilang tepat di serbet polkadot norak. "makan apa kau tadi?"

"Aku? Pergi ke toko kelontong. Aku makan permen karamel dan menjajani sisanya oat." Jawab Milorad. Ia memegani perut lagi. "Aku mau buang air. Sampai jumpa."

Tersisa aku yang mencurigai daging-daging di meja itu berupa manusia. Aku berdeham sekali.

  Satu pelayan hendak memotong daging sebentuk paha kalkun di piring. Ia membagi-bagikannya pada peserta dinner, termasuk padaku. Ketika si pelayan mengisi piring Alastair, si pria Inggris itu menolak.

"Tidak terima kasih." Ucap Alastair. "Kamu pelayan baru, ya?"

Si pelayan menjadi gugup. Ia meremas-remas apronnya dan mengangguk pasrah.

"Aku satu-satunya Vegetarian disini."

  

[]

   

   Aku memberanikan diri mengetuk pintu berbingkai bata berulik tanaman gooseberry itu. Aku merasa gugup, menelan ludahku tiada jemu-jemu. Kemudian, pintunya dibuka oleh si empu, menunjukkan wajah Alastair Drossel yang tirus tanpa sebiji pun jerawat.

  Alastair memerhatikanku menuntut kejelasan, dan kuakui eksresinya tidak bisa lebih melar daripada sekadar menyunggingkan senyum mengiyakan. Kupaksa bibirku bergerak membentuk senyum, dan memandangnya berani.

"Kamu bukan vegetarian kan," tanpa basa-basi, langsung pada inti, itu bukan gaya yang terpuji. Tapi aku menghemat tenaga.

"Mengapa sebegitunya peduli?" Jawabnya acuh tak acuh.

"Aku tidak punya alasan untuk mengatakan karena. Frontal saja, kamu menghindari daging manusia, ya kan?" Aku mengencangkan oktaf. Kurasa dia agak terkesiap dan merenung. Alastair membuka pintu lebih lebar, mempersilahkanku lewat. "Masuk." Perintahnya. Aku mengikuti titahnya dengan ragu.

   Kamarnya memiliki fasilitas balkon yang akan menyebabkan Therese iri sedengki-dengkinya, dan guci-guci tidak jelas yang mengapit tiap benda; contohnya ranjang berkelambu flanel, perapian, pintu menuju kamar mandi dan jam raksasa sejangkung tinggi badanku dikali dua. Aku mengaggumi bagaimana ia menata kamar, atau caranya menghijaukan sejumlah tanaman hias di balkon. Orang ini apik, dia bisa memiliki bakat memintal benang dengan mesin jahit di pabrik. Dan ya, tanpa sengaja, aku me-wow-kan elemen-elemen kamarnya.

 

    Ia mempersilahkanku duduk di kursi berkaki tiga. Dia tepat menghadap padaku, bertatap muka.

"Singkat saja," aku mengawalinya. "aku menjumpai bongkahan kepala di bunker. Ada peralatan jagal. Tulang-tulang berserakan, dagingnya sudah dipisah. Itu selayaknya hendak di konsumsi."

"Aku bisa menyimpulkannya; kamu idiot." Jawab Alastair cepat. Aku mengencangkan kepalan tangan, meremas udara di dalamnya agar melebur menjadi pelampiasan yang mendatangkan sedikit lega.

"Mengapa?" Kucoba, sekali lagi, menyabarkan diri.

"Bagaimana jika sudah kamu menjabarkan itu, dan sesudahnya kubilang begini; Maaf Ludwig, aku penjahatnya." Alastair mentertawaiku hambar seraya menyisir ke belakang rambut hitam lebatnya.

avataravatar