webnovel

Bagian 1 : Cupcake Boy

Aku tidak suka tempat ini tapi aku tidak punya pilihan lain. Ayah dan ibu menyakitiku dengan keegoisan mereka. Aku tahu mereka tidak lagi saling mencintai. Mereka juga bilang kalau mereka sudah tidak memiliki prinsip yang sama, prinsip macam apa yang mereka maksud? Berbeda prinsip itu alasan tolol kalau mereka sama-sama setuju untuk melaksanakan prinsip perceraian. Mereka bercerai dan mengatakan kepadaku sehari sebelum persidangan sementara mereka terlihat baik-baik saja dan aku merasa memiliki keluarga terhebat di dunia sedetik sebelumnya. Dunia ini benar-benar konyol. Orang tua itu umurnya saja yang tua tapi kelakuannya seperti anak-anak. Mereka bahkan tidak memikirkan akibat dari perceraian mereka. Mereka tidak memikirkanku yang selalu mereka katakan sebagai harta mereka yang paling berharga.

Karena orang tuaku juga, aku terpaksa tinggal bersama kakek dan nenek, kakek dan nenek dari ayah. Di tempat baru yang cukup asing bagiku meskipun aku sudah berkali-kali berkunjung setidaknya dua bulan sekali, tapi untuk tinggal itu urusan lain, rasanya aku gugup dan takut tapi aku harus berpura-pura bahwa segalanya lebih baik daripada aku harus memilih tinggal dengan salah satu dari ayah atau Ibu.

"Ini uangnya, kamu bisa beli gula pasirnya di toko di ujung jalan, kamu bisa beli cemilan atau coklat kalau kamu mau dengan uang kembaliannya"

Nenek memberiku selembar uang lima puluh ribuan, menyuruhku untuk membeli gula karena nenek ingin membuatkanku donat. Aku sudah bilang aku tidak suka donat, aku tidak suka yang manis-manis, aku tidak pernah mencicipi makanan yang selalu dibuat nenek setiap lebaran itu tapi nenek punya pandangan lain. Dia berpikir aku ketagihan donatnya.

"Sial!"

Umpatku, menendang sebutir kerikil menyebalkan yang menyambutku ketika aku baru saja menginjakkan kaki di jalan aspal depan rumah. Angin berhembus dan kutarik napas dalam-dalam sembari memejamkan mata, berusaha menikmati setiap udara baru di tempat baruku yang terasa lebih panas dan penuh polusi. Tempat ini akan menjadi rumah barukuku bersama kakek dan nenek, bukan lagi bersama ayah dan Ibu. Aku sudah bertekad. Kalau orang tuaku bisa bersikap egois maka aku juga bisa dan mereka harus tahu itu.

"Selamat siang cantik!'

Sapaan dari seseorang mencuri perhatianku, memaksaku untuk membuka mata dan mengarahkan pandangan pada sumber suara. Seorang wanita paruh baya baru saja keluar dari mobil bersama seorang pria paruh baya, sepasang suami istri yang tinggal tepat di samping rumah kakek dan nenek. Tante Anna dan Paman Hasan, kalau aku tidak salah namanya. Aku punya kemampuan buruk dalam mengingat nama orang jika tidak sering bertemu dengan mereka.

"Selamat siang,"

Sapaku balik dan kami tersenyum, Tante Anna berjalan menghampiriku semetara suaminya melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam rumah dengan langkah seribu. Terburu-buru.

"Wah sudah lama ya tidak ketemu, sekarang kamu sudah tambah besar Sonia,"

Cara bicaranya terlalu akrab, membuatku terkejut sekaligus bingung. Kami tidak pernah terlibat dalam percakapan berarti jadi melihat beliau bersikap akrab seperti sekarang sedikit membuatku canggung dan merasa aneh.

"Tante senang sekali waktu dengar kamu mau tinggal disini. Sejak kamu lahir dulu dan ibumu memberi namamu Sonia benar-benar cocok untukmu, kamu cantik dan sangat baik"

Aku sering dipuji baik karena aku suka menolong, bukannya sombong tapi orang-orang sering berkata begitu sebelum meminta bantuanku tapi aku tidak pernah mendapat kata cantik di belakang namaku. Maksudku, lihatlah diriku, pendek hanya satu setengah meter yang mungkin kudapat dengan penuh perjuangan saat pembagian tinggi badan oleh Tuhan. Kulitku gelap yang membuatku terlihat dekil, dan aku sama sekali tidak punya susunan wajah yang bisa dibilang cantik. Cantik sangat jauh dariku, baik dari standar orang lain maupun standar yang kubuat sendiri. Jadi mungkin Tante Anna punya standarnya sendiri soal kecantikan atau dia hanya berbasa-basi saja. Mungkin juga dia kasihan kepadaku.

"Tante ingat sekali dulu waktu ibu dan ayahmu menikah, dan ibumu sama cantiknya denganmu,"

Baiklah kali ini aku menduga Tante Anna sedang mengejekku, karena seluruh orang yang pernah bertemu dengan kami selalu mengira aku bukan anak ibu. Ibuku cantik sekali, meskipun badannya kecil dan berkulit gelap sepertiku tapi ibu punya mata yang bulat dan indah, hidungnya mancung sempurna dan bibirnya tipis, ibuku sangat cantik dengan rambut panjangnya sementara aku sengaja memotong pendek rambutku sebahu karena rambutku membuatku semakin terlihat kusut kalau dia kubiarkan memanjang. Mataku juga

"Tante sedih sekali mendengar tentang orang tuamu, kakek dan nenekmu juga sedih ketika menceritakannya. Kamu yang sabar ya, semoga kamu betah tinggal disini. Berapa lama mau tinggal disini?"

"Belum tahu,"

Aku belum merencanakan apapun termasuk cara menghadapi Tante Anna yang banyak bicara seperti ini.

"Oh, ngomong-ngomong kamu mau pergi kemana?"

"Saya mau belanja,"

"Oh, maaf sudah menahanmu. Hati-hati di jalan ya Sonia cantik,"

Dia memanggilku cantik lagi kemudian berlalu, melenggang memasuki halaman rumahnya yang dipenuhi dengan bunga-bunga yang mulai bermekaran. Aku memperhatikannya sebentar lalu berjalan menyusuri jalan aspal sebelum Tante Anna lenyap di balik pintu rumahnya yang bercat putih bersih.

Nenek bilang tokonya dekat sekali. Berjalan dari rumah ke toko bolak-balik lima belas kali tidak akan membuat kakiku berotot tapi ternyata ukuran jarak jauh dan dekat antara aku dan nenek jauh berbeda. Aku benci ini, aku harus berjalan selama hampir lima belas menit untuk sampai di toko yang dimaksud nenek.

Bangunan mungil ukuran tiga kali empat dengan dinding bercat merah tua di ujung jalan, tepat di tikungan. Sebuah papan di pasang di atas pintunya bertuliskan Toko Marun. Dari balik dinding kacanya aku mampu melihat etalase-etalase berjajar rapi membentuk tiga barisan dengan sebuah meja kasir yang dijaga oleh seorang nenek-nenek, iya, nenek-nenek yang sudah tua seperti nenekku tapi terlihat lebih sehat dan lebih muda dengan rambutnya yang tergulung ke atas dan baju putih motif bunga-bunganya. Dunia ini sudah gila dengan memperkerjakan seorang nenek untuk menjaga toko sendirian.

"Selamat datang manis,"

Oke, dunia benar-benar gila. Dari siapa nenek ini belajar untuk memanggil pelanggannya dengan cara seperti itu?

"Ada yang bisa saya bantu?"

Tanya nenek itu, aku terkejut mendengarnya, dengan canggung aku melangkah mendekati nenek yang berdiri di belakang meja kasir, yang berupa etalase dipenuhi cupcake warna-warni, membuatku bahagia melihatnya tapi tidak membuatku tertarik untuk mencicipinya.

"Cupcake disana enak, kamu harus membelinya, beli ya, tiga nanti satu-satu," Aku ingat omongan nenek ketika memberiku uang, menyuruhku untuk jajan selain membeli gula. Aku tidak suka manis, aku tidak suka kue, roti dan semacamnya termasuk cupcake, tapi aku tahu benar kalau nenek tidak akan membiarkanku tidak menurutinya, nenek akan mengomeliku tanpa henti.

"Mau cupcake?"

Tanya nenek penjaga toko yang tersenyum ramah kepadaku seolah-olah dia diciptakan untuk tersenyum kepada dunia.

"Saya mau memilih rasanya dulu, saya juga mau beli gula," akhirnya aku mengingat tujuan utamaku "Satu kilo gula, gula di sebelah mana?" menyapukan pandangan pada deretan rak aku tidak bisa melihat gula secara langsung, belum langsung menemukannya.

"Oh kamu pasti baru disini, biar kuambilkan gulanya, kamu pilih cupcake yang kamu sukai," Nenek penjaga toko berjalan keluar dari balik meja kasirnya, lebih cepat daripada yang kuduga padahal aku ingin mengatakan bahwa aku bisa mencarinya sendiri. Maksudku, diakan sudah tua. Tapi aku menurut saja, menyapukan pandangan ke cupcake sementara nenek penjaga toko kembali bertanya apa aku baru disini. Pertanyaan yang belum kujawab tadi.

"Iya saya baru disini, tinggal di dekat lapangan futsal," rumah kakek dan nenekku tepat di belakang lapangan futsal tapi kurasa aku tidak perlu memberinya informasi serinci itu. Nenek penjaga toko muncul lagi setelah dia menghilang di sudut toko, membungkuk disana.

"Oh, semoga betah disini ya. Tempat ini selalu membuat orang-orang nyaman dulu lima puluh tahun yang lalu awalnya saya pikir saya tidak akan betah disini tapi orang-orang disini menyenangkan, lingkungannya juga membuat betah,"

"Oh iya," aku mengiyakan saja kemudian melihat lagi ke etalase, seharusnya nenek tadi memberitahuku cupcake jenis apa yang beliau sukai jadi aku tidak perlu pusing membeli cupcake yang mana.

"Cupcake coklat yang paling laris disini, sisa dua kalau kamu beli kamu pasti beruntung sekali,"

Nenek penjaga toko tersenyum, jadi aku ikut tersenyum. Penjual memang pandai berkata-kata.

"Ini cupcake favorit di sini, yang membuat rumahnya juga dekat tempat futsal. Ngomong-ngomong namamu siapa?"

Aku tidak pernah tahu kalau berbelanja satu kilo gram gula akan membuatku bertukar informasi sebanyak ini.

"Selamat sore nenek,"

Seseorang membuka pintu dan mencuri perhatianku yang langsung mengalihkan pandangan mata kepadanya.

Cowok ini seperti magnet berjalan yang membuat siapapun akan terus melihatnya, bahkan tanpa berkedip sejak pertama melihatnya dan itu yang sedang kulakukan sekarang. Dia tinggi, aku mungkin hanya sampai di ketiaknya, berbadan bagus, berlesung pipi, mata bulat besarnya bercahaya dan rambut berombak sedikit gondrongnya hingga nyaris menutupi telinga membuatnya semakin terlihat menarik. Dia memakai kaos lengan pendek warna hitam dan celana jeans ketat yang lututnya berlubang. Aku suka gaya cowok ini.

"Hazza, kamu terlambat tiga puluh menit, nenek seharusnya sudah pulang sejak tadi," Nenek itu beralih dari melihatku kepada cowok itu, namanya Hazza. Nama yang menarik seperti orangnya. Mungkin dia cucunya nenek.

"Maaf, baru selesai membuat cupcake baru, kata nenek stok coklat habis,"

Hazza mengangkat kotak plastik di tangannya yang baru saja kulihat, tadi aku hanya fokus pada dirinya. Iya, hanya dirinya. Jadi dia yang membuat kuenya, tapi dia tidak terlihat seperti pembuat kue. Dia terlihat seperti cowok yang dikejar-kejar gadis di sekolah tapi dia tidak mempedulikan siapapun. Tahukan, seperti cowok-cowok di FTV. Dia berderap menuju meja kasir, menggeser nenek pelan-pelan dengan memegang bahunya kemudian menyuruhnya untuk duduk di kursi di sudut belakang meja kasir.

"Ini saja yang dibeli kak?"

Dia memanggilku kak? Apa aku terlihat lebih tua? Kupikir kami seumuran. Seharusnya dia memanggil namaku saja, Sonia. Kemudian aku ingin mengutuk diriku sendiri, dia kan belum tahu namaku. Tapi sikap ramahnya, aku menyukainya.

"Cupcake coklat yang terbaik disini," dia tersenyum kemudian memasukkan dua cupcake ku ke dalam kotak kertas sebelum memasukkannya ke dalam kantong plastik dengan hati-hati bersama dengan satu kilogram gulaku. Sepertinya aku akan suka kalau nenek menyuruhku untuk membeli apapun lagi ke toko ini. Perjalanan jauh tidak akan berarti kalau aku bisa bisa melihat senyuman Hazza, penjaga toko yang ramah dan menyenangkan. Tempat ini rasanya tidak terlalu buruk, pindah kesini ada baiknya juga. Aku jarang menemukan cowok tampan yang ramah seperti Hazza. Jujur saja, lidahku sudah gatal untuk memperkenalkan namaku kepadanya. Oke, aku sudah gila.

***

"Kalau tidak suka, seharusnya kamu tidak usah beli, Sonia. Beli saja makanan yang kamu suka,"

Nenek mengomel, dia meletakkan piring di depanku untuk makan malam. Nenek mengomel karena aku pulang dengan membawa dua buah cupcake coklat yang sama sekali tidak kusentuh karena aku memang tidak suka cupcake.

"Maaf tapi kan tadi nenek yang memintaku untuk beli, Sonia pikir nenek suka jadi aku membelinya."

Akukan hanya melakukan apa yang nenek suruh, kenapa jadi aku yang kena marah, seharusnya nenek memarahi dirinya sendiri.

"Ah!" nenek mengibaskan tangannya lalu duduk di samping kakek yang sudah mulai memakan sop ayamnya. Sop ayam buatan nenek paling enak menurutku tapi sekarang jadi sedikit berbeda karena aku makan sambil dimarahi. "Kamu itu jangan suka banyak alasan seperti ayahmu, kalau orang tua bicara itu didengarkan saja. Sudah, nanti kamu antarkan saja ke tetangga kita, bilang kamu ingin menjadi tetangga yang baik, berkenalan"

"Tapi,"

Aku ingin membantah namun nenek memelototiku, dan kakek pun menyela.

"Sudah, tidak ada salahnya berkunjung ke tetangga, kamu kan tinggal disini, harus mengenal orang-orang disini. Nanti sambil mengantar sop ayam juga sekalian karena cupcake-nya hanya ada dua kurang banyak,"

Memang tidak ada salahnya berkenalan dengan tetangga, tapi tetangga sebelah tadi terlalu nyentrik buatku. Tante Anna orang yang terlalu bersemangat. Lagipula rasanya tidak baik sekali memberikan makanan kepada orang lain karena kita tidak menyukainya. Rasanya seperti memberikan sampah meskipun cupcake ini bukan sampah sama sekali.

Membantah nenek dan kakek sama sekali tidak ada gunanya. Ketidakbergunaan itu membawaku berdiri di depan pintu rumah tetanggaku, Tante Anna. Sebuah kotak berisi cupcake yang kubeli tadi dari toko kue dan semangkuk sop ayam yang masih panas kubawa dengan sebuah nampan di tanganku. Aku hendak mengetuk tapi tanganku penuh jadi aku mengucapkan salam beberapa kali, aku sudah berniat untuk pulang saja karena pintu tak kunjung dibuka tapi akhirnya ada suara dari dalam. Aku mendengar langkah kaki jadi aku langsung menyiapkan senyuman terbaik karena Tante Anna suka tersenyum. Sejenak aku memiringkan tubuhku untuk bercermin pada kaca jendela yang tertutup tirainya, rambut sebahuku sudah rapi dan senyumanku sudah sempurna tapi tetap saja aku tidak terlihat cantik.

Meskipun aku jauh dari cantik apalagi sempurna tapi aku mendapati sesuatu yang sempurna ketika pintu di hadapanku terbuka. Dia bermata jernih, berhidung mancung, tulang pipi dan garis wajah sempurna. Aku berani bersumpah rambut sedikit panjangnya yang diikat di puncak kepala membuatnya semakin memikat, alih-alih kekanakan-kanakan. Aku menatapnya padahal aku ingin menunduk, aku ingin terlihat malu-malu tapi tindakanku justru terkesan memalukan bahkan untuk diriku sendiri. apalagi setelah melihat bagaimana Hazza menatapku dengan cara aneh, dia tidak tersenyum seperti saat di toko

"Siapa yang datang Hazzabear? Kenapa tidak disuruh masuk?"

Syukurlah seseorang orang datang.

"Sonia!"

Seseorang yang kukenal dengan nama Tante Anna muncul dari balik punggung Hazza dan langsung menghampiriku. Aku tidak tahu kenapa ibu satu ini begitu bahagia hanya karena melihatku sementara aku terkejut melihat Hazza.

"Selamat malam Tante Anna,"

Aku berusaha bersikap manis, yang sama sekali bukan diriku karena banyak orang yang mengenalku mengatakan bahwa diriku orang dengan permasalahan sosial yang cukup tinggi karena mulutku suka terbuka dengan seenaknya sendiri ketika bercanda kecuali dengan orang-orang yang baru kukenal dan itulah yang sedang kulakukan sekarang. Apalagi Tante Anna ini ibunya Hazza yang sangat tampan dan menarik. Dia memikat, seperti punya kharisma tersendiri.

"Wah, ayo masuk, kenapa repot-repot kesini?" dia meraih tanganku kemudian menarikku masuk ke dalam rumahnya melewati Hazza yang mengikuti kami di belakang dengan bermalas-malasan. Tante Anna mendudukkanku di sofa hijau di ruang tamu rumahnya sementara Hazza masuk ke ruang tengah yang berada di sisi ruang tamu, menonton televisi yang sedang menayangkan pertandingan sepak bola. Dia terlihat fokus.

"Oh, dia putraku satu-satunya, Hazza kemarilah, kalian belum pernah bertemu dulu. Hazza ini pemalu sekali, dia tidak pernah keluar rumah saat kecil sekarang saat sudah besar malah bermain terus"

Sial! Aku tidak tahu kalau aku sudah memperhatikan Hazza terlalu lama. Aku jadi menyesal duduk disini, seharusnya aku langsung pulang saja tadi. Aku senang bisa bertemu dengan Hazza tapi memalukan sekali kalau sampai ketahuan memperhatikan begini. Aku tidak menyangka kalau aku punya tetangga seperti Hazza. Setiap kali aku pergi ke rumah nenek, aku tidak pernah melihat anak seumuranku, aku tidak pernah melihat Hazza seolah-olah dia selama ini disembunyikan oleh keluarganya karena dia terlalu tampan dan menarik.

"Hazza, sini! Kamu temani Sonia dulu. Tante buatkan minum dulu ya,"

"Ehm Tante" aku berdiri, minuman akan membuatku terlalu lama disini dan pasti tidak nyaman sekali, "Nenek memberikan ini untuk Anda," kuserahkan semangkuk besar sop buatan nenek dan sekotak cupcake yang kubeli dari toko, oh tidak! Bukankah Hazza bekerja di toko dan dia yang membawa stok cupcake? Apa Tante Anna yang membuatnya? Ini akan sangat memalukan. Aku baru saja berniat untuk menyembunyikan sekotak cupcake itu tapi Tante Anna telah terlebih dahulu meraihnya. Benda itu sudah berpindah tangan dan aku tidak mungkin memintanya lagi. bagaimana ini? Aku membuat kesan yang buruk, tentu saja, membuatku terlihat bodoh nantinya.

"Wah jadi merepotkan. Hazza coba lihat Sonia membawakan sop ayam buatan Nenek Ratih favoritmu," Tante Anna berseru lagi pada Hazza yang sepertinya tidak tertarik sama sekali pada kedatanganku. Aku malu sekali bisakah sesuatu terjadi dan bisa membuatku pulang ke rumah sekarang bersama kotak cupcake yang sedang dibuka Tante Anna di depan mataku. Kenapa sih dia harus melakukan semua hal sekarang?

"Wah ada cupcake juga," serunya bahagia namun kemudian ada ekspresi aneh di wajahnya, oke baiklah, oke baiklah, aku ingin mengubur diriku sendiri sekarang. Aku ingin bersembunyi, "cupcake-nya terlihat seperti buatannya Hazza untuk dititipkan di toko nenek,"

Bisakah badai salju atau semacamnya datang sekarang? Aku ingin meringkuk di bawah ranjang, aku malu sekali, kulirik Hazza yang menatapku sinis, aku berani bersumpah jika tatapan mengandung racun, mulutku pasti sudah berbusa sekarang.

"Apa kamu mau sekolah disini juga Sonia?"

Aku tidak tahu aku yang terlalu lamban atau Tante Anna yang terlalu cepat, aku tidak melihatnya pergi tapi dia sudah kembali dan membawakanku segelas teh hangat. Mataku masih melirik Hazza, dia sudah fokus lagi ke televisi, pelan-pelan aku jadi bingung karena dia tadi di toko ramah sekali dan terlihat seperti cowok yang menyenangkan tapi kenapa dia jadi dingin sekali sekarang. Apa dia berkepribadian ganda?

"Iya, saya di Tunas Bangsa,"

"Oh kamu satu sekolah dengan Hazza dong" mata Tante Anna berbinar, diam-diam aku melirik Hazza lagi, sekarang dia tiduran di sofa, tangannya sibuk memeluk setoples kacang bawang yang dia makan dengan sebelah tangan yang lain. Kenapa sikapnya seperti ini sih? Padahal ibunya ramah sekali dan sudah memanggilnya berulang kali supaya dia ikut menyambutku yang sebenarnya mau pulang juga karena aku masih malu bukan main karena cupcake buatan Hazza yang kubeli untuk kuantar lagi ke rumah pembuatnya.

"Hazza, kamu besok berangkat bareng sama Sonia ya, kalian bisa jalan kaki bersama. Sekolahnya dekat kok," Tante Anna terlihat bersemangat sementara Hazza justru berdiri untuk naik ke lantai dua, melewati tangga di sisi sofa yang dia duduki.

***

Hazza ini benar-benar menyebalkan. Aku sama sekali tidak pernah bermimpi apalagi berharap bisa bertemu dengan makhluk jenis ini. Dia ini tidak punya sopan santun dan tidak memahami apa yang disebut dengan menghargai orang lain. Bayangkan saja, aku sudah menunggu di depan rumahnya untuk berangkat ke sekolah bersama seperti yang dikatakan oleh ibunya tapi dia justru dijemput oleh temannya yang berambut keriting, naik motor. Menyebalkannya lagi, dia tidak menyapaku bahkan mengabaikanku yang sudah menyapanya. Dasar anak setan!

Akhinya aku berangkat sendiri, berjalan ke sekolah baru yang jaraknya kurang dari dua kilo meter yang jujur saja membuatku lelah. Ini semua salah Hazza. Aku sudah berimajinasi hari pertama sekolahku akan menyenangkan. Semalaman aku membayangkan berjalan bersama Hazza dan menjadi pusat perhatian tapi hasilnya justru seperti ini, aku lelah karena berjalan dan kekesalan dalam hatiku sama sekali tidak membantu.

Kimia, Bahasa Inggris, Sejarah, musik dan Agama. Kubaca ulang jadwalku hari ini yang baru saja kudapatkan dari bagian kurikulum. Petugas disana memberitahukan dimana kelasku dan berjanji akan mengantarku ke kelas. Beliau juga memberikan setumpuk buku kepadaku yang bisa kusimpan di dalam loker nanti di kelas XI IPS 6 yang terletak di ujung koridor lantai dua.

"Selamat pagi Pak Dodi!"

Seseorang menyapa Pak Dodi dengan terlalu bersemangat, yang kumaksud dengan terlalu bersemangat adalah benar-benar bersemangat. Saat aku menoleh ke belakang, kutemukan seorang cowok tinggi kurus dan berkulit putih bersih dan menggunakan gelang-gelang tali di tangan kanannya,dia muncul dari arah toilet. Berlari seperti orang kesetanan untuk menghampiri aku dan Pak Dodi yang hanya bisa menarik napas panjang.

"Suatu hari nanti kamu pasti akan terjatuh karena terlalu sering berlari di koridor," kata Dodi ketika cowok itu sampai di depan kami, dia tersenyum menunjukkan deretan gigi kelincinya.

"Ini siswa baru ya pak? Namanya siapa? Katanya masuk kelas saya, biar saya saja yang antar pak, kan sekalian saya masuk ke kelas. Jadi Pak Dodi tidak perlu repot-repot.

"Kamu yakin?"

Tanya Pak Dodi ragu, aku juga ragu, cowok ini terlalu aneh.

"Oke kalau begitu kalian langsung saja ke kelas," dan Pak Dodi langsung meninggalkan kami, meninggalkanku sendirian dengan cowok yang tersenyum kepadaku seperti bocah berumur lima tahun.

"Ehem," dia berdehem sekali kemudian menegakkan punggung. "Oke, aku Kukuh," dia mengulurkan tangannya tapi tanganku penuh dengan buku-buku jadi aku tidak bisa menjabat tangannya.

"Sonia," jawabku ragu, aku punya perasaan tak nyaman ketika menyebutkan namaku, seakan-akan seharusnya kami tidak saling berkenalan.

"Kamu siswa baru ya?"

Tentu saja aku siswa baru. Bukankah dia tadi sudah tahu jadi kenapa harus bertanya lagi sih? Aku ingin menjawab begitu tapi aku tidak mengatakan apapun karena Kukuh terlebih dahulu meraih buku-buku di tanganku kemudian kami melangkah bersama.

"Aku paling senang punya teman baru, kamu terlihat menyenangkan. Asalmu darimana,"

Aku baru saja mau membuka mulut tapi dia sudah berbicara lagi, menanyakan sejak kapan aku pindah dan pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak bisa kuingat sampai akhirnya kami tiba di depan ruang kelas kami yang pintunya terbuka. Kukuh mengetuk pintunya dan semua orang dalam ruangan langsung melihatku, membuatku tak nyaman karena beberapa orang kutemukan sedang berbisik-bisik bahkan hingga saat aku memperkenalkan diri. Selama aku menyebutkan namaku, aku menyapukan pandangan ke dalam kelas dan sialnya, aku satu kelas dengan Hazza yang sekarang duduk di bangku di sudut paling belakang, dia menunduk berpura-pura menulis sesuatu di bukunya.

"Halo Sonia cantik," Kukuh melambaikan tangan kepadaku ketika aku berjalan menuju kursi kosong di sisinya. Jumlah siswa di kelas ini ganjil dan aku tidak terkejut kalau Kukuh ini duduk sendirian tapi jujur saja aku merasa kasian kepadanya walaupun aku juga tidak nyaman harus duduk di sampingnya. Bukannya aku tidak suka hanya saja dia terlalu banyak bicara.

***

Next chapter