7 Bagian 6 - Fight

"Dasar brengsek!" geramnya seraya memegang dadanya yang terasa sakit akibat tendangan dari Davy.

Ruxe bangun dan berdiri tegap, ia tak mau kalah. Kepalan tangannya mengerat tanda bahwa ia siap menyerang. Jauh dari sana Davy pun melakukan hal yang sama. Davy juga siap menyerang dan menghabisinya.

Kuku yang runcing, Ruxe kenakan untuk melukai wajah Davy tepat di bagian pipi kirinya. Lalu, Ruxe mengangkat kakinya menendang wajah Davy dengan kuat.

"Aaarrrggh!" erangnya ketika saja tubuhnya merasakan sakit yang teramat sangat menjalar di seluruh tubuhnya, "Ugh...ku rasa sepertinya tulang ku benar-benar hancur berkeping-keping," batinnya yang mulai berkecamuk.

********

"Ah maaf Nona sepertinya aku sudah terlalu lama disini dan sebentar lagi Tuan Ruxe juga akan datang ke sini. Saya permisi," ucap pelayan itu seraya membungkuk hormat.

Ileana pun membalas penghormatan itu hanya dengan sebuah anggukan kecil dan senyuman simpul yang ia berikan. Pelayan itu membalas senyumannya lalu membuka pintu berniat mengeluarkan dirinya sendiri dalam kamar itu.

********

"Masuk," sahut Nicholas sambil menahan emosinya.

"Maaf atas keterlambatan saya, Yang Mulia Nicholas," hormat Lesta dengan formal.

Nicholas melihat ke arahnya dengan tatapan sinisnya pada Lesta, karena sifat tangan kanannya yang menjengkelkan itu. Sebal... Nicholas langsung saja memalingkan pandangannya ke arah lain, jengah untuk menatap wanita satu ini apalagi hanya sekedar untuk meliriknya.

"Ada perlu apa Yang Mulia memanggil saya kemari?"

"Aku memerlukan mu untuk mencari apa yang aku cari selama ini, kau mengerti!?" perintahnya.

Lesta menempelkan tangannya ke dada dan sedikit menundukkan kepalanya, "Baik saya mengerti, Yang Mulia," jawabnya dengan penuh penghormatan.

Lalu, Lesta pun menghilang di antara 4 demon yang ada di dalamnya. Ia melesat pergi keluar dari ruang kerja Nicholas dan raganya telah menyatu dengan hembusan angin yang cukup kencang.

********

Di bibir pintu memperlihatkan seorang pria dengan seringai yang menakutkan dan menurut Ileana itu mengerikan. Perlahan ia mendekat, berjalan dengan santai mendekat ke arah ranjang. Kemudian, ia tersenyum miring melihat wanita yang sedari tadi menatapnya dengan intens.

"Ada apa?" tanyanya bingung seraya membelai lembut pipi wanita itu lalu beralih ke rambut pirang wanitanya.

"Ruxe..." gumamnya yang menatap dalam manik mata Ruxe yang telah kembali ke warna asalnya -- hitam.

"Apa ini kau?"

"Iya, Ileana. Ini aku...apa kau lupa?"

Ileana menggelengkan kepalanya cepat pertanda ia menolak pernyataan tersebut, "Tidak, tidak, tidak. Aku ingat semuanya," balasnya sedikit gugup.

Seraya duduk di tepian ranjang dan tepat di sebelah Ileana, Ruxe mengambil mangkuk yang ada di meja, "Kenapa belum dimakan siup-nya? Mumpung masih hangat."

"Aku tidak nafsu makan," balasnya.

"Makanlah! Atau kau akan sangat sakit nanti," perintahnya.

"Sekarang buka mulutmu!"

"Sudah ku bilang aku sedang tidak nafsu makan dan aku juga tidak lapar," jelasnya lagi.

"Kau harus makan!" tegasnya seraya membuka paksa mulut Ileana, lalu menyendokkan soup masuk ke dalam mulut wanita itu.

Dengan rada terpaksa Ileana mengunyah makanan yang berada dalam mulutnya sampai habis. Lalu ia kembali teringat kata-kata neneknya saat berada di dunia manusia, "Entahlah. Jika hal itu terjadi, maka nenek yakin ada seorang pangeran tampan yang akan menolongmu nantinya."

Saat Ruxe akan melanjutkan aktivitas sudah lebih dahulu tangan Ruxe dipegang oleh Ileana, hingga Ruxe menatap bingung wanita yang berada di hadapannya.

"Aku bisa sendiri," ujar Ileana tiba-tiba.

"Baiklah," respon Ruxe kemudian, membiarkan Ileana mengambil alih sendok dan mangkuk yang berisi soup, sedangkan Ileana melahap makanannya sendiri tanpa menyadari tatapan Ruxe.

********

Di ruang singgasananya Raja Vennosa mondar-mandir tak jelas, Ratu Elizabeth yang melihatnya pun ikut heran walau sedikit risih melihat hal tersebut. Dengan memijat kepalanya yang sedikit pusing, lalu menghempaskan dirinya ke kursi singgasana. Ratu Elizabeth pun melihatnya dengan tatapan bertanya-tanya pada suaminya sendiri.

"Apa yang sedang kau pikirkan sebenarnya, Venn?" tanya Ratu Elizabeth.

Kini hanya ada Raja Vennosa dan Ratu Elizabeth di ruang singgasana, karena hari sudah mulai larut malam dan tidak ada pelayan ataupun penghuni lainnya yang berkelayap ke sana kemari kecuali para prajurit penjaga.

"Aku benar-benar tidak tau apa yang ada dipikiran bocah itu," ungkap Raja Vennosa.

"Maksudmu putra kita?"

"Ya...siapa lagi kalau bukan dia."

Gubrak!

Suara itu mengagetkan mereka berdua. Raja Vennosa dan Ratu Elizabeth menoleh pada sumber suara dan segera terkejut ketika melihat seseorang yang telah dipenuhi banyak luka parah di sekujur tubuhnya.

"Hei, ada apa denganmu kau baik-baik saja kan?"

"Aku baik-baik saja..." balasnya dengan napasnya yang sedikit tercekat.

"Siapa yang telah berani melakukan ini padamu?" tanya Ratu Elizabeth panik.

"Mmm...mmm..." ia tergagap untuk menjawabnya.

"Sudahlah, lupakan yang tadi," timpal Raja Vennosa menghentikan segalanya, "Sekarang pertanyaan ku adalah.....ada tujuan apa kau hingga datang kemari?" sambungnya disertai tatapan dingin dan datar itu.

"Maaf atas kelancangan saya, Yang Mulia. Saya datang kemari hanya ingin memberi laporan, bahwa..."

********

"APA!" serunya sebagai respon setelah mendengar laporan dari orang tersebut.

"Manusia kau bilang!? Grrr...sialan anak itu selalu saja membuat masalah," geramnya seraya mengepalkan tangannya erat lalu menghentakkannya ke tembok hingga membuat benda mati itu retak seketika.

"Apa dia tidak tau....membawa manusia ke kastil sama saja bunuh diri. Manusia itu juga akan menimbulkan konflik besar," tambahnya dengan iris mata yang kini berubah menjadi merah darah.

"Ini ancaman besar," timpal Ratu Elizabeth.

********

Beberapa jam pulang dari pasar kini telah menunjukkan pukul 00.30. Dua orang wanita sedang tiduran di atas satu kasur yang sama. Bola matanya menatap lurus atap ruangan dengan pikiran kosongnya. Hanya lampu yang mereka temui di sana sebagai penerang satu-satunya ruangan tersebut.

"Bagaimana dengan keadaannya sekarang? Apa dia baik-baik saja? Di mana anak itu sekarang?" gumamnya dengan menunjukkan wajah kusutnya.

"Mungkin..." timpal wanita di sebelahnya.

"Mungkin? Huh..."

"Kenapa kau terlalu mengkhawatirkannya?"

"Nerly, apa kau tidak tau? Ileana itu sahabat kita dan... persahabatan kita tidak ada artinya tanpa kehadiran Ileana. Besok aku harus mencarinya, kita juga harus konsultasi pada Pak Yose."

"Apa? Kenapa dia sangat ambisius sekali apa gunanya juga bocah yang hilang itu, tanpa Ileana aku jadi bisa dengan mudah mendekati pria itu. Wanita itu selalu saja merusak rencana ku saat aku ingin mendekatinya. Dan semoga saja dia menghilang selamanya dari muka bumi ini," batinnya lalu menyunggingkan sebelah sudut bibirnya dan merasa senang.

"Hei, kenapa sekarang kau melamun... kau juga merasakan hal yang sama sepertiku kan?" Nerly mengangguk ragu pernyataan itu.

"Mengkhawatirkan Sane..."

"Hah?"

"Ah, tidak...maksudku mengkhawatirkan Ileana...iya...itu maksudnya," sahutnya gugup.

"Ooh...ku kira kau --"

"-- sudahlah, Weera...lebih baik kita beristirahat, baru besok kita bisa mencari Ileana," potong Nerly, setelah itu menutup matanya yang memulai masuk ke dalam alam mimpinya.

"Kau tidak merasakan apapun dariku kan...?"

"Kau curiga padaku, Weera..."

"Tidak juga," sahut Weera disusul matanya yang mulai terpejam lalu menyelimuti dirinya dengan selimut tebal dan hangat yang berwarna putih.

********

Masih di dalam kamar, terus saja Ruxe memperhatikan Ileana yang sedari tadi makan di hadapannya. Ileana yang merasa tidak nyaman dibuatnya, langsung saja beralih dengan memandang Ruxe dengan tatapan tak suka.

Ruxe yang melihatnya hal ini pun menjadi terkekeh, "Ada apa?" responnya.

"Kau telah membuatku tidak nyaman, Ruxe," ungkap Ileana.

"Hanya itu...bukan yang lain?" dan di jawab oleh Ileana dengan disertai anggukan.

Kata-kata neneknya yang dulu terus membayangi dan terngiang-ngiang mengisi dalam benaknya. Kini ia hanya bisa semaksimal mungkin menghilangkan perkataan itu. Namun nihil, tak sama sekali bayangan itu menghilang.

Pikiran Ileana beralih pada luka merah dan memar pada wajah Ruxe. Dengan tak sadar ia menyentuh luka itu, tapi Ruxe menghalangi niatnya serta menjauhkan tangan itu dari dirinya sendiri.

"Kenapa ada luka di wajahmu?" tanyanya sambil menatap luka itu dalam diam.

"Pasti itu perbuatan dari pertarungan yang tadi...apa perlu aku obati lukamu itu?" tawar Ileana kemudian beranjak cepat dari kasurnya yang tadi ia tempati.

"Luka ini bisa sembuh sendiri dengan cepat dan kau tidak perlu repot-repot mengobati ku," jawab Ruxe.

"Benarkah? Kenapa bisa seperti itu?"

"Vampir mempunyai tingkat kesembuhan lebih cepat dari pada manusia."

"Oh..." lalu Ileana duduk ke dalam posisi yang semula.

"Apakah mungkin dia pangeran tampan yang dimaksud oleh nenek? Dia memang tampan sih, tapi...ah itu tidak mungkin. Mana mungkin dia pangerannya. Itu adalah suatu hal yang mustahil dan tak mungkin pula dia ialah sosok yang dimaksud..." batin Ileana seraya memandangi jam dinding dengan tatapan kosong.

"Sudah larut malam rupanya, bahkan jarum dari jam itu telah menunjukkan pukul 01.15," batin Ileana yang mulai berkecamuk.

"Apa yang dia lakukan?" batin Ruxe yang merasa bingung melihat tingkah laku wanita satu ini.

Tok...tok...tok...

Tak lama kemudian, pintu kamar tiba-tiba saja terbuka menampakkan sosok pelayan yang sedang berdiri di bibir pintu. Kepalanya tertunduk dalam, tanda ia memberi penghormatan pada tuannya.

"Sedang ada apa seorang pelayan datang kemari?" tanya Ruxe.

"Maaf bila saya mengganggu, Tuan Ruxe. Yang Mulia memanggil anda untuk datang ke ruang singgasananya," ucap pelayan itu.

"Kau boleh pergi sekarang!"

"Baik saya permisi, Tuan."

Pelayan itu pergi sambil memberikan penghormatan yang terakhir kalinya meninggalkan kamar, yang sekarang hanya ada Ileana dan Ruxe. Ruxe mengalihkan pandangannya pada Ileana yang sedari tadinya menatapnya dengan penuh pertanyaan yang ada di otaknya.

"Ada apa lagi, Ileana?" tanyanya langsung pada inti.

"Vampir juga punya ibu?" tanya Ileana balik pada Ruxe.

"Heh, pertanyaan yang konyol macam apa ini?"

"Apa ada yang salah dari pertanyaan ku itu? Aku hanya bertanya, kenapa kau malah menyeringai, huh!"

"Tentu saja itu salah. Semua orang pasti punya ibu. Tanpa seorang ibu kita tidak akan bisa lahir, dan kau, kau pasti tidak akan berada di dunia ini tanpa sosoknya. Dan pasti kau tidak akan bertemu denganku sampai saat ini."

"Itu alasannya. Ibu alasan mengapa kita bisa melihat dunia luar yang sangat indah ini dan bisa merasakan bagaimana rasanya mencintai."

"Merindukan sosoknya yang pernah menghilang tapi seolah-olah tak pernah menghilang," batin Ileana.

avataravatar
Next chapter