13 Bagian 12 - Full Moon

Masih saja di taman belakang kastil, Ruxe yang sedang asik berbincang-bincang dengan Ileana, kini harus terusik karena pendengarannya yang tajam menangkap sesuatu. Terlebih dengan Ileana.

Walaupun ia hanya seorang manusia setengah bidadari, semua fungsi ke lima indra yang dimilikinya lebih peka dari vampir. Seluruh kekuatan ada pada dirinya lebih besar dibandingkan dengan bidadari yang lainnya, termasuk juga dengan vampir dan demon.

"Apa kau mendengarnya, Ruxe?" ujarnya.

Ruxe memandang Ileana heran namun, lebih tepatnya tak menyangka, "Apa kau juga mendengarnya? Suara orang berkelahi?" Ileana hanya menjawabnya dengan anggukan pasti.

"Kenapa kau bisa mendengar itu?" tambah Ruxe yang semakin heran dengan manusia itu.

"Karena aku mempunyai telinga, maka dari itu aku bisa mendengar," jawabnya begitu polos membuat Ruxe pasrah dan menghela napas panjang.

"Kita harus ke sana sekarang," tegas Ruxe lalu bangkit dari duduknya dan berdiri tegap seraya menatap tajam ke arah yang akan dituju.

********

"Kau benar-benar brengsek!" serunya merasakan jika emosinya sudah diambang batas rata-rata.

"Kau pergi dan aku tidak tau kemana arahmu dan dimana jejak mu selama ini. Sekarang yang ku tau, kau rela menjadi tangan kanannya demon sialan itu. Kau memang anjing yang setia!" tambahnya tak lupa dengan kata-kata yang sarkasme, tapi tetap saja wanita itu tidak terpancing. Ia tetap tenang dan santai menghadapinya.

"Ada apa ini?!" teriak seseorang yang kini sudah di arena pertunjukan.

Pengawal, pelayan, dan prajurit tak bisa berkutik maupun berbuat. Karena bagi mereka pertunjukan drama ini tidak bisa diatasi oleh mereka. Yang ada hanyalah mereka akan celaka atau mati terbunuh karena sudah ikut campur urusan orang lain.

"Kau lagi...!!?Berani sekali kau memasuki wilayah ini. Ini bukan kekuasaan mu. Lebih baik kau pergi daripada kau membawa bencana disini," sambung orang itu.

"Bukankah manusia itu yang akan membawa bencana bagimu dan orang lain karena kecantikannya," sahut wanita itu sembari menunjuk ke arah Ileana yang berada di sebelah kiri tuannya.

"Jangan suka memutar balikkan fakta yang kalian punya. Bohong dan sangat pintar merangkai kata!" seru Davy masih dengan wajahnya yang merah padam menahan amarah.

"Oh ya, aku kesini hanya untuk mengembalikan apa yang telah menjadi hak orang lain. Seperti benda ini," ucapnya sambil menunjukkan benda berbentuk pipih berwarna biru tua.

Wanita itu lalu mendekat perlahan ke arah Ileana seraya menyodorkan benda itu ke arahnya, ia berkata, "Aku hanya ingin mengembalikan milikmu saja. Maaf aku hanya bisa menemukan ini. Aku tidak menemukan selendang kesayangan mu yang hilang, mungkin sudah diambil oleh orang lain. Tapi, aku berjanji padamu akan menemukan selendang itu sesegera mungkin jika kau mau memberikan apa yang selama ini kami cari sebagai kekuatan besar itu," tuturnya berbisik pelan tepat di samping telinga Ileana.

Ruxe yang melihat itu langsung mendorong kasar tubuh wanita itu untuk menjauh dari Ileana, agar wanita itu tidak melukainya.

"Pergilah dari sini secepatnya sebelum aku berubah pikiran," tegas Ruxe dengan sikap dinginnya.

Setelah kepergian ibunya Davy, kini tatapan Ruxe beralih menatap Ileana datar tanpa ekspresi. Membuat Ileana balik menatap Ruxe dengan tatapan kosongnya.

"Ada apa?" tanya Ileana.

"Masuk ke kamarmu sekarang!" perintahnya pada manusia itu.

"Tapi --" ucapannya terpotong.

"Aku bilang masuk...masuk!" tegasnya lagi, kali ini dengan suara yang meninggi seperti membentak.

Akhirnya Ileana menurut apa yang dikatakan oleh tuannya. Daripada nanti dia sendiri yang terkena imbasnya, karena sekarang Ruxe sedang berada dalam kondisi hati yang memburuk.

"Ruxe, aku tidak bisa berlama-lama lagi disini. Aku harus kembali ke Corvin atau masalah besar akan terjadi," ucap Davy lalu pergi melesat bagaikan bayangan yang sudah berlalu.

********

Di wilayah demon, tepatnya disebuah Kastil Peonari atau Peonari Castle. Ia berjalan dengan anggun menuju ruang singgasana untuk menemui tuannya.Wanita itu lalu membuka lebar pintu kayu berukuran besar.

Semua yang ada di ruangan itu mengalihkan pandangan ke arahnya. Ia tersenyum, menyunggingkan sebelah sudut bibirnya tak menghiraukan seberapa banyaknya yang sedang memperhatikan wanita itu. Berjalan cepat melesat melewati para pelayan tepat di hadapan sang pemimpin.

"Maaf. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan. Informasi yang telah anda nantikan sudah saya dapatkan. Wanita itu berada dibawah perlindungan Vennosa, Yang Mulia," ujarnya seraya membungkuk hormat.

"Apa yang kau maksud sebenarnya, hah?!" tanya tuannya itu.

Dengan sebuah lirikan sinis dan mata yang memandang tajam mengarah ke sekitar, membuat atmosfir di ruangan itu berubah seketika. Pelayan yang merasakan itu segera pergi dari sana secepatnya. Pengawal yang mengerti maksud dari semua ini pun mengerti, mereka juga langsung meninggalkan ruang singgasana itu. Dan kini hanya tersisa tuan dan seorang tangan kanannya saja.

"Setengah bidadari itu menjadi budak atau lebih pantasnya menjadi makanan vampir itu," jawabnya.

"Makanan? Jadi dia sekarang menjadi makanan para vampir. Bagaimana dia bisa bertahan? Sekuat apa dirinya? Apa karena kekuatan itu yang bisa membuatnya bertahan selama ini," ujar seseorang yang sedang menduduki kursi singgasana.

"Dia hanya menjadi budak Ruxe sebagai makanannya. Kau tau bukan? Betapa sulitnya untuk mencari makanan ataupun mangsa di wilayah mereka. Hanya karena cerita mitos adanya makhluk mitologi di hutan pinus. Para manusia menganggapnya sebagai hutan keramat. Itu sebabnya mereka enggan untuk datang ke sana."

"Apa yang kau dapatkan dari sana?"

"Sepertinya dia tau akan kehadiran kita. Tapi, tenanglah dia tidak akan tau rencana kita."

"Baguslah. Aku harap kau bisa memantau dia dari kejauhan. Jangan sampai dia curiga dengan kita dan jangan pernah biarkan dia berhasil untuk kabur yang kedua kalinya. Ini adalah tugas baru untukmu. Jika kau gagal maka kau akan tau akibatnya."

"Tapi, Nicholas. Bukankah sangat sulit untuk mendapatkannya. Dia berada dibawah lindungan mereka. Bagaimana cara kita mengambilnya?"

"Kita harus memulai perburuan, Lesta."

"Konflik maksudmu? Bagaimana jika ini gagal. Maka, semuanya akan bertambah rumit."

"Ini tidak akan pernah gagal jika kau melakukan apa yang aku perintahkan. Kekuatan itu harus abadi menjadi milikku. Seutuhnya. Jangan sampai ada orang yang memilikinya selain diriku, " Nicholas lalu tersenyum licik.

"Baiklah saya akan kembali setelah urusan ini selesai," dan setelahnya Lesta pergi keluar dari ruangan itu.

Yang ada dipikirannya saat ini adalah membunuh dia lalu merebut Pure Crystal dari wanita yang ia maksud. Sebuah benda pusaka yang sangat ampuh untuk menaklukkan seluruh isi bumi, kekuatan yang berada dalam benda itu sangatlah besar melebihi rata-rata bahkan tidak ada bisa yang menandingi. Jika benda itu jatuh ke tangan orang yang salah, maka seluruh dunia akan hancur.

********

TAP! TAP! TAP!

Suara langkah kaki terdengar, dengan langkah yang tergesa-gesa ia menuju ruangan melewati setiap koridor.

Kreeett....

Pintu kayu itu terbuka menampakkan sosok pria paruh baya duduk di ruang kerjanya, dengan wajah hampa dan cemasnya. Jika dilihat dari dekat sepertinya pria paruh baya itu sedang memikirkan sesuatu yang mengganjal dapat diotaknya.

"Maaf bila saya mengganggu, Pak," ujar orang itu.

"Ada perlu apa kamu kemari, Weera?" tanya pria paruh baya tersebut.

"Saya hanya ingin bertanya saja, Pak Yose. Apa bapak sudah menghubungi neneknya Ileana?"

"Belum. Sambungannya terputus saat ingin mengatakan hal penting itu," balas Pak Yose masih dengan raut wajah cemasnya.

"Apa perlu jika saya menghubunginya, Pak?"

"Tidak perlu, biar aku saja yang mengurus masalah ini. Kau sudah menghubungi Ileana?"

"Sudah, Pak. Tapi ponselnya tidak aktif."

"Ya sudahlah. Lebih baik jika kau mengurus keperluan mu sendiri. Ada tugas yang harus dikerjakan bukan?"

"Iya, Pak. Baiklah saya permisi."

Kemudian Weera melangkahkan kakinya pergi dari sana, dan kembali pada tugasnya yang sudah tertumpuk banyak menjadi satu.

"Bagaimana?" tanya Nerly yang berhasil menghadang Weera di depan kamar mereka.

"Bagaimana apanya?"

"Apa sudah ada kabar yang lebih baik dari kemarin?"

"Tidak. Semuanya tetap sama saja."

Weera sontak terkejut manakala ada seseorang yang menepuk pelan bahunya. Lalu, ia menoleh pada orang itu. Orang yang ia kenal sebagai teman sekelasnya.

"Apa Ileana sudah ditemukan?" tanya orang itu -- Sane.

Weera menggeleng lemah sambil menunduk, sedangkan Sane hanya menghela napas panjang. Baginya ini terlalu rumit. Bagaimana kalau neneknya tau mengenai hal ini. Pasti akan terjadi sesuatu pada wanita paruh baya itu.

"Kami dan tim hanya bisa menemukan selendangnya," sahut Nerly sembari memberikan selendang itu ke arah Sane.

"Ileana, apa kau terluka? Sebenarnya kau dimana sih?" batin Sane karena melihat ada bercak darah yang menodai selendang putih itu.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Nerly melihat ekspresi wajah Sane yang sulit ditebak.

"Ah...ti-tidak ada," jawabnya terbata.

********

Malam hari datang bersamaan dengan bulan yang bersinar terang menerangi bumi. Suara long-longan anak malam terdengar sangat menyeramkan, membuat bulu halus ikut meremang berdiri tegak.

Ruxe sedang bersantai duduk di pohon yang besar. Sambil menikmati angin malam yang tanpa izin mengenai kulit pucatnya. Ia tak merasa kedinginan ulah angin itu, karena tubuhnya memang dingin itu sendiri.

Di tempat lain, Ileana berdiri termenung di dekat jendela kamarnya. Melihat bulan tanpa bintang yang dengan damainya sinar bulan itu memasuki kamar melewati jendela, ikut menerangi kamarnya.

Ileana mendekat ke pintu, membuka perlahan sehingga udara yang di luar masuk ke dalam kamar.

TAK. TAK. TAK.

Ia melangkah menuju luar bangunan. Lebih tepatnya ia berjalan ke arah belakang kastil. Tempat sangat disukai oleh Ratu Elizabeth dan Ruxe. Kalau boleh jujur, Ileana juga menyukai tempat itu.

Bukan tanpa alasan, tempat itu menyimpan banyak kenangan kenangan baginya, waktu ia masih kecil. Walau bayang-bayang itu samar-samar ia tak mengingatnya.

"Ruxe...?" gumamnya baru menyadari Ruxe sedang bertengger seperti burung di atas dahan pohon.

"Kau berada disini...sedang apa? Bukankah seharusnya kau tidur?" Ruxe berbalik bertanya pada Ileana.

"Aku belum mengantuk," jawabnya.

Ruxe turun dengan cepat dari atas pohon. Menghampiri Ileana yang sedang mematung melihatnya. Tapi, Ruxe tak menghiraukan itu. Ia tetap saja berjalan ke arah Ileana, kemudian menuntunnya duduk di bangku taman.

"Aku hanya ingin minta maaf padamu, aku sudah membentak saat itu," tutur Ruxe menatap dalam setiap detail iris biru milik Ileana.

"Tidak apa-apa, itu juga bukan salahmu. Aku tau kau hanya terbawa emosi saat itu. Jadi jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri."

Lalu, Ileana kembali memandang bulan purnama yang sedang bersinar terang. Bulan purnama yang sedang tersenyum ke arahnya, melihat dirinya saling bercengkerama ramah dengan Ruxe.

"Bulannya jelek ya, kurang bagus," ujar Ileana.masih dengan memandang bulan yang terang itu.

Seketika bulan itu meredup, cahayanya tak lagi menerang. Wajah bulan itu tertekuk seperti cemberut. Seolah-olah mendengar apa yang diucapkan secara langsung dari Ileana. Bumi pun seakan menggelap bersamaan dengan meredupnya cahaya bulan purnama.

"Maksudnya...?" tanya vampir itu tak mengerti.

"Dia..."

avataravatar
Next chapter