1 Seokjin, Cafe dan Wanita

Kim Seokjin

Aku mengusap wajahku yang basah dengan sapu tangan yang telah kusiapkan sebelumnya di dalam saku jasku, lalu aku menghela napasku panjang. Tak kusangka wanita yang barusan kutemui akan menyiramku dengan minumannya, kukira akan lebih buruk—misalnya menampar wajahku yang tampan. Untung saja minumannya hanya air mineral, kalau tidak, mungkin aku akan meminjam baju Namjoon, karena aku tak membawa baju ganti.

Sebuah gelak tawa terdengar disusul dengan tepukan yang cukup kuat di bahu kananku. Aku sudah hapal sekali dengan tawa penisitaan itu.

"Hyung, ini sudah yang ketiga kali dibulan ini. Kau benar-benar sial." Cemooh Namjoon dengan suaranya yang membahana, menarik perhatian para pengunjung cafe—yang memang sejak tadi menjadikanku dan wanita yang sudah pergi tadi menjadi bahan tontonan gratis disore hari.

Lelaki dengan tinggi 5,9 kaki tersebut mendaratkan bokongnya dengan cukup keras pada kursi dimana gadis tadi sempat duduk. Tak khawatir bahwa kursinya akan rusak—mengingat dirinya seingkali merusak barang-barang.

Sebenarnya, adegan siram, tamparan di wajah ataupun segala makian di akhir minggu adalah rutinitasku selama setahun belakang. Dan cafe ini menjadi saksi bisu kejadian memalukan itu, lain dengan pemilik dan para pegawai yang bekerja. Aku yang menderita akibat menolak perjodohan pada kencan buta, adalah hiburan mingguan mereka.

"Diam kau!" ujarku sedikit jengkel.

"Ya, Hyung! Kenapa kau tak menghindar saja sih, kan kau sudah sering mengalami kejadian serupa. Masa kau selalu diam dan mempermalukan dirimu sendiri."

Aku tersenyum padanya, "Biar saja mereka melakukan itu padaku, toh aku menolak mereka semua." Ujarku dengan santai.

Namjoon hanya menggeleng tak percaya dengan ucapanku. "Kau itu terlalu baik atau bodoh, sih."

Aku hanya tertawa mendengar ucapannya itu. Sebenarnya aku punya alasan lain melakukan itu semua, tapi aku belum siap untuk membagi luka lamaku dengan orang lain, karena bahkan sampai saat ini luka itu tak pernah sembuh.

"Lagipula, kenapa tidak kau terima saja salah satu wanita pilihan ibumu itu, agar masalah selesai." Namjoon dengan mulut bodohnya mulai berbicara omong kosong, seperti tak tahu saja wanita-wanita yang ibuku pilihkan seperti apa tabitanya.

"Kalau kau terus-terusan melakukan hal ini di cafe ku, bisa rusak reputasi yang telah kubuat untuk cafe ini. Bisa-bisa tak ada pelanggan yang mau kesini lagi, Hyung." rengeknya.

Ternyata itu alasan terselubungnya, sudah kudunga. Lagipula, mau seramai apa lagi cafe ini. Apa ia ingin mengumpulkan semua orang dan mau mengadakan pawai di dalam cafe.

Mungkin terkadang otak jeniusnya mengalami malfungsi karena terlalu banyak impuls yang diterima.

Bugh!

"Ouch!"

Suara jatuh yang keras dan sebuah rintihan kesakitan menarik atensiku. Kulihat Namjoon sudah berdiri dan menghampiri objek yang terjatuh.

"Ya, Mina. Kau baik-baik saja?" Tanya Namjoon saat membantu seorang pegawainya yang sempat terjatuh dan menarik atensi sebagian besar pengunjung cafe.

Pegawai bersurai coklat terang itu hanya mengangguk saja dan berjalan dipapah oleh Namjoon ke dalam ruang staf. Sepertinya itu pegawai baru, karena seingatku, Namjoon tak punya pegawai semungil itu sebelumnya. Tingginya hanya mencapai bahu Namjoon, mungkin hanya 5,1 kaki.

Aku berdiri dan melangkah memperbaiki kursi yang tergeletak tak berdaya setelah ditabrak oleh si pegawai di tengah cafe, lalu kembali ke kursi ku sendiri, disusul oleh Namjoon.

"Apa pegawaimu baik-baik saja?" tanyaku.

Namjoon mengangguk. "Tak usah khawatir, dia memang agak kikuk dan sering menabrak atau menjatuhkan barang-barang, tapi tak sekikuk aku." Tanwanya terbahak-bahak atas leluconnya yang garing. "Tapi berkat gadis itu, pengunjung cafe meningkat." Namjoon diam sesaat sambil mengusap-usap dagunya seraya berpikir. "Hmm, kupikir karena gadis itu sangat manis." Sambungnya.

Aku menatapnya dengan pandangan mencemooh, dia terdengar seperti lelakii tua hidung belang yang mengincar gadis muda yang polos.

"Hey, jangan menatapku dengan pandangan kotor seperti itu. Gadis itu bukan tipeku, lagipula dia itu sudah legal, bukan anak dibawah umur." Pembelaannya makin terdengar seperti pria tua hidung belang.

"Ngomong-ngomong, kau sudah menyelesaikannya?" wajahnya kini terlihat sedikit lebih serius. Mengganti topik pembicaraan, agar dia terhindar dari pandangan mencemoohku.

"Belum, aku terlalu sibuk dikantor hingga tak sempat merampungkannya. Hanya tinggal sentuhan akhir, sih. Nanti akan kukabari jika semua sudah beres."

Jadwalku yang padat dikantor karena peluncuran produk baru memang sangat menyita seluruh waktu luangku.

"Sudahlah, Hyung. Santai saja, itu bukanlah project yang mendesak, nikmati saja waktumu untuk istirahat."

Dengan itu, Namjoon mengusirku untuk pulang dan beristirahat, karena menurutnya aku sudah bagaikan mayat hidup dengan lingkaran hitam dimata, yang tentunya tak mengurangi kadar ketampananku.

...

Park Mina

Saat kembali dari jam istirahat, kudengar para pegawai yang saling berbisik dan terkikik pelan, menertawakan sesuatu.

"Kau lihat, ini sudah ketiga kalinya dalam bulan ini Tuan Kim disiram oleh pasangan kencan butanya." Salah satu dari mereka—Yumi, berbicara cukup keras hingga terdengar olehku.

"Ah, sayang sekali Mina tidak melihatnya, minggu depan pastikan kau melihatnya, karena itu pertunjukan yang seru." Ujar Hana yang melihatku kembali dari pintu belakang.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum saja menanggapinya. Tidak mau terlibat lebih lanjut dalam obrolan mereka.

Mereka memang orang baik dan menyenangkan, tapi aku tak suka bila menertawakan kesengsaraan orang lain. Itu tindakan yang sungguh tidak terpuji. Bagaimana kalau kita yang berada di posisi itu. Pasti akan terasa menyakitkan bila hanya ditertawakan.

Aku ke meja counter dan mengintip apakah laki-laki itu butuh bantuan, tapi ternyata Namjoon-shi, bos baruku yang tak mau dipanggil dengan mana lain selain namanya, sudah menghampiri laki-laki yang menjadi objek pembicaraan.

Laki-laki itu memakai setelah kotak-kotak hijau yang terlihat mahal. Namjoon-shi mengobrol dengan laki-laki itu dengan santai, sepertinya mereka berteman.

"Hey, Mina. Jangan bengong terus, cepat antarkan ini ke meja yang ada di ujung sana." Tegur Shinbi yang menyerahkan nampan berisikan minuman padaku.

Aku segera melakukan apa yang diperintahkannya dan mengantarkan minuman tersebut pada pria yang duduk menyendiri dan tersenyum padaku saat aku meletakan minumannya di meja.

Aku bergidik melihat senyumannya itu, mengingatkanku pada alasan kenapa aku pindah dari Busan ke Seoul.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman kecil yang terlalu dipaksakan dan bergegas pergi dari hadapan pria itu hingga menabrak kursi kosong di tengah ruangan. Rasanya tetap saja sakit meskipun aku sudah terlalu sering menabrak objek mati dihadapanku.

Namjoon-shi membantuku berdiri dan memapahku ke dalam ruangan staf.

Setelah berterima kasih dan meminta maaf padanya, aku hanya menutup wajahku dengan kedua tanganku. Rasanya begitu memalukan.

Pun aku dikejutkan dengan dering handphone ku yang berada di saku. Aku mengambilnya dan melihat nama Chaewon terlampir di layar.

"Mina, berita buruk. Kau harus hati-hati, Minhyuk tahu kau ada di Seoul dan dia bergegas kesana."

Belum sempat aku menyapanya, Chaewon langsung membombardiku dengan berita yang paling tak ingin kudengar.

Jantungku langsung bertalu mendengar kabar itu, rasa takut perlahan menyelimutiku hingga membuat tubuhku mengigil seketika.

"Yeobseo, Mina-ya! Apa kau masih disana?" terdengar suaranya mulai panik diseberang sana.

"Ya." Ucapku dengan lemah.

"Mina, apa aku kesana dan menemanimu saja?" suaranya terdengar penuh dengan kekhawatiran.

Aku beruntung sekali mempunyai sahabat seperti Chaewon. Dia merawatku seperti aku bagian dari keluarganya dan selalu ada untukku, tapi kali ini aku tak mau merepotkannya.

"Tak apa, Seoul itu luas, belum tentu Minhyuk langsung menemukanku." Ucapku menyakinkannya dan diriku sendiri bahwa tak semudah itu menemukanku di Seoul yang luas. "Kalaupun terjadi seuatu aku pasti akan mengabarimu."

Chaewon terdengar seakan ingin membantah, tapi akhirnya tak mengatakan apapun selain berpesan agar aku lebih hati hati.

Setelah panggilan telpon dari Chaewon, aku kembali bekerja untuk menyingkirkan pikiran burukku tentang Minhyuk, tapi tetap saja itu tak berhasil, dan malah membuatku lebih sering membuat kecerobohan dalam bekerja.

...

Jam kerja yang terasa paling panjang dalam hidupku akahirnya berakhir. Aku tak sempat berbasa basi dengan para pegawai yang lain dan bergegas untuk pulang.

Hari yang sudah larut makin membuatku gelisah. Aku tak pernah menyukai berada di luar kamarku ketika malam hari meskipun pada jam sepuluh malam, kota ini masih ramai dengan aktivitas malamnya. Itu semua membawa memori buruk yang selalu ia pendam, muncul ke permukaan.

Jarak dari cafe dan apartemen yang aku sewa cukup jauh, mengingat disekitar apartemenku tak ada pekerjaan yang bertahan lama karena kecerobohannku sendiri. Rekor terlama sejauh ini adalah di cafe tempatkua bekerja sekarang.

"Mina-shi!"

Aku membeku ketika ada seseorang yang memanggil namaku, aku menoleh kebelakang, ternyata pelanggan di cafe yang tadi sore ku antar minumannya. Pria itu tersenyum padaku.

Aku hanya bisa membatu karena sempat terpikir pria ini adalah Minhyuk.

"Kau sudah mau pulang ya? Mau ku antar?" tawar pria itu dengan tiba-tiba dengan senyuman yang masih setia terpasang diwajahnya.

Aku hanya merasa lebih takut ketika mendengar tawaran itu dan senyumannya yang terlihat begitu menakutkan dimataku.

Aku tak menyukai senyuman itu. Senyuman mengerikan yang sama, yang selalu menghantui tidurku dimalam-malam terburukku.

Aku hanya menggeleng padanya dan membungkuk untuk berpamitan. Lidahku terasa begitu kelu dan kakiku bergegas meninggalkan pria itu, tapi tangannya yang lancang menyambar pergelangan tanganku dan menarikku kembali pada posisiku semula.

"Lepaskan!" seruku.

"Aku akan mengantarmu pulang." Ujar pria itu bersikeras.

"Lepas!" Rasa takutku kini menguasaiku hingga tubuhku bergetar. Perlawananku tak ada artinya untuk pria itu. Air mataku mulai menggenang seraya aku menarik tanganku yang kini diseret oleh lelaki itu menuju mobilnya.

Jalanan yang masih dilalu-lalangi oleh pejalan kaki, tapi tak ada tanda-tanda seseorang menolongku dalam situasi ini.

Pun lidahku yang kelu tak bisa meminta tolong dan malah menangis sambil melawan tanpa arti. Hingga sebuah suara debuman terdengar dan pegangan tanganku terlepas hingga membuatku terjatuh ke aspal.

Aku tak mendengar apa-apa lagi, seakan telingaku tuli. Tubuhku bergetar begitu hebat. Bayangan mengerikan akan malam itu sekilas terlintas dibenakku hingga rasanya nafasku terasa sesak dan pandanganku menghitam.

...

avataravatar