1 Bab1. Clara Aleysia

Ditengah maraknya novel berceritakan tentang pernikahan paksa, dijodohkan dengan paksa, seorang wanita yang merupakan penulis menatap jengah pada cerita-cerita tersebut.

Sebelumnya dia juga tertarik dan tenggelam dalam lautan cerita Romance tersebut, tapi semuanya kini sudah membosankan, semuanya akan berjalan dari paksaan dan menjadi sukarela. Cerita itupun akan selalu menjadi Happy Ending dengan tokoh utama memiliki anak.

Wanita ini bernama Clara Aleysia atau kerap dipanggil Ara, dia adalah seorang pecinta novel, tak terhitung novel yang sudah dibacanya. Mulai dari Teenfiction, Romance, Science fiction sampai fantasi petualangan jaman dahulu. Juga banyak karya yang dia tulis sendiri.

Paras Clara tidak bisa dibilang cantik, namun juga tidak jelek. Bentuk wajahnya yang bulat dipadu dengan pipi tembam dan lesung pipi yang dalam serta iris mata berwarna biru, kulit putih bersih walau tak seindah para artis papan atas yang bak Porselen. Pun Clara tidaklah tinggi semapai, bisa dibilang dia pendek, ditambah badannya yang kurus dia terlihat seperti gadis berumur tujuh belas atau delapan belas tahun. Namun faktanya Clara kini telah menginjak usia dua puluh tiga tahun.

Ponsel Clara berdering menampilkan sebuah nama lelaki yang tidak sengaja dia tolong sepulang dari mini market, Clara sedikit emosi karena dirina tengah membaca adegan paling menyentuh hati pada cerita fantasi yang dibacanya.

Namun tak urung Clara mengangkat telpon tersebut, tangan Clara merapatkan ponselnya pada telinga dan mengatakan salam pada orang di sebrang sana.

"Bisa kita bertemu di Bougenville Restaurant pekan nanti?" suara itu berdenging ditelinga Clara.

Matanya menatap kosong, "Astaga! Bougenville Restoran? Apakah dia bercanda?" batin Clara penuh kejut.

Clara mengetahui bahwa Bougenville Restaurant adalah Restaurant paling mewah di kotanya, itu terkenal oleh masakan prancisnya dan sudah mendapatkan bintang michelin, bahkan koki Restaurant itu sendiri didatangkan langsung dari prancis untuk menjaga cita rasanya.

"Ka... Kau bercanda?" Clara bertanya dengan tergagap.

"Aku tidak bercanda, my savior," suara di sebrang sana menjawab Clara.

"Aku akan menunggumu pekan nanti disana." Kalimat itu berakhir dengan dengungan ponsel yang menandakan sambungan telpon terputus.

Clara menatap kesal pada ponselnya, "Jangan bilang aku akan terjebak dalam pemaksaan seperti di novel-novel," ketus Clara.

Tapi setelah diingat, dia hidup sebatang kara, kedua orang tuanya telah meninggal. Jadi dia tidak akan bernasib dijodohkan dengan paksa, juga tidak ada yang akan memaksanya menggunakan sandra saudara karena dia adalah anak tunggal, definisi sebatang kara memang memenuhi dirinya.

"Aku terlalu tenggelam dalam fantasi cerita," gumam Clara seraya menggelengkan kepalanya keras.

Mata gadis itu kembali bersinar terang, kembali dia membaca cerita pada ponselnya ditemani berbagai camilan dan secangkir teh.

"Ah manisnya kau Han'gege," komentar Clara ketika membaca adegan dimana tokoh utama menyelamatkan gadis yang sedikit lagi dibunuh dalam perang.

Wanita itu terus membaca, air matanya terjatuh ketika membaca bagian sang gadis meninggal dan Han'gege yang dia sebut mengamuk dan membunuh seluruh musuhnya untuk melampiaskan amarahnya.

"Hais, gantung lagi." Clara menatap kesal karena cerita itu belum memiliki episode lanjutannya, tangan gadis itu dengan lentik mengetikan kata penuh semangat pada kolom komentar untuk sang penulis cerita berjudul Dua Penguasa tersebut.

Ting...

Denting bel apartement merubah fokus Clara dari ponselnya, wanita itu bergegas menghampiri pintu, sejenak dia berpikir. Siapa yang mengunjunginya?

Dengan perlahan Clara membuka pintu, matanya langsung bersirobok dengan seorang wanita cantik menggunakan pakaian kemeja formal.

"Hallo nona Clara, saya disini datang untuk mengantarkan pesanan," terang wanita cantik itu ramah lalu memberikan sebuah kotak pada Clara.

Clara menatap kotak tersebut, dia mengenal kotak itu. Kotak yang sempat dia berikan pada lelaki yang menelponnya tadi.

"Terimakasih," ucap Clara seraya mengambil kotak tersebut.

"Terimakasih kembali, saya mohon pamit jika begitu," balas wanita itu dengan senyum yang sangat indah, Clara bahkan sebagai wanita terpana.

"Silahkan," sahut Clara.

Sekepergiannya wanita tadi, Clara masuk kedalam lagi dan duduk diatas kasur seperti sebelumnya, apartement yang ditempati Clara tidaklah besar, itu adalah sebuah apartemen studio yang tidak memiliki sekat antar kamar dan dapur serta ruangan lainnya, namun cukup baginya yang masih sendiri.

"Kenapa dia mengembalikan kotak ini?" pikir Clara.

Sebuah rasa penasaran yang menggelayuti hati serta mengusik jiwanya membuat Clara dengan serampangan membuka kotak tersebut.

Kesal, itu yang didapat oleh Clara ketika membuka kotak tersebut, didalam kotak itu ada sebuah kotak kado, namun ketika dia membuka kotak kado terbungkus kertas itu, masihlah ada kotak lagi.

"Apakah kau mengerjaiku huh?" dengus Clara kesal ketika kotak yang dibukanya masihlah terdapat kotak yang lebih kecil lagi.

Clara sudah kesal dan ingin rasanya melempar kotak itu keluar lewat jendela apartemennya yang berada di lantai tinggi ini, namun sekali lagi rasa penasaran mengerogoti jiwanya bagaikan rayap mengigiti kayu dan membuat kayu tersebut menjadi kopong.

"Argh..." Clara kini memutuskan untuk membuka satu demi satu kotak tersebut.

Sudah beberapa menit Clara membuka secara serampangan kotak tersebut hingga kini terdapat sebuah bungkusan terakhir, itu tipis dan berbentuk persegi panjang, dari bentuknya itu seperti sebuah kartu, namun apakah benar isinya kartu? Karena ketika Clara gigit, itu memang keras seperti kartu.

"Ini terakhir." Clara merobek kertas yang membungkus benda tersebut, alisnya mengkerut dalam ketika melihat sebuah kartu berwarna ungu yang terdapat dari gulungan puluhan kotak tersebut, wanita itu membuka seluruh kertas, didalamnya ternyata ada sepucuk surat selain kartu ungu tersebut.

Clara memilih untuk menghiraukan kartu ungu aneh tersebut, dia belum pernah melihat kartu seperti itu, kini pandangannya jatuh pada sepucuk surat yang dilipat itu, dengan perlahan Clara membuka lipatan kertas itu dan membacanya.

'Kau pasti telah menerimanya my savior, kartu yang bersama kertas ini disebut Violet Card, kau bisa membeli apapun bahkan kau bisa membangun gedung seperti Burj Khalifa. Terserah apa maumu, tapi satu kupinta darimu, belilah gaun yang paling indah menurutmu untuk bertemu denganku pekan nanti di Bougenville Restaurant.

Salam hangat.'

"Membeli apapun?" Clara membeo isi surat tersebut.

Apakah ini mimpi? Atau lelaki itu tengah mengerjainya?

Mata Clara menatap Violet Card, tiba-tiba dia teringat kartu spesial yang sering muncul dalam cerita-cerita Romance tentang CEO kaya raya.

Tubuh Clara merinding seketika, tidak! Dia tidak ingin mengalami pemaksaan seperti itu, hal yang saat ini ingin ditanyakan perilah Violet Card Clara akan mencari jawaban dari sahabatnya. Pengetahuan sahabatnya itu lebih memadai jika tentang keuangan karena sang sahabat bekerja pada Bank Negara ini.

Tangan Clara segera mencari kontak telpon sahabatnya, hanya butuh beberapa detik sebelum akhirnya Clara menelpon sahabatnya untuk menanyakan perihal Violet Card yang didapatkannya.

"Billa, aku ingin bertanya!" ketika telepon terhubung, segera Clara bertanya dengan cepat.

avataravatar