webnovel

Wanita Tenggelam

Ivander mengangkat gelas minumannya, bersulang dari kejauhan untuk pasangan kekasih yang ada di meja bar sana. Dia kembali memandangi lautan lepas sambil menikmati beberapa teguk sparkling wine. Ekspresinya langsung pahit, lidahnya tidak pernah cocok jika menyangkut sesuatu yang manis.

"Vander, bagaimana menurutmu acaranya?"

Ivander mendapati pemilik acara sudah berdiri di sampingnya, meninggalkan sang kekasih yang kini asyik berbincang dengan tamu lain.

Betrand menyodorkan gelas pada Ivander. "Kau tidak pernah suka alkohol dengan rasa manis. Aku membawakanmu yang baru, brut nature sparkling wine. Nol koma lima gram gula."

Mereka saling mengganti minuman. Ivander meneguk minuman itu sedikit, membuktikan kalau perkataan sahabatnya benar. Manis masih bisa dirasakan, akan tetapi tidak begitu kental.

"Lebih baik dari yang tadi," ucap Ivander.

Betrand tersenyum puas. "Aku berterima kasih sekali atas kesediaanmu hadir di acara ini."

Ivander memainkan gelas dengan gerakan setengah melingkar sehingga isinya berputar mengikuti arah tersebut. "Sebetulnya, aku juga tidak berniat pergi jika bukan karena seseorang datang padaku dan merengek seperti anak kecil."

"Oh, ayolah! Chelsea membawa teman-temannya ke acara liburan ini, sedangkan aku hanya memilikimu saja, sahabat sejatiku sampai mati."

Ivander tidak begitu peduli. Dia meneguk kilatan berwarna jerami pucat dengan nada kehijauan itu kembali. Hidungnya sibuk membaui aroma alkohol yang menyimpan satu kenangan terlupakan.

Sementara Betrand membawa pandangan matanya ke arah sang kekasih, menyikut lengan Ivander. "Menurutmu, apa wanita yang berdiri di dekat bar itu menarik?"

Ivander berhenti membaui, beralih memandang ke arah yang diperhatikan Betrand. Seperti yang dia lihat, ada tiga orang wanita tengah berbincang dan dia tidak tahu wanita mana yang sedang mereka bicarakan.

"Calon istrimu?"

Betrand langsung mengernyitkan alis. "Kau memandangi calon istriku sejak tadi?"

"Kau harus menjelaskannya lebih spesifik agar kesalahpahaman tidak terjadi."

"Baiklah. Aku salah. Seharusnya, aku tidak lupa saat ini sedang bicara dengan siapa. Pikiran seorang detektif memang tidak pernah mudah."

"Memangnya, apa yang ingin kau katakan?"

"Yang ingin aku katakan adalah apa di antara wanita-wanita itu, ada yang membuatmu tertarik? Harus aku tekankan dari sekarang kalau Chelsea bukan bagian dari pembahasan kita."

"Aku tidak pernah berpikir untuk mencari seseorang di saat seperti ini."

"Kau masih belum bisa melupakan mantan istrimu? Dia sudah berselingkuh dengan pria lain, lalu meninggalkanmu seorang diri dalam kepahitan. Bahkan, putrimu tidak bisa ditemukan sejak hari itu. Aku pikir kau harus melihat ke depan mulai dari sekarang."

"Dan melupakan semua kepahitan begitu saja?"

"Kau masih harus tetap hidup, Vander. Aku mengatakan ini karena kita adalah sahabat kecil. Tidak ada yang ingin sahabatnya berakhir menyedihkan. Lupakanlah dendam di hatimu dan raihlah kebahagiaan yang menantimu."

Ivander mengetatkan geraham, menyodorkan gelas yang langsung dipegang oleh tangan kosong Betrand. "Kebahagiaanku adalah melihat mereka yang bermain-main dengan hidupku hancur," ucapnya, kemudian beranjak pergi.

Ivander terus berjalan hingga mencapai area luar. Kapal yang mereka tumpangi sekarang mengapung di tengah lautan, membuat angin berembus dengan lembut, menyapu kulitnya.

Pada saat ini, Ivander terpikirkan tentang Lara, sang putri yang tidak tahu keberadaannya ada di mana. Kalau saja dia mengetahui kalau Lara akan dibawa pergi, pasti hari itu dia tidak akan ragu menjemput ke sekolah.

Itu kesalahannya. Dia menyesal.

Mata Ivander menyipit, melihat sesuatu yang janggal tidak jauh dari kapal. Bukan hanya dia saja yang terpaku pada pemandangan itu, navigator pun sama dengannya.

Semakin dekat jarak mereka, mata yang menyipit perlahan melebar. David—navigator—segera beranjak ke geladak kapal, menghampiri Ivander dengan gelisah. Penghuni yang masih berada di ruangan, memperhatikan suasana janggal tersebut dari jendela dan segera mencari tahu.

Betrand mengerutkan dahi ketika melihat arah pemandangan sahabatnya dan navigator. "Apa wanita itu sudah gila? Dia berenang di lautan lepas. Aku harus mengabadikannya."

Ivander dengan cepat menurunkan ponsel yang sudah diangkat Betrand untuk merekam. Sangat tidak mungkin berenang di lautan lepas seorang diri. Apa yang terjadi jelas sangat berbahaya.

"Hal buruk sedang terjadi."

Pada waktu bersamaan, gerakan tangan wanita yang berenang tadinya melambat. Tidak membutuhkan waktu lama untuk melihat seseorang tenggelam.

Ivander mencengkeram kerah sahabatnya. Tanpa mengalihkan perhatian pada wanita yang tenggelam, dia berkata, "Kau harus melakukan sesuatu."

Betrand celingak-celinguk seperti orang kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa. Ivander sendiri sudah melepaskan sepatu, langsung mengambil tempat di depan pagar geladak sebelum terjun ke lautan.

Betrand terkejut, ingin meraih sahabatnya, tetapi sudah sangat terlambat. Dia melihat ke lautan, tidak menemukan keberadaan Ivander.

"Kau sangat bodoh!" Betrand menggenggam pagar geladak dengan marah. "Vander!" teriaknya pada langit.

David menunjuk ke arah laut saat mendapati gerakan berbeda di air laut. "Dia masih hidup!"

Ivander jatuh cukup dalam sehingga butuh waktu untuk dia naik ke permukaan. Dia mencari-cari titik keberadaan wanita yang tenggelam tadi namun hal itu terlalu sulit untuknya yang sudah berada di lautan luas.

"Ke kiri!" Nyatanya, seorang navigator lebih berpengalaman.

Ivander sangat terbantu akan arah yang diteriakkan padanya. Dia langsung menyelam ketika sampai di titik tenggelam. Untung saja, dia pernah berlatih menahan napas di dalam air sehingga cukup lama baginya bertahan.

Ivander membuka mata, mengamati sekeliling dengan saksama. Dia turun lebih dalam dan beruntungnya wanita yang kecil harapan dapat ditemukan itu terlihat oleh mata jeli Ivander.

Ivander segera menarik diri mereka ke permukaan. Saat kepala berhasil mencapai oksigen kembali, Betrand yang melihat langsung melemparkan pelampung.

Wanita asing yang tenggelam mereka selamatkan masih butuh pertolongan ketika mencapai geladak. Untung saja salah satu dari teman Chelsea berprofesi sebagai dokter. Jadi, mereka bisa menyerahkan situasi darurat itu pada ahlinya.

"Cepat, ambilkan guling!" Oliver.

"Guling?" Chelsea berkata, cukup bingung.

"Biar aku saja," ucap Ailsie, seorang teman wanita lainnya.

Oliver memeriksa kondisi sesaat tubuh korban dibaringkan dengan posisi telentang. Jantungnya masih berdetak, akan tetapi napasnya berhenti. Dia pun segera berlutut di atas kepala wanita itu.

"Ini dia!" seru Ailsie, menyerahkan guling dengan tergesa-gesa.

Bantalan dipakai guna menopang bahu dan leher, sedangkan kepala dibuat tetap menyentuh lantai. Oliver menggunakan metode Sylvester, di mana dirinya akan memegang kedua pergelangan tangan korban, lalu mengayunkannya melewati kepala sampai tergeletak di lantai. Seperti itu, maka akan terjadi dorongan napas oleh otot dada. Dia mengayunkan kembali tangan wanita itu sampai bisa dilipatkan di atas dada. Gerakan yang sama dia lakukan setiap lima detik.

"Apa dia akan bangun?" Bertrand berkata.

Harapan mereka hampir pupus. Namun, di upaya terakhir ketegangan di wajah berubah menjadi kelegaan. Wanita itu terbatuk, menumpahkan air yang sempat mengendap di dalam tubuh.ĺ