1 THE DARKNES

'

Serupa bintang yang butuh gelap untuk menjadi gemerlap, biarkan aku berada di sisimu penuh harap.

...

Wang Yi, pria bertubuh dingin dengan hati seliar angin. Mustahil ditaklukan meski begitu ingin.

Dia ditakuti, dirutuki dan dianggap sebagai makhluk paling biadab di muka bumi.

Namun hari itu, saat aku terpeleset dari perahu dan tercebur ke danau, dialah yang menolongku.

Entah suatu keberuntungan atau kesialan, ketika bisa kurasai udara bebas sesuatu yang dingin dan tajam menancap di leher ini.

Dugaanmu benar, dia menghisap darahku.

Lalu, ketika terbangun ayah bilang sudah tiga hari aku tidak sadarkan diri. Semenjak itu ada larangan pergi ke danau bahkan untuk sekadar menjenguk senja atau embun pagi.

Berminggu-minggu kunikmati sepi sampai akhirnya suatu malam hal yang tak pernah terpikirkan terjadi.

Sekujur tubuhku sakit luar biasa, rasanya seperti ditusuk oleh ribuan jarum sekaligus. Seorang tabib bilang ada racun dalam tubuhku yang tak bisa disembuhkan kacuali oleh penyebabnya; Wang Yi.

Tentu ayah menolak untuk menemui pria itu, namun melihat kondisiku yang semakin hari semakin memburuk, ayah memutuskan membawaku ke sana di temani beberapa penduduk meski mereka memilih menunggu kami di depan gerbang kediaman Wang Yi. Castile bernuansa classic yang terlihat angker.

Konon, ini adalah sarang makhluk penghisap. Entahlah, tak ada warga yang berani mencari tahu karena pada dasarnya pihak pemerintah tak pernah membatasi gerak mereka bahkan ada kabar burung mengatakan jika kedua kubu tersebut melakukan kerjasama.

"Wang Yi, keluarlah!" Teriak ayah di depan pintu, tubuh rentannya memangkuku dari dalam kereta kuda. Lalu, membaringkan di tanah dengan kepala yang dibiarkan menumpu pada kedua pahanya.

Aku terlalu lemah untuk duduk terlebih berjalan sendiri.

"Wang Yi, keluar kau!" Sekali lagi ayah berteriak. Aku tahu sehancur apa perasaan ayah, tapi di sisi lain pasti dia juga takut berhadapan langsung dengan makhluk yang terkenal kejam itu.

"Ayah," kugenggam lengannya yang gemetar.

Ayah menatapku, menghapus bulir bening yang entah sejak kapan berseluncur bebas. Aku tidak ingat.

"Aku masih ingin hidup, menemani ayah."

"Iya, puteriku. Ayah janji, ayah tidak akan membiarkanmu mati." Isak ayah yang kemudian mengecup dahiku.

Semenjak ibu meninggal sepuluh tahun lalu, ayahlah yang menjaga dan mencintaiku.

"Ada perlu apa kau mencariku?" Sebuah suara menyapa setelah pintu terbuka, memunculkan sosok Wang Yi dengan pakaian dan jubah serba hitam. Mata semerah darahnya terpampang jelas.

"Lihat, apa yang kau lakukan pada puteriku?!" kata ayah menggebu-gebu.

Wang Yi mendengus geli, tubuh tegapnya bersandar pada dinding.

"Harusnya kau bersyukur karena aku masih membiarkannya hidup."

Benar-benar tidak punya hati, bagaimana bisa dia berkata begitu? Jelas-jelas aku sangat tersiksa dengan keadaan ini.

"Wang Yi, aku tidak ingin memperpanjang hal ini. Aku ke mari untuk memintamu menyembuhkannya," kali ini ayah menghela nafas lebih berat, menunduk menatap pilu padaku.

"Menyembuhkannya?" Wang Yi berdiri tegak lalu berjalan mendekat. Entah seperti apa keadaan penduduk yang menunggu di luar gerbang, yang jelas aku bisa merasakan aura mengerikan yang menguar dari tubuh Wang Yi.

Bibir tipis itu menyeringai iblis ketika mata kami bertemu di satu titik.

"Tinggalkan dia di sini," ayah mendongak, menatap Wang Yi sepenuhnya.

"Tidak mungkin aku meninggalkan puteriku di sini. Hidup di tengah-tengah makhluk seperti kalian," tolak ayah penuh penekanan.

"Makhluk seperti kalian? Seperti apa maksudmu?" Lagi-lagi Wang Yi menampilkan seringai iblis.

"Kumohon, Wang Yi. Tolong, tolong sembuhkan puteriku." Ayah menyatukan kedua tangan, meletakannya di depan dada dengan kepala menunduk penuh permohonan.

"Sudah kukatakan, tinggalkan dia di sini." Ucap Wang Yi tak acuh. Dia kembali memutar tubuh, melangkah menjauh menuju pintu.

"Aku tidak punya banyak waktu. Pergilah." Imbuhnya yang siap membuka pintu, masuk ke dalam castile.

"Ayah," panggilku lemah. Meremas lengannya  tanpa niat menyakiti.

Kembali kristal milik ayah meleleh di wajah keriputnya.

"Baik, aku akan meninggalkannya di sini. Tapi, berjanjilah kau akan menyembuhkannya. Membuatnya kembali seperti sedia kala."

"Aku janji," tukas Wang Yi cepat. Secepat dia mengambil alih tubuhku dari ayah.

Terakhir yang kulihat adalah wajah sedih ayah. Aku tidak bisa membayangkan menjalani hari tanpanya.

Akankah aku bisa? Dan, akankah Wang Yi menepati janjinya?

...

Sebuah ruangan lembab dan dingin kini menjadi tempat tinggalku yang baru. Tak ada lampu, yanya nyala lilin yang menguar bau. Entah bau apa, sepertinya citrus atau sejenis obat herbal yang tidak kutahu.

"Selamat datang di neraka," ucap Wang Yi menyeringai, membuatku yang masih dalam pangkuannya gemetar.

"Tenanglah, aku bukan malaikat pencabut nyawa."

Kupukul dada bidangnya dengan tenaga yang masih tersisa.

"Kau mau apa, hah? Memukulku?" Desisnya menggeleng meremehkan.

"Jadilah peliharaan yang penurut."

Dibaringkannya aku di atas kasur berukuran besar di sudut ruangan. Di sebelahnya terdapat jendela kaca yang dibiarkan terbuka, memaparkan keindahan malam di desa sebrang di mana aku dibesarkan.

Tangan Wang Yi bergerak pelan, memaksaku untuk duduk dan menatapnya.

"Kau tahu harga yang harus kau bayar untuk bisa sembuh?" Aku menggeleng lemah.

"Aku akan mengambilnya sendiri dan kau tidak bisa mencegahku."

Seketika mataku membulat, merasakan sesuatu yang lembut dan dingin bergerak di bibir ini.

Aku memekik, meremas lengannya sekuat mungkin namun tidak memberi pengaruh apa pun. Dia tetap melanjutkan aksi gilanya. Lalu, setelah beberapa detik sesuatu yang tajam kembali menancap di leherku dan perlahan semua menjadi gelap.

...

Mentari menerobos masuk melalui celah gorden. Aku membuka mata, menatap sekeliling sampai akhirnya dikejutkan oleh tangan seseorang yang melingkar di pinggang.

"Menjauh dariku!" Ketusku menepis tangan Wang Yi, lalu melompat dari atas kasur. Memasang kuda-kuda siap menyerangnya.

Pria yang hanya mengenakan celana tersebut mendengus kasar. Menatapku tajam dalam posisi duduk.

"Carikan aku sarapan."

"Sarapan? Sarapan apa? Aku bukan pelayanmu!" Tukasku masih mempertahankan kuda-kuda.

"Kau lebih suka jika aku menghisap darahmu? Begitu?"

Darah? Aku jadi ingat kejadian tadi malam. Mengerikan. Eh, ngomong-ngomong pagi ini aku merasa lebih baik. Lebih berenergi.

"Apa kau sudah tidak waras?" Desis Wang Yi yang sepertinya mulai kesal melihatku senyum-senyum sendiri. Betapa tidak? Aku senang luar biasa. Aku sembuh.

"Kau salah besar jika berpikir sudah sembuh," tubuh Wang Yi berangsur. Meraih pakaian yang tergantung lalu mengenakannya bersama jubah kebanggaan.

Seketika hatiku mencelos, menyadari keinginan untuk pulang harus ditunda.

"Maksudmu, aku belum sembuh seutuhnya?" Tanyaku berjalan mendekat, menepis semua rasa takut yang bergejolak.

"Aku tidak yakin kau bisa sembuh."

"Apa? Kau menipuku? Menipu ayah?! Monster tidak punya hati!!" Teriakku mengumpatinya tak henti dan dia malah tertawa tidak tahu diri.

'Wang Yi, kenapa kau sejahat ini? Tapi, kenapa juga hati kecilku percaya kau tetaplah makhluk Tuhan yang diberkahi nurani?'

...

Aku berjalan tepat di belakang Wang Yi, tentu masih dengan mengenakan pakaian kemarin. Tidak mungkin dia meminjamkan pakaiannya padaku.

Kami berjalan menuruni anak tangga tanpa suara, hanya ada dentum sepatu pada lantai berkarpet merah.

"Makanan," suara seseorang yang disertai geraman membuatku membeku di tempat begitu pun dengan Wang Yi, hanya bedanya pria itu tetap setia mempertahankan sikap angkuhnya.

"Dia ternakku," ucap Wang Yi menatap pria berwajah pucat yang duduk di sofa.

Tiba-tiba sepasang sejoli keluar dari sebuah ruangan. Menatapku penuh nafsu seakan di mata mereka aku adalah makanan terlezat di atas meja.

"Kau tidak keberatan untuk berbagi bukan?" Ucap pria berambut ikal menyeringai, sementara gadis bermata sipit di sampingnya menjilat bibir sendiri penuh gairah.

Tanpa sepatah kata aku langsung mendekat pada Wang Yi, bersembunyi di balik punggung tegapnya dengan tangan gemetar yang menggenggam jubah pria ini.

"Carilah ternakmu sendiri," ucap Wang Yi terlalu santai. Dia mengabaikan semua tatapan kesal yang ditujukan padanya.

"Ayo pergi," tangan dinginnya menarik lenganku sekali hentak, membuat sebuah ringisan keluar begitu saja.

Lalu, setelah kami berada di halaman depan aku menghempas tangannya dan dia membiarkan begitu saja.

"Kita akan pergi ke mana?" Tanyaku mendongak, menatap wajah tampannya yang tidak pernah menunjukan ekspresi apa pun. Datar persis halaman tempat kami berdiri.

Ya, kuakui dia memang tampan dan mungkin itu salah satu alasan mengapa sebangsanya mudah mendapatkan mangsa.

"Bukankah sudah kukatakan? Carikan aku sarapan," ketusnya menatap tajam.

"B-bagaimana jika mereka memburuku di luar sana?" Tunjukku pada dataran tinggi di depan Castile.

"Aku akan mengawasimu."

"Nanti kau bisa terbakar!" Tukasku sedikit berteriak.

"Terbakar?"

"Iya, terbakar. Semua penduduk tahu jika bangsa vampire sepertimu tidak bisa terkena sinar matahari," jelasku kembali mendongak menatapnya.

"Apa kau peduli padaku?"

Deg!

Aku membisu, senyumannya terlalu manis. Padahal begitu tipis dan nyaris tak terlihat.

Buru-buru aku menggeleng, menarik diri ke alam sadar. Aku tidak boleh tertipu dua kali olehnya.

"Tidak semua yang kau dengar adalah kebenaran. Ayo pergi," ucapnya yang kemudian berlalu. Membiarkan sinar mentari menerpa seluruh tubuhnya di sepanjang jalan yang dilalui.

...

Aku mulai memetik blueberry, menggabungkannya dengan buah apel yang sudah dipetik tadi.

Sejauh mata memandang sosok Wang Yi tidak terlihat di mana-mana, sepertinya dia mencari tempat teduh untuk beristirahat. Entahlah. Aku tak peduli.

Awalnya kupikir makhluk penghisap seperti mereka hanya bisa bertahan hidup dengan darah, rupanya salah. Mereka tidak jauh berbeda dengan kelelawar pada umumnya. Mengkonsumsi buah-buahan.

...

Kuletakan keranjang buah di atas rerumputan, lalu membaringkan tubuh ini di sampingnya. Menatap langit cerah di balik ranting dan bunga sakura. Indah.

"Kira-kira apa yang sedang ayah lakukan di rumah? Aku merindukannya."

Srekk... Srekk...

Aku langsung mendudukan diri, menatap ke arah suara. Semak belukar di pinggir sana bergerak pelan, membuatku menegang, menelan saliva yang tiba-tiba terasa menggumpal.

"Wang Yi!!" Teriakku begitu sesuatu melompat dari semak belukar.

"Meong,"

'Anak kucing?' aku membatin, sementara Wang Yi yang entah datang dari mana langsung menatapku tajam.

"Ayo pulang," ucapnya memutar tubuh, berjalan tanpa mempedulikanku.

"Meong."

"Lucunya," gemasku memangku si anak kucing.

"Wang Yi, bolehkah aku membawanya ke Castile?"

Dua, tiga kali aku berteriak Wang Yi tidak juga menyahut. Akhirnya kucing tersebut kubawa saja bersama keranjang yang cukup berat.

"Wang Yi, lihat! Kucingnya lucu, ya?" Susah payah aku mengimbangi langkahnya. Menyebalkan. Tidak bisakah berjalan sedikit pelan? Dia enak tidak membawa apa-apa sementara aku?

"Jauhkan hewan berbulu itu dariku!" Ketusnya menoleh sekilas lalu berjalan lebih cepat, membuatku tidak bisa mengejarnya.

"Wang Yi jahat! Tunggu aku!"

...

" Meong... Meong... Meong..."

Sejak tadi kucing lucu ini tidak bisa diam, kurasa dia lapar tapi sayang, di sini tidak ada yang bisa dia makan.

"Berisik," Wang Yi menggeram, membuat anak kucing di gendonganku bergetar hebat.

"Wang Yi, kau menakutinya!" Decihku tak suka. Lalu memilih berdiri di dekat jendela, mengabaikan pria bermata merah itu.

"Coba saja aku berada di rumah, pasti ada makanan untukmu." Gumamku mengelus kepala si anak kucing.

"Kalau di sini jangankan untuk kucing, untukku saja tidak ada."

Entah Wang Yi kesal atau apa, dia beranjak tanpa mengatakan apa pun. Eh, siapa yang peduli? Itu bukan urusanku.

Aku menghela nafas, sudah hampir dua jam Wang Yi keluar tapi belum juga kembali. Apa dia baik-baik saja? Bagaimana jika ketiga vampire tadi pagi menyerangnya bersamaan, lalu dia mati?

"Ah, lupakan!" Kupukul gemas kepala yang kerjanya  memikirkan monster itu. Lalu mencoba terlelap bersama Mimi, anak kucing kami. Maksudnya anak kucingku.

...

"Meong."

"Meong."

Samar-samar kudengar suara Mimi, namun begitu tangan ini meraba di mana seharusnya anak kucing itu berada, dia tidak di sana.

"Mimi?" Refleks aku membuka mata, mendudukan diri seraya mengedarkan pandangan.

Rupanya anak kucing itu tengah bersama Wang Yi di bawah jendela. Pria itu memberinya makan? Apa aku tidak salah lihat?

"Kau sudah bangun? Segeralah makan, aku sudah tidak bisa lagi menunggu." Kalimat terakhirnya membuatku mengernyitkan dahi.

"Kenapa? Kau tidak mau makan?" Ucapnya lagi, namun kali ini dia menoleh ke arahku.

Aku benci ruangan ini. Penerangan yang redup menjadikan mata merah itu menyala sempurna. Mengerikan.

Tanpa mengulur waktu aku langsung menyantap makanan yang tersaji di atas meja berukuran panjang tanpa sebuah kursi. Kalau begini keadaannya aku harus makan sambil duduk di lantai.

"Jadi, kau pergi ke pasar?" Tanyaku ragu-ragu.

"Kau mau apa?" Bukannya menjawab, dia malah melotot tidak jelas.

"A-apanya?"

"Kenapa duduk di lantai?" Wang Yi menggeram membuat anak kucing di dekatnya melompat ketakutan.

"M-memangnya aku harus duduk di mana?" Tukasku memaksakan diri. Dia terlihat lebih menakutkan dari tadi pagi.

"Kau boleh menggunakan kursiku," ucapnya tanpa menatapku. Dia berusaha menenangkan kembali si anak kucing.

Aku menoleh ke tempat di mana sebuah kursi besar berwarna sekelam malam dengan ukiran rumit yang sama sekali tidak kumengerti.

'Benarkah tidak akan terjadi apa-apa jika aku duduk di sana?'

"Apa yang kau tunggu?"

"A-aku merasa itu sangat tidak sopan."

"Tidak sopan? Apa artinya sama dengan takut mati?"

Sontak mataku membulat. Mungkinkah dia bisa membaca pikiran?

"Apa perlu aku membantumu duduk?"

"T-tidak! Aku bisa melakukannya sendiri." Tukasku tersenyum kaku, lalu buru-buru bergegas menuju kursi tersebut.

...

Malam sudah semakin larut dan aku masih saja berdiri di depan jendela, menatap desa sebrang sebari memikirkan ayah. Sementara Wang Yi, sejak tadi dia terus menatapku dari kursi kesayangannya itu.

Andai dia manusia biasa aku pasti memakinya habis-habisan karena dia sudah mengurungku di sini. Di tempat terkutuk yang dingin. Toh, aku juga sudah sembuh, meski dada ini terasa sedikit nyeri.

"Kau belum juga mau tidur?"

Deg!

Kenapa dia suka sekali mengagetkan?

"A-aku-"

Seketika tubuh ini menegang, kejadian kemarin malam kembali terulang. Apa di matanya aku terlihat seperti gadis murahan?

Setetes air mata jatuh begitu saja, namun meski begitu aku tidak bisa menghentikan kegilaan pria bertubuh dingin ini dan untuk yang ke sekian dia menghisap darahku.

...

Aku terbangun ketika langit sudah mulai gelap. Berapa lama aku tidak sadarkan diri? Sehari? Dua Hari? Atau seminggu?

Kuedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Di sini tiada siapa-siapa, bahkan Mimi kucingku pun tidak kelihatan. Namun, setelah beberapa saat samar-samar suaranya terdengar dari luar.

Aku yang penasaran dan lebih banyak cemas beranjak membuka pintu, mengikuti asal suara tersebut. Semakin lama suaranya semakin jelas.

"Kau mencari ini?" Ucap pria berwajah pucat yang pernah kutemui waktu itu. Ya, aku ingat, dia adalah pria yang duduk di sofa.

Mata semerah darahnya melirikku sekilas, lalu kembali fokus pada anak kucing dalam gendongannya.

Aku menelan saliva yang terasa menggumpal. Kaki ini juga ikut gemetar, terlebih hatiku.

"Hah, sekarang tubuhmu sudah bersih dari racun." Desis seorang gadis yang dalam sekejap mata berdiri di sampingku. Hidungnya mengendus layaknya seekor anjing.

Sementara di belakang, di lorong menuju kamar Wang Yi yang baru saja kutinggalkan, pria berambut ikal berdiri dengan seringai mengerikan.

"A-apa yang kalian inginkan?" Pertanyaan bodoh itu keluar dari mulutku.

Mereka tertawa renyah.

"Tentu saja menikmatimu," untuk yang kedua kali aku menyaksikan gadis bermata sipit tersebut menjilat bibirnya penuh gairah.

"Wang Yi tidak akan membiarkan kalian!" Kestusku sok berani. Menahan diri supaya tidak terlihat lemah.

"Ah, sudah jelas Wang Yi tidak lagi menginginkanmu."

"Maksudmu?" Aku menoleh pada pria berambut ikal.

"Rupanya kau tidak menyadari hal itu?" Dia terkekeh.

"Kedatanganmu ke mari sudah diperkirakan," timpal si gadis.

"Setiap gigitan yang kami berikan memiliki racun, hanya saja beberapa bisa mengendalikannya sampai tidak menyebabkan kematian. Namun, hal itu akan  membuat tubuh korban ketergantungan."

Ketergantungan? Pantas saja, setiap kali Wang Yi selesai menghisap darahku, keadaan tubuh ini semakin membaik.

"Tapi, syukurlah. Wang Yi sudah mengeluarkan racun itu dari tubuhmu," imbuh si pria berwajah pucat tersenyum ke arahku.

"Itu benar, sekarang kau bukan lagi ternaknya." Sanggah gadis yang nampak asik memainkan rambut panjangku.

"Aku tidak pernah mengaganggu kalian. Jadi-"

"Tidak pernah mengaganggu? Aroma tubuhmu jauh lebih dari mengganggu," desis pria berwajah pucat. Tangannya mencekik si anak kucing tanpa belas kasih, membuat makhluk tak bersalah itu meronta-ronta.

"T-tuan, kumohon lepaskan kucing itu."

"Kau masih peduli pada binatang ini? Padahal dirimu sendiri belum tentu selamat," tukasnya menyeringai, namun dalam hitungan detik kucing tersebut dia lemparkan ke arahku Dan refleks aku langsung menangkapnya.

"Mimi?"

"Mimi?"

"Meong."

Aku menghela nafas, syukurlah dia masih hidup.

"Ah, membosankan! Ayo kita akhiri saja sebelum si bajingan itu kembali," ketus pria berambut ikal. Dengan gerakan cepat tangannya menarik pinggangku.

"Dia bukan milikmu seorang, Will!" Desis si gadis tidak terima, begitu pun dengan si pria berwajah pucat.

Jujur saja, saat ini aku sangat berharap Wang Yi ada di sini.

"Argh,"

Swekk!

Lengan baju sebelah kananku dirobek begitu saja, tidak hanya itu, kuku si gadis juga sukses menciptakan goresan. Membuat darah segar merembes dari sana.

Aku hanya bisa bergerak seadanya, menepis tangan mereka sambil mempererat pelukan pada Mimi.

Slurupp

Menjijikan. Teranga-terangan mereka menunjukan sisi binatangnya.

Lalu, begitu salah satu di antara ketiga makhluk tersebut siap menancapkan taring, kaki panjang seseorang menendang wajahnya dan dengan cekatan dia menyembunyikanku di belakang tubuhnya.

"Wang Yi," aku memekik menahan tangis. Antara bahagia dan takut bergumu menjadi satu.

"Cepat tinggalkan tempat ini!" Perintah Wang Yi tanpa menoleh. Tatapannya terus menghunus ketiga makhluk mengerikan di depan kami. Sepertinya mereka benar-benar murka.

"Menyingkirlah, bajingan! Dia bukan ternakmu lagi."

"Jangan membuat kami marah."

"Argh..."

"Kubilang, tinggalkan tempat ini!" Ketus Wang Yi lagi. Kali ini dia menatapku bengis.

Aku langsung berlari mengikuti karpet merah menuju tangga dan ketika di ujung tangga kutemukan sekeranjang makanan lengkap dengan nasi dan lauk pauk yang sudah tercecer di lantai.

'Mungkinkah Wang Yi baru saja kembali dari pasar?' Aku mendongak ke lantai atas menatap kuncup kepala pria bertubuh dingin yang terus bergerak. Lalu, kaki ini kubawa berlari, namun keadaan yang gelap membuatku jatuh berkali-kali, bahkan Mimi sempat terpental. Beruntung dia tidak kenapa-napa.

Brakkk

Brukkk

Bugk

Suara keributan dari lantai atas terdengar sampai halaman depan. Aku yang memang masih ingin hidup terus berlari menuju dataran tinggi yang pernah kami kunjungi.

Mentari sudah tak terlihat lagi, bahkan indahnya senja tak memiliki arti.

Aku mencoba mengatur nafas, mendudukan diri sebentar lalu kembali berlari. Namun, tiba-tiba saja teringat ayah.

'Bagaimana jika Wang Yi mati? Lalu, ketiga makhluk mengerikan itu menyerang desa? Menyerang ayah?'

Aku berhenti berlari, menengok Castile yang sudah lumayan jauh.

"Aku tidak punya pilihan lain," gumamku pelan.

Mimi yang berada dalam dekapan pun kuturunkan.

"Mimi, pergilah. Jangan biarkan mereka menangkapmu," kuelus kepala Mimi sambil menghadiahkan senyum. Setidaknya ada seonggok nyawa yang berhasil kuselamatkan.

...

Wang Yi terkulai di lantai, sementara dua pria yang menyerangnya masih berusaha berdiri dan di pojok sana si gadis bermata sipit terbujur kaku dengan dada menganga.

"Kau pikir, kau masih yang terbaik? Heh?" Si pria berambut ikal berdecih meremehkan.

"Dia sudah membunuh kekasihmu, habisi saja." Desis si pria berwajah pucat menyeka darah yang keluar dari sudut bibir.

"Kau benar-"

"Tunggu! Akulah yang kalian inginkan," teriakku berlari ke tengah-tengah mereka.

"Xing-xing!" Geram Wang Yi. Sekuat tenaga dia mencoba bangkit.

Apa itu? Barusan dia memanggilku menggunakan nama. Benar 'kan? Kapan aku memberitahunya?

Aku menoleh, menatap Wang Yi dengan seulas senyum.

"Terimakasih, Wang Yi. Kau sudah menepati janjimu pada ayah."

"Kau lihat? Dia sendiri yang menyerahkan diri pada kami!" Kedua makhluk mengerikan itu tertawa penuh kemenangan dan Wang Yi hanya bisa menggeram di tempatnya.

Namun, belum sempat mereka menyentuh ujung rambutku, segerombolan kucing raksasa melompat begitu saja. Menerkam, lalu mencabik tubuh kedua makhluk tersebut sampai tak berbentuk.

Meski terlihat jauh menakutkan, sekarang aku merasa aman.

"Wang Yi, bertahanlah!" Kuletakan kepala pria bermata merah itu di pangkuan. Lalu tanpa memikirkan sebab-akibat aku melukai tangan sendiri, membiarkan darah yang terus menetes berjatuhan di bibirnya.

Sekelompok kucing raksasa berdiri mengelilingi kami, satu di antara mereka terselip Mimi yang rupanya merupakan keturunan kucing hutan raksasa. Ya, aku pernah membaca sejarah mereka dalam sebuah buku di perpustakaan.

"Xing-xing, maaf aku tidak pernah bersikap baik padamu."

Aku menggeleng kuat, mencoba meyakinkan Wang Yi jika aku tidak lagi mempermasalahkan sikapnya.

"Dengar. Sebenarnya, sudah sejak lama aku merhatikanmu."

"A-aku menyukaimu, Xing-xing."

Perlahan genggaman Wang Yi pada tanganku terlepas dan sepasang matanya tertutup rapat. Padahal, aku juga ingin menyampaikan sesuatu. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah kusadari.

Untuk kali pertama aku menangisi kepergian monster sepertinya.

Andai waktu bisa diulang, aku ingin kita bertemu dan berpisah dengan cara paling baik tanpa rasa sakit.

#end

_

***

avataravatar