7 Waktunya Menjerat Eros

Namara turun ke lantai bawah dengan kepala yang tertunduk. Dia bisa merasakan beberapa pasang mata yang diam-diam mengamatinya. Namun, dia tidak akan memedulikan mereka.

Setelah tiba di sebelah Ananme, Namara baru bisa melihat kondisi wanita itu dengan baik.

Pandangan mata Ananme kosong. Lingkar hitam di matanya bisa dilihat dengan jelas. Ada banyak memar merah di leher dan lengannya yang Namara yakin itu adalah bekas pukulan atau bahkan cambukan.

Bibir Ananme terlihat kering dan pecah-pecah. Seharusnya dia adalah wanita yang cantik, tetapi Ananme benar-benar direduksi menjadi sangat menyedihkan seperti itu.

Hati Namara sedikit bergetar. Apa itu semua adalah perbuatan Eros? Bagaimana pria itu bisa sangat kejam?

Namara menggengam tangan Ananme dengan lembut. Kemudian dia membawanya pergi dari sana secara perlahan. Jujur saja dia sedih melihat kondisi wanita itu. Mereka sama-sama perempuan. Dan Namara tidak bisa merasa baik-baik saja setelah melihatnya.

Sekarang dia mempertanyakan keputusannya sendiri. Apakah jalan yang dia ambil sudah benar?

Namara membawa Ananme naik ke tangga. Wanita itu hanya diam masih dengan tatapan yang kosong. Perasaan Namara menjadi semakin tidak enak.

Sementara itu Eros mengawasi Namara sejak tadi. Dia masih ingat dengan wanita itu. Wanita yang sempat membuatnya marah beberapa hari yang lalu.

Sudut bibirnya tiba-tiba terangkat. Kemudian dia memberi isyarat pada Verna yang langsung membuat wanita itu terkejut.

"Tuan, tapi …."

"Tidak ada kata tetapi. Aku akan menunggunya sekarang," ucap Eros yang kemudian berdiri meninggalkan kursi kebesaran. Sosoknya melesat memasuki sebuah kamar. Itu kamar yang sama dengan yang terakhir kali dia kunjungi.

Sementara itu Namara sudah membawa Ananme ke kamar. Dia mendudukkan wanita itu. Dengan perasaan ragu dia memanggil, "Ananme?"

Tidak ada respons dari wanita itu. Namara menjadi sedikit resah. Dia menyentuh punggung Ananme dan mengusapnya, tetapi tiba-tiba Ananme mengindar dan menepis tangannya dengan kasar.

"Jangan menyentuhku!" teriak Ananme yang membuat Namara terkejut.

"Apa kau takut? Aku tidak akan melukaimu, Ananme," ucap Namara, dia berusaha meyakinkan wanita itu.

Ananme mendekap tubuhnya sendiri tanpa berani mengangkat kepala. Ada banyak ketakutkan yang tersimpan dalam matanya. Sebenarnya apa yang sudah terjadi padanya?

Namara mendesah prihatin. "Aku Namara. Aku juga sama sepertimu. Aku bukan sekutu Eros," lirihnya.

Akhirnya Ananme mau menatap Namara. "Kau sama sepertiku? Apa kau juga terluka olehnya?"

Ditanya seperti itu membuat Namara terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa.

"Kau berbohong? Kenapa kau hanya diam?! Apa kau ingin menyiksaku juga?!" teriak Ananme yang menjadi histeris. Dia mendorong Namara dengan keras dan mulai menangis keras.

"Siapa pun tolong bunuh aku sekarang! Aku tidak ingin hidup lagi!" jerit Ananme sambil menjambak rambutnya sendiri. Air matanya jatuh menganak sungai.

"Tidak, Ananme. Percayalah, aku tidak akan melukaimu …." Namara memegang tangan Ananme dan menggenggamnya dengan hangat.

"Kau harus hidup, kau tahu?"

Ananme terisak. "Seharusnya aku tidak pernah datang ke sini. Seharusnya aku …."

Namara langsung menarik Ananme ke dalam pelukan. Dia menepuk punggung wanita itu dengan lembut. "Tidak apa-apa. Sekarang semuanya sudah berakhir. Kau sudah lepas dari pria itu," bisik Namara.

Tiba-tiba Ananme menatap Namara dan melepaskan diri dari pelukannya. Tangannya mencengkeram pundak Namara dengan erat.

"Kau harus pergi dari tempat ini. Jangan pernah bertemu Eros, jangan pernah menarik perhatiannya." Ananme menggelengkan kepalanya beberapa kali sambil menatap Namara dengan serius.

"Kenapa?" Namara bertanya.

"Jangan …. Jangan pernah! Dia adalah pria gila! Dia bisa menyiksa dan membunuhmu!"

"Maaf, Ananme. Aku tidak bi—" Kata-kata Namara terhenti ketika tiba-tiba melihat perubahan Ananme. Matanya melebar tidak percaya.

"Kau …."

Namara melihat kedua iris mata Ananme yang berubah dari hitam menjadi keemasan. Rambutnya pun berubah menjadi kemerahan, sama seperti Namara.

"Kau berasal dari klan Matahari?" tanya Namara yang hampir tidak percaya. Apa Ananme menyamar?

Ananme mengangguk dan menatap Namara dengan sendu. Air matanya kembali turun dan dia terisak lagi. Perasaannya benar-benar hancur sampai pada titik yang sulit dijelaskan.

"Kita berasal dari klan yang sama. Jangan takut. Aku tidak akan melukaimu," ucap Namara. Rasanya masih tidak menyangka bisa bertemu wanita lain yang berasal dari klan Matahari.

"Aku terlalu bodoh. Aku benar-benar bodoh!"

"Tenanglah. Kau bisa bercerita padaku jika mau."

Ananme tidak membalasnya. Dia hanya menangis dan menangis sampai tiba-tiba seseorang mengetuk pintu dari luar.

"Namara, pergi bersihkan diri dan ganti pakaianmu sekarang! Setelah itu turunlah ke bawah!" Itu tak lain adalah suara Ilene.

Namara menggigit bibir dengan ragu. Apa lagi yang akan Verna lakukan padanya? Apa hari ini dia akan mulai disuruh untuk melayani para bajingan?

Ananme mencengekeram tangan Namara dengan erat. "Jangan …. Itu pasti Eros. Jangan pergi. Jangan ke sana." Dia menggelengkan kepalanya dengan kuat.

"Jika itu dia …. Aku justru harus menemuinya."

Ananme menggelengkan kepala. Cengkeramannya semakin kuat menahan Namara. "Dia akan menyiksamu, dia akan meremukkan setiap tulang di tubuhmu. Kau … akan masuk ke nerakanya Kingglen," bisik Ananme dengan pandangan mata yang tampak hilang.

Namara menelan ludahnya sendiri. Semakin banyak mendengar ucapan Ananme, semakin gugup pula perasaannya. Apa tempat itu benar-benar semenakutkan itu?

Namun, melihat bagaimana kondisi mental Ananme membuat Namara semakin yakin dengan satu hal. Eros memang pria yang kejam.

Namara mencoba menguatkan hati. Bagaimanapun juga dia harus tetap pergi ke klan Sayap Hitam. Dia sudah tidak memiliki pilihan untuk kembali. Tidak ada kesempatan untuk berbalik.

"Ananme, tetaplah di sini. Aku hanya akan pergi sebentar. Beristirahatlah dan tenangkan dirimu."

Ananme menangis lagi. Kejiwaannya tidak stabil. Wanita itu benar-benar sudah dibuat gila di istana klan Sayap Hitam.

Namara hanya bisa menghela napas panjang. Dia membaringkan Ananme di tempat tidur hingga wanita itu meringkuk membelakanginya. Suara isakannya masih terdengar samar.

Setelah itu Namara segera pergi membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan pakaian yang masih baru. Perasaannya sedikit tidak tenang.

Namara mengepang sebagian rambutnya di depan cermin tua yang sudah lapuk. Dia menoleh melihat Ananme. Rambut wanita itu sudah berubah kembali menjadi hitam.

Seandainya dia bisa mempelajari mantra yang bisa mengubah penampilan hanya dalam beberapa detik pasti dia bisa menyamar dengan mudah, seperti Ananme.

Namara sudah selesai. Dia mendapati Ananme yang sudah tertidur. Itu membuatnya merasa lebih lega. Mereka sama-sama berasal dari klan Matahari. Dan itu membuat Namara semakin tidak ingin mengabaikannya.

Dengan jantung yang berdebar Namara melangkah keluar kamar. Dia menuruni tangga dan langsung disambut oleh Verna. Wanita itu meraih tangannya lalu menarik ke tempat yang cukup tersembunyi.

"Verna, apa yang—"

"Diam. Aku ingin berbicara berbicara hal serius denganmu!" ketus Verna. Akhirnya Namara diam.

"Kali ini kau tidak boleh membuat kesalahan. Kau ingat dengan hukumanmu, kan? Jika kau membuat kesalahan lagi aku akan memberimu hukuman yang jauh lebih kejam dari ini!" Verna memuntahkan ancamannya dengan penuh penekanan.

"Apa itu berarti aku akan bertemu dengan Eros lagi?" tanya Namara dengan ragu.

"Ya! Dia pasti masih menyimpan dendam padamu. Hati-hati saja kau. Cepat pergi! Jangan biarkan dia menunggu lama!" Verna memerintah sambil mendorong Namara. Sepertinya dia sama sekali tidak peduli dengan perasaan orang lain.

Namara menarik napasnya dalam-dalam. Baiklah. Namara, ini adalah waktumu untuk menjerat Eros.

avataravatar
Next chapter