18 Tanpa Kelembutan

Cengkeraman tangan Eros membuat Namara merasa tercekik dan kesulitan bernapas. Hal itu mengakibatkan kulit wajahnya berubah menjadi merah.

"Aku …." Namara bingung harus mengatakan apa. Dia sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi dan kenapa Eros terlihat sangat marah.

"Aku tanya sekali lagi, siapa kau?" Eros semakin tajam menatap Namara. Tangan kirinya yang terbebas segera mengeluarkan energi hitam yang menguar.

Namara bisa melihat energi hitam itu dari sudut matanya. Dia segera menutup mata dan bulir air bening lolos begitu saja melewati pipinya.

"Tuan …, aku tidak tahu apa maksud Tuan," bisik Namara. Dia berusaha terlihat menyedihkan.

Namun, respon Eros justru tidak terduga. Pria itu membentak, "Jangan bersikap menyedihkan di depanku!" Dia langsung melempar tubuh Namara hingga jatuh tersungkur ke lantai.

"Ahh ...."

Namara merasa kaki dan pinggangnya sangat sakit. Dia mencoba menggerakkan kakinya, tetapi sengatan rasa sakit itu membuatnya urung.

Sialan! Pria itu benar-benar orang yang kejam. Apa yang harus dia lakukan sekarang?

Percuma saja mencoba mengiba dengan tangisan yang menyedihkan. Sepertinya Eros justru tidak senang melihat seseorang menangis.

"Kau tahu apa yang paling aku benci di dunia?" tanya Eros sambil melangkah mendekat. Setiap langkahnya membawa aura menakutkan bak dewa kematian.

Namara hanya menggeleng tanpa menatap ke depan.

"Pengkhianatan. Jika kau datang membawa maksud tersembunyi … aku akan datang mencari rumahmu dan menghancurkan siapa pun yang ada di sana," ucap Eros dengan nada yang terdengar datar.

Dia membungkuk menangkap dagu Namara dan mengangkatnya agar menatap ke arahnya. "Apa kau mengerti?"

Di dalam hati Namara benar-benar tertawa mengejek. Sayang sekali dia memang memiliki maksud tersembunyi. Dia memiliki rencana besar yang akan mengantarkan klan Sayap Hitam pada sebuah bencana.

'Sejak kau membawaku ke sini maka kau sendiri akan menjadi penyebab kehancuran klanmu,' cemooh Namara di dalam hati. Meskipun begitu wajahnya tidak menunjukkan permusuhan apa pun.

"Mengerti," balas Namara pelan.

Eros kembali berdiri. Dia melangkah lalu duduk di salah satu kursi yang ada di sana. Matanya sama sekali tidak terlepas dari Namara.

"Pelayan!" Eros berseru. Tak selang lama kemudian seseorang yang diharapkan pun langsung datang.

"Ya, Tuan."

"Bantu dia membersihkan diri."

Pelayan wanita itu terdiam sebentar. Dia merasa takut seandainya Namara akan membuatnya terluka seperti yang terjadi pada Elise.

"Tunggu apa lagi?!"

"Ba—baik," jawab si pelayan dengan gugup. Dia juga takut membuat Eros marah. Jadi mau tidak mau dia langsung melakukan perintah pria itu.

Dia bergerak mendekati Namara. Dengan perasaan ngeri dia membantu wanita itu berdiri. Setelah itu mereka pun bergerak menuju kamar mandi.

Namara mengambil kesempatan ini untuk mencari tahu apa yang sudah terjadi. Dia bertanya, "Kenapa kalian memperlakukanku seperti orang aneh?"

Pelayan itu merasa sedikit tidak nyaman. Ragu-ragu dia menjawab, "Nona, pelayan yang pingsan itu sebelumnya tidak sengaja menyentuh tanda di bahu Nona. Apa Nona tidak merasakannya?"

Namara tidak menduga bahwa penyebabnya adalah itu. Dia sedikit tidak percaya. Bagaimana mungkin menyentuh tanda lahir seseorang bisa menyebabkan bahaya?

"Itu tidak mungkin. Kalian pasti salah paham. Ini hanya tanda lahir biasa," sangkal Namara. Dia menjadi heran juga. Kenapa orang-orang memperlakukan tanda lahirnya dengan cara berbeda?

Terakhir kali Xanda mengatakan jika tanda lahirnya sudah membuat Nera terluka. Dan sekarang pelayan ini mengatakan hal yang sama juga tentang Elise yang pingsan.

Namara sudah hidup 20 tahun bersama dengan tanda lahir itu. Dan selama itu pula dia tidak pernah mendapatkan keanehan apa pun. Namun, kenapa akhir-akhir ini ada saja hal yang sedikit tidak normal? Apa ini alasan kenapa Eros kembali mencurigainya?

"Nona, apa kau tidak mengetahui apa-apa tentang itu?" tanya si pelayan.

"Tidak."

Namara menggeleng dan itu membuat pelayan itu terdiam. Sebelumnya dia benar-benar melihat apa yang sudah terjadi dengan mata kepalanya sendiri. Mata tidak mungkin memalsukan sebuah kejadian, kan?

"Baiklah. Lupaka saja tentang itu. Maaf sudah membuat kalian takut," ucap Namara mengakhiri pembicaraan itu.

Kemudian mereka tiba di tempat yang di dalamnya terdapat kolam air berukuran cukup besar. Namara segera turun memasuki kolam. Untung kakinya tidak mengalami luka serius jadi itu tidak begitu merepotkan.

Namara menggosok tubuhnya untuk menghilangkan pasta hijau yang sangat menjijikkan. Setelah itu dia diberi cairan kental yang aromanya begitu harum.

"Pakailah itu untuk menghilangkan bau sisa pasta sebelumnya," ucap si pelayan.

Tanpa banyak bertanya Namara langsung mengoleskan cairan itu ke tubuhnya. Meskipun tercampur dengan air aroma wanginya tetap melekat di kulit. Itu barang yang cukup menakjubkan.

Setelah semua terasa cukup, Namara pun berniat naik ke permukaan. Akan tetapi, pelayan itu masih ada di sana dan memerhatikannya tanpa merasa sungkan.

"Bisakah kau keluar? Tolong tinggalkan pakaian dan kain pengering," pinta Namara.

"Jika Nona merasa malu, aku akan berbalik." Pelayan itu memutar tubuhnya hingga membelakangi Namara. Tangannya yang memegang pakaian bersih dan kain pengering terulur ke samping.

Namara benar-benar tidak habis pikir. Apa mereka pikir dia akan melarikan diri? Bahkan mandi pun harus diawasi.

Dengan perasaan tidak senang Namara melangkah keluar dari air. Dia segera mengeringkan tubuh dan mengenakan pakaian dengan cepat.

Kali ini pakaian yang dia kenakan terasa lebih nyaman. Selain itu ketika dipakai juga tidak begitu terbuka, tidak seperti pakaian di rumah pelacuran.

Hal itu membuat Namara merasa sedikit senang. Dia melangkah keluar diikuti si pelayan. Sekarang dia akan berhadapan lagi dengan Eros. Perlu persiapan mental untuknya.

Saat ini Eros masih duduk dengan posisi yang sama tanpa bergerak sedikit pun. Pikirannya berputar hanya untuk memikirkan tanda lahir Namara. Kenapa wanita itu terlihat seperti tidak tahu apa-apa?

Mungkin Eros bersikap seperti seorang bajingan yang kesenangannya hanya bermain dengan wanita. Namun, tidak ada yang tahu persis bagaimana karakter dia yang sebenarnya.

Tidak ada yang tahu bahwa, Eros tidak sesederhana yang mereka pikirkan.

Pada saat itu dia mendengar suara langkah mendekat. Dia langsung melihat Namara yang berjalan masuk dengan penampilan rapi. Wanita itu terlihat lebih segar dari sebelumnya.

Setelah tiba di dalam, Namara tidak tahu harus melakukan apa atau mengatakan apa. Dia hanya diam menunggu sampai Eros membuka suara.

"Aku akan memberi tahu peraturan apa yang mengikat hidupmu di sini," ucap Eros. Tidak ada riak khusus di wajahnya.

"Baik," balas Namara dengan singkat.

Eros berdiri dari tempat duduk. Dia berjalan mendekati Namara lalu berkata, "Satu, apa pun yang terjadi, jangan pernah menangis di hadapanku. Kau mengerti?"

Namara mengangguk.

"Dua, jangan pernah mengatakan tidak padaku." Itu berarti dia tidak ingin ditolak.

"Tiga, jangan pernah mengatakan jangan." Artinya dia tidak ingin dilarang.

Tangan Eros mendarat di pundak Namara lalu mendorongnya sedikit demi sedikit. Tubuh Namara mulai kaku. Kedua kakinya melangkah mundur hingga menemui jalan buntu saat tiba-tiba menabrak sisi ranjang.

"Empat, jangan pernah memanggil namaku." Hanya Tuan, seperti panggilan seorang budak pada umumnya.

Namara menelan ludah. Dia bisa memahami semuanya.

"Lima, jangan menanyakan hal-hal di luar batasmu."

Ya. Namara mengerti.

"Enam, jangan pernah mengguruiku."

"Tujuh …." Ternyata masih belum selesai.

"Jangan pernah mencoba melarikan diri atau kau tidak akan pernah bisa lari lagi, selamanya."

Pada saat itu Eros langsung mendorong Namara hingga jatuh ke atas Ranjang. Dia langsung mencium bibir Namara dan melumatnya tanpa kelembutan.

Tubuh Namara langsung berubah menjadi kaku. Dia terdiam dengan pikiran yang sedikit kacau. Apa pria itu akan menyentuhnya sekarang?

avataravatar
Next chapter