17 Siapa Kau Sebenarnya?

Di sebuah ruangan yang luas dan dipenuhi kemegahan, seorang pria paruh baya duduk di atas kursi kebesaran. Di atas kepalanya terdapat mahkota perak yang membuatnya terlihat seperti seorang raja.

Ekspresi wajahnya muram saat melihat pria tampan yang hanya diam seperti orang bodoh. Jarinya terangkat dan menunjuk pada pria yang tak lain adalah Eros.

"Kudengar hari ini kau membawa wanita lagi?" tanya Midas, kepala klan Sayap Hitam sekaligus ayah biologis Eros. Suaranya terdengar tidak menyenangkan.

"Ya, benar," balas Eros.

Melihat ketenangan di wajah Eros yang tanpa rasa bersalah ataupun penyesalan membuat Midas semakin marah. "Apa kau tidak punya rasa malu, hah?!" geramnya.

"Kenapa aku harus malu?" Eros membalas dengan sebuah pertanyaan.

"Benar-benar …." Midas semakin kehilangan kata-kata. Dia berdiri dan mengangkat tangan bersiap melayangkan serangan, tetapi tangannya dihentikan oleh seorang pria yang tiba-tiba muncul.

"Ayah, jangan terlalu keras padanya. Bagaimanapun juga dia adalah putramu," uca pria itu. Dilihat dari wajahnya dia tampak sedikit lebih tua dari Eros.

Dia adalah Leor, kakak laki-laki Eros.

Midas mendengkus dingin. Dia menatap Eros dengan perasaan jengkel. "Kau lihat sekarang? Leor adalah teladan yang baik. Kau harus mencontohnya!"

"Apa Ayah sudah selesai berbicara? Aku ingin segera menemui wanita—" Sebelum ucapan Eros selesai, tangan Midas kembali terangkat dan ….

Plakk!

Sebuah tamparan menghantam Eros dengan keras hingga tubuhnya terhuyung ke belakang. Kepalanya langsung berdenyut-denyut beberapa kali. Namun, selain itu tidak ada rasa sakit atau apa pun yang dia rasakan.

Eros hanya menatap ayahnya dengan datar sebelum akhirnya berbalik pergi. Matanya melirik Leor sekilas, tetapi Leor sama sekali tidak mengetahuinya.

"Berhenti di sana! Apa aku mengizinkanmu pergi?!"

Langkah Eros langsung terhenti. Tanpa menoleh ke belakang dia berkata, "Ayah, kau terlalu memikirkan citra klan Sayap Hitam sampai melupakan semak-semak yang mungkin berubah menjadi duri tajam."

Midas mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"

Eros hanya menyunggingkan seringaian tanpa menjelaskan apa maksudnya. Setelah itu dia langsung melangkah meninggalkan ruangan, menyisakan Midas yang tersenyum kecut.

"Anak itu pasti sudah terkena rayuan sihir wanita. Bagaimana aku bisa memiliki keturunan seperti itu?" Midas mengeluh sambil kembali duduk ke kursinya.

Leor menatap kepergian Eros dengan eskpresi yang tenang. Namun, sudut matanya yang dingin sama sekali tidak bisa disembunyikan. "Biarkan dia melakukan apa yang dia inginkan," ucap Leor.

Midas hanya diam.

"Memangnya apa yang Ayah takutkan? Ada aku di sini yang siap membantu Ayah kapan saja," ucap Leor mencoba untuk meyakinkan ayahnya.

Ada beberapa kekecewaan di wajah Midas. Dia tidak menjawab ucapan Leor. Sebaliknya dia kembali berdiri dan melangkah pergi begitu saja.

Leor diam mengepalkan kedua telapak tangannya. Ekspresi yang sebelumnya terlihat lembut, sekarang berubah menjadi datar. Sorot matanya menjadi dingin dan mulutnya pun terkatup rapat.

"Tuan, penyakit Nyonya Edheliel kembali kambuh!" seru seorang lelaki yang berlari tergopoh-gopoh ke arah Leor.

Kepalan tangan Leor langsung terlepas. Dia mengubah ekspresinya dengan begitu cepat. "Aku akan segera ke sana," ucap Leor yang kemudian melangkah pergi.

***

Sementara itu, di tempat lain Namara sedang merasa kesal. Dia menatap dingin pada beberapa wanita pelayan yang saat ini sedang melumuri tubuhnya entah menggunakan apa.

Pasta berwarna hijau giok sudah menutup sebagian kulitnya. Rasanya dingin dan sejuk, tetapi baunya sangat memuakkan. Namara benar-benar ingin mencuci seluruh tubuhnya sekarang.

"Ayolah, aku tidak membutuhkan ini semua," ucap Namara yang mencoba menepis tangan mereka. Dia berusaha bangkit dari posisinya yang menelungkup di atas kursi panjang.

Namun, usahanya sia-sia. Para pelayan itu langsung mendorongnya kembali agar tetap pada tempatnya.

"Nona, tolong jangan mempersulit kami. Ini adalah sesuatu yang harus kami lakukan. Jika tidak maka Tuan Eros akan menghukum kami," ucap salah satu pelayan yang terlihat paling dewasa.

Dia menyingkap kain yang menjadi satu-satunya penutup tubuh Namara. Gerakan tangannya cekatan menuangkan pasta hijau ke punggung Namara.

"Kalian …." Namara tidak tahu harus mengatakan apa. Dia membungkan mulutnya dan segera menjepit hidungnya dengan tangan kiri. Dia benar-benar tidak tahan dengan bau aneh itu.

"Bisakah kalian berhenti menyentuhku?!" seru Namara yaang merasa risih. Sejak tadi mereka begitu semena-mena membuka baju dan menyentuh tubuhnya. Itu membuatnya tidak nyaman.

"Nona, kita sama-sama perempuan. Jangan malu."

Jangan malu kepalamu! Namara ingin mengumpat. Namun, pada akhirnya dia hanya bisa pasrah. Dia tidak bisa menghentikan mereka semua.

Para pelayan melumuri setiap inci tubuh Namara dan sesekali memijatnya dengan lembut. Tidak bisa dipungkiri pijatan mereka memang membuat otot-otot di tubuh Namara begitu rileks.

Namara menjadi sedikit mengantuk. Dia menguap beberapa kali, tetapi tetap berusaha keras untuk mempertahankan kesadaran.

"Apa kalian masih lama?" tanya Namara.

"Perlu sedikit waktu lagi."

Namara menunggu dengan kepala yang terantuk-antuk. Dia tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Kepalanya terkulai begitu saja yang menandakan bahwa kini dia telah tertidur.

Para pelayan tidak mengatakan apa-apa. Mereka membiarkan Namara beristirahat.

Tak selang lama setelah itu Eros tiba-tiba datang. Para pelayan dibuat terkejut melihat kedatangannya yang cenderung lebih cepat dari biasanya. Mereka langsung berdiri dan menunduk hormat.

Eros melirik Namara yang tertidur dan berdecih. Bagaimana wanita itu bisa tertidur dan mengabaikan kedatangannya?

"Kalian belum selesai?" tanya Eros.

"Sudah, Tuan. Namun, dia tertidur dan kami tidak nyaman membangunkannya," balas si pelayan.

"Bangunkan dia. Merepotkan!" gumam Eros yang merasa tidak senang. Dia melangkah ke sisi jendela yang mengarah ke lautan hijau rerumputan dan mengabaikan urusan para pelayan.

"Nona, bangunlah. Tuan Eros sudah datang," panggil pelayan yang bernama Elise. Namun, panggilannya sama sekali tidak menggugah kesadaran Namara.

Akhirnya Elise mengangkat tangannya dan menepuk bahu Namara dengan pelan. Namun, tempat yang dia tepuk bertepatan di tanda lahir Namara.

"Aaahhh!"

Suara jeritan Elise terdengar begitu tiba-tiba dan mengejutkan semua orang. Eros segera menoleh dan langsung melihat sosok Elise yang sudah jatuh bersimpuh di lantai. Wajahnya terlihat pucat dan kaku.

Eros mengerutkan kening dengan heran. "Apa yang kau lakukan?"

"Tuan, ma—maaf," lirih Elise. Setelah itu dia jatuh tak sadarkan diri.

Para pelayan menjadi panik. Mereka segera menepuk Elise dan berusaha membangunkannya. Namun, wanita itu tampak sangat lemah dan tidak ada tanda-tanda akan tersadar.

Namara yang melihat pemandangan itu menjadi tertegun. Keningnya berkerut pertanda kebingungan. Sebelumnya suara teriakan Elise sudah membangunkannya. Dia tidak mengerti kenapa Elise bisa terkapar pingsan seperti itu.

"Apa yang terjadi?" tanya Namara pada para pelayan. Namun, mereka tidak menjawab, sebaliknya hanya menatapnya dengan tatapan ngeri.

Tentu saja Namara menjadi semakin bingung. Dia mengambil kain untuk membalut tubuh hijaunya. Kemudian dia bergerak mendekati Elise.

Para pelayan itu langsung mengangkat tangannya dan memberinya aba-aba agar tetap diam di tempat. "Tolong tetap di sana."

Namara menggelengkan kepala dengan bingung. Dia mengalihkan pandangannya dan langsung bertemu tatap dengan Eros yang berdiri di tepi jendela.

Apa pria itu sudah tiba sejak lama?

Eros menatap Namara dengan tajam. Sorot matanya seakan menelusup ke dalam tubuh Namara dan menerobos setiap sel-sel yang ada.

"Lyco!" teriak Eros. Orang yang dipanggil langsung datang dalam waktu yang cepat.

"Bawa pelayan itu keluar!" perintah Eros. Kemudian dia menunjuk pada para pelayan. "Kalian juga keluar!"

"Baik."

Pelayan-pelayan itu langsung pergi keluar. Lyco sendiri bergerak mendekati Elise sebelum akhirnya membawanya keluar.

Setelah mereka pergi, Eros langsung berjalan mendekati Namara. Setiap langkah yang dia ambil seakan menciptakan ketakutan bagi orang lain.

Tatapannya terasa sangat dingin dan menakutkan. Dia mengangkat tangannya dan dengan cepat mencengkeram leher Namara kuat-kuat.

"Katakan, siapa kau sebenarnya?"

***

Ayo yang udah baca, jangan lupa tinggalkan komentar dan review yaa ...

avataravatar
Next chapter