11 Pergi Menemui Seseorang

"Kemarilah. Biar aku melanjutkan pengobatanmu."

Akhirnya Namara kembali duduk memunggungi Xanda. Dia diam saja. Kepalanya masih sibuk memikirkan Xanda dan Ananme. Dengan sedikit ragu, dia bertanya, "Xanda, kau tahu Ananme?"

Xanda mengangguk. Setiap wanita yang dibawa Eros pasti gosipnya akan meluas. Tentu saja siapa pun akan tahu siapa orangnya.

"Aku tahu," balas Xanda.

"Dia sekarang berada di kamarku. Kondisinya sangat buruk," lirih Namara. Dia merasa sangat nyaman ketika perasaan sejuk menyelimuti punggungnya.

"Dia sudah kembali? Kenapa cepat sekali?" Xanda bergumam. Biasanya budak seks Eros akan kembali setelah dua bulan. Namun, kepergian Ananme belum lebih dari satu bulan. Itu sedikit … tidak biasa.

"Itu karena Eros tidak menyukainya. Kau harus melihat sendiri bagaimana kondisinya," balas Namara yang masih merasa prihatin.

Xanda mengangguk mengerti. Sejujurnya dia merasa heran, bagaimana Ananme bisa berakhir bersama Namara? Apakah mereka saling mengenal satu sama lain? Meskipun penasaran, dia tetap menahan diri untuk tidak bertanya.

Xanda terus menyalurkan kekuatannya. Dia berusaha sangat keras hanya untuk menghilangkan bekas luka di punggung Namara. Namun, sampai kekuatannya hampir terkuras habis pun bekas luka itu masih tidak bisa menghilang.

"Namara, aku tidak bisa membantumu lebih banyak," ungkap Xanda. Dia menyerah sekarang.

Namara menggigit bibirnya dengan perasaan tidak menentu. Dia berbalik menatap Xanda yang wajahnya kini menjadi sedikit pucat. Apa wanita itu menguras kekuatannya hanya untuk membantunya?

Perasaan Namara menjadi tidak enak, dia merasa bersalah. "Maaf, aku sudah merepotkanmu."

"Itu bukan masalah besar," balas Xanda. Dia langsung duduk di kursi dan menyandarkan tubuhnya ke balakang. Entah kenapa kali ini menyembuhkan Namara membuatnya kehilangan banyak energi.

"Kalau begitu kau di sini saja beristirahat," ucap Namara. "Aku juga perlu memikirkan sesuatu."

"Apa?" Xanda bertanya.

Namara terdiam. Dia memikirkan banyak hal. Tentang bagaimana caranya menghilangkan bekas luka itu, bagaimana caranya memasuki istana klan Sayap Hitam seandainya dia gagal dalam menjerat Eros. Dia juga memikirkan apa yang harus dia lakukan setelah ini.

Melihat Namara yang hanya terdiam, akhirnya Xanda kembali membuka suara. "Kau terlihat seperti sedang menanggung banyak beban pikiran."

Memang itulah kebenarannya. Namara benar-benar tidak bisa santai sekarang. Dia menatap Xanda dan menggeleng. "Bukan apa-apa. Aku hanya … bertanya-tanya. Apakah aku diperbolehkan keluar sebentar dari tempat ini?"

Xanda mengangkat sudut alisnya. "Ya. Kau hanya perlu meminta izin pada Ilene," balasnya.

"Baiklah. Aku rasa aku perlu mencari udara segar untuk berpikir," balas Namara yang berbohong. Dia bangkit dari tempat duduk. "Sekali lagi aku minta maaf, Xanda. Dan … terima kasih."

"Aku senang melakukannya. Jika aku tidak sibuk, nanti malam aku akan mengunjungi Ananme," ujar Xanda.

Namara mengangguk. Setelah itu dia langsung keluar dan kembali ke kamarnya sendiri. Kali ini dia mengganti pakaian dengan yang lebih tertutup lalu melanjutkan pergi menemui Ilene untuk meminta izin keluar.

"Apa yang akan kau lakukan?" Ilene bertanya dengan menyelidik. Tentu saja dia harus tahu apa tujuan seseorang yang meminta izin keluar. Dia juga tidak mau ada yang kabur dari tempat ini.

"Aku perlu membeli beberapa keperluan," balas Namara. Suaranya santai seperti biasa. Tidak ada yang tahu bahwa dia hanya berbohong.

"Sebelum malam kau harus sudah kembali," putus Ilene.

Namara mengangguk. Setelah itu dia segera melangkah pergi meninggalkan rumah pelacuran. Tidak, dia bukan sedang melarikan diri. Dia hanya ingin pergi menemui seseorang.

Kedua kaki Namara terus melangkah melewati jalanan kota Doretus. Kota ini merupakan pusatnya keramaian wilayah klan Sayap Hitam. Letaknya yang tidak begitu jauh dari istana klan membuat orang-orang memilih tinggal di sana.

Beberapa orang memerhatikan Namara dengan tatapan aneh. Mereka pasti merasa asing dan waspada pada Namara yang berasal dari klan Matahari. Meskipun begitu Namara tidak begitu peduli. Dia terus melangkah hingga berhenti di depan persimpangan.

"Ke mana aku harus pergi?" Namara bertanya pada dirinya sendiri. Dia melihat seorang wanita tua yang berjalan berlawanan arah sambil menggendong anak laki-laki kecil yang usianya tidak lebih dari lima tahun.

"Permisi …." Namara menghentikan wanita itu. Namun, bukannya berhenti wanita tua itu justru menghindar darinya. Sepertinya dia takut pada Namara.

Namara hanya bisa tersenyum masam. Padahal dia tidak memiliki niat buruk sama sekali. Dia hanya ingin menanyakan alamat seseorang.

"Apa aku terlihat begitu menakutkan?" Dia bergumam sendiri, "Tidak. Aku pikir aku terlihat sangat baik dan ramah."

Pada saat itu tiba-tiba seseorang menepuk lengannya yang langsung mengejutkan perasaannya. Dengan waspada Namara menjauh dan menoleh ke belakang.

Dilihatnya seorang gadis yang berdiri sambil tersenyum lebar hingga menampilkan barisan gigi-gigi putihnya. Usianya mungkin baru 9 atau 10 tahun.

"Kau adalah …."

"Apa yang sedang Kakak Cantik lakukan di sini?" tanya gadis itu.

Namara menyipitkan matanya sejenak. Setelah yakin tidak ada yang mencurigakan dari gadis itu, akhirnya dia bertanya, "Aku mencari rumah Master Orsley. Apa kau tahu di mana?"

"Master Orsley?" Gadis itu tampak mengingat-ingat.

Setelah beberapa saat dia pun berseru, "Aku tahu! Apa yang kau maksud adalah Si Tua Orsley yang akhir-akhir ini sangat suka bermain gasing?"

Wajah Namara berubah menjadi rumit. Benarkah itu orang yang sama dengan yang dia maksud? Dia merasa sedikit ragu. "Bisakah kau sebutkan ciri-cirinya?"

Gadis itu mengangguk riang. "Dia pria tua yang jelek. Rambutnya panjang dan tidak terurus. Mmm, tapi dia orang yang baik! Meskipun kadang-kadang juga sering tidak tahu malu mencurangi kami."

Namara tertawa sumbang. Sepertinya itu memang Master Orsley. Hanya saja dia masih tidak percaya bagaimana orang tua itu digambarkan sebagai orang tua yang suka bermain gasing.

"Bisakah kau membantuku menemuinya?" tanya Namara.

"Tentu! Ikutlah denganku!" Gadis itu menarik tangan Namara tanpa merasa ragu. "Namun, aku tidak yakin apakah Orsley Tua mau bertemu dengan orang asing sepertimu."

Namara tersenyum. "Seharusnya tidak ada alasan baginya untuk menolak bertemu denganku," balasnya. Kemudian dia menunduk menatap tangannya yang ditarik oleh gadis itu.

"Kau tidak takut padaku?"

"Tidak." Gadis itu menggeleng "Ibuku pernah mengatakan aku harus menjadi gadis pemberani."

"Ibumu pasti wanita hebat," ujar Namara. Dia jadi teringat pada ibunya. Sosok wanita cantik yang selalu memiliki tutur kata lembut. Ah, betapa dia sangat merindukannya.

"Tentu saja. Hanya saja kadang-kadang dia bisa sangat cerewet."

Namara hanya terkekeh geli mendengar jawaban jujur gadis itu. "Ngomong-ngomong aku belum tahu namamu."

"Aku adalah Ei-re-lla." Dia mengeja. Kemudian langkahnya terhenti ketika mereka tiba di depan rumah kecil yang terlihat sangat sederhana. "Sudah sampai!" serunya.

"Jadi ini rumah Master Orsley?" Namara mengamati baik-baik. Rumah di depan sana terbuat dari bebatuan yang ditumpuk dengan rapi. Tempatnya berada di ujung gang kecil.

"Terima kasih, Eirella," ucap Namara dengan tulus. Dia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan koin perak untuk membalas kebaikan gadis itu.

Namun, Eirella menolak, "Tidak, tidak. Ibu bilang jika membantu orang kita tidak boleh mengharap balasan apa pun."

Namara tersenyum manis. "Gadis baik." Dia mengacak rambut Eirella dengan gemas.

"Aku akan pergi sekarang. Semoga Orsley Tua mau menemuimu," kata Eirella yang kemudian melompat pergi dengan riang.

Senyum Namara tergantung cukup lama mengiringi kepergian Eirella. Setelah gadis itu menghilang dari pandangan barulah dia berbalik menatap pintu kayu yang tertutup rapat.

Master Orsley adalah satu-satunya harapan yang tersisa. Dia ingin berbicara dengan pria itu.

avataravatar
Next chapter