2 Eros

"Siapa namamu?" tanya wanita itu.

"Namara. Dan kau?"

"Namaku Xanda."

"Kau juga sama sepertiku?" Maksud Namara adalah seorang wanita penghibur.

Xanda mengangguk. "Tapi aku tidak menginginkan Eros. Tidak akan."

Namara tidak bertanya lagi. Rasanya seperti ada orang yang sedang mengawasinya dan itu membuat perasaannya tidak aman.

"Aku akan kembali ke kamar sekarang. Terima kasih," ucap Namara. Setelah itu dia langsung berjalan meninggalkan Xanda.

Sementara itu di lantai bawah, Eros mengalihkan perhatiannya pada Verna lalu menatapnya dengan intens. Tatapannya membuat Verna merasa sedikit menggigil.

"Aku tidak menyukai wanita yang ada di tempatku. Kau harus bertanggung jawab," ucap Eros. Meskipun nadanya tidak terdengar kejam, itu tetap membuat Verna merasa takut.

"Kalau begitu saya akan mempercepat pemilhan wanita untuk Tuan," balas Verna dengan cepat. Dia takut membuat Eros marah.

"Bagus. Seminggu lagi kau harus menyiapkan 21 wanita untuk kupilih."

Verna mengangguk cepat beberapa kali. "Mengerti, mengerti."

Setela itu Eros tiba-tiba berdiri. "Aku ingin bersenang-senang sekarang," ucapnya.

Verna menjadi gugup. Kedatangan Eros berada di luar jadwal dan dia belum membuat persiapan apa-apa.

"Kenapa kau hanya diam?" Eros menatap Verna tajam.

"Tuan, tolong tunggu sebentar," Verna berkata dengan takut-takut. "Kedatangan Tuan sangat mendadak jadi kami perlu beberapa waktu untuk mempersiapkannya."

Eros mendengkus dingin. "Jangan membuatku menunggu lama!"

Verna mengangguk cepat. "Pasti. Ini tidak akan lama."

Setelah itu Verna segera undur diri dan berlari menemui Ilene.

"Cepat siapkan anggur dan beberapa wanita cantik! Oh, sialan! Kenapa dia harus datang tiba-tiba seperti ini?!" Verna memerintah dan mengakhirinya dengan keluhan.

"Anggur sudah kupersiapkan, tetapi soal wanita … hanya ada empat orang yang saat ini sedang bebas."

Verna meremas jari-jarinya dengan gugup. Biasanya Eros menginginkan setidaknya lima wanita untuk menghabiskan kesenangan. Namun, sekarang hanya ada empat?

Ini adalah malapetaka.

"Tidak adakah wanita lain?" Verna membuang napas kasar. Dia mengurut kening beberapa kali sebelum akhirnya mengingat sesuatu.

"Aku tahu sekarang. Panggilkan Na … siapa? Wanita yang baru kau antar ke kamar!"

"Nona 17, Namara," ucap Ilene. Dia memiliki ingatan yang jauh lebih tajam dari Verna.

"Itu dia! Namara. Cepat biarkan dia bergabung dengan empat wanita lainnya!" perintah Verna.

"Nyonya, Namara masih belum mengerti banyak hal. Dia tidak akan bisa melayani Tuan Eros." Ilene mencoba membujuk Verna. Bukan karena dia tidak mau terjadi apa-apa pada Namara, tetapi karena tidak mau sesuatu terjadi pada rumah pelacuran ini jika sampai Eros dibuat marah.

"Tidak ada jalan lain. Lakukan saja seperti yang kukatakan! Aku tahu lebih banyak dari pada yang kau tahu."

Akhirnya Ilene mengangguk. Dia langsung menemui Namara yang saat ini sedang berdiri di tepi jendela. Wanita itu tampak sedang merenung.

"Kau mendapat pekerjaan sekarang," ucap Ilene.

Namara menelan ludahnya sedikit gugup. Secepat inikah dia memulai?

"Cepat ganti pakaianmu. Kau akan menemui tamu penting sekarang."

"Siapa?" Namara bertanya.

"Eros."

Jantung Namara berdetak lebih cepat. Dia akan menemui pria itu sekarang? Ini lebih cepat dari yang diperkirakan. Meskipun demikian, ini adalah hal yang bagus.

"Baik." Namara segera menyetujui.

Dia mengganti pakaiannya dengan pakaian tipis yang sebelumnya sudah dibawakan oleh Ilene. Meskipun rasanya dingin dan risih, dia tidak akan memedulikan itu semua.

"Ikut denganku sekarang," pinta Ilene.

Namara langsung mengikuti Ilene turun ke lantai bawah. Sosok Eros sudah tidak ada di kursi kebesaran. Kemungkinan berada di tempat lain.

Namara terus mengikuti Ilene hingga tiba di depan pintu besi yang tertutup rapat. Di sana ada dua pria berjubah hitam yang tidak terlihat wajahnya karena ditutupi tudung kepala.

"Nona 17 akan melayani Tuan Eros," ucap Ilene pada kedua pria itu.

Mereka mulai membuka pintu besi tanpa banyak bertanya. Kedua pria itu sudah mengenal Ilene dan memercayainya.

Perasaan Namara menjadi semakin tidak keruan. Antara tidak sabar, gugup dan khawatir yang bercampur menjadi satu. Berkali-kali dia mencoba meyakinkan diri bahwa dia akan berhasil.

Pintu terbuka dan Namara mulai melangkah masuk. Tangannya saling bertaut di depan, kepalanya menunduk sambil memperkirakan situasi di sana.

"Angkat kepalamu."

Namara mendengar suara itu. Dia segera mengangkat kepala hingga melihat pria yang saat ini sedang menatapnya dengan tanpa ekspresi.

Mata hitamnya lebih gelap dari malam dan lebih tajam dari pedang bermata dua. Kulitnya yang putih sangat kontras dengan pakaian serba hitamnya.

Empat wanita duduk melingkari Eros. Ada yang sedang memijat pundaknya,memijat lengannya, menuangkan anggur dan menyuapinya buah-buahan segar.

Rupanya dia memang pria bajingan seperti yang rumor katakan.

Diam-diam Namara mengangkat salah satu sudut bibirnya. Itu sangat samar dan samar. Seharusnya orang lain tidak bisa melihat cemoohannya, tetapi … Eros melihatnya!

"Apa kau baru saja mengejekku?" tanya Eros dengan suara yang dingin.

Namara terkejut, ternyata pria itu bisa mengetahui detail sekecil itu. Dengan cepat dia langsung menunduk dan menggeleng. Jantungnya berdegup kencang. Jangan sampai pria itu tersinggung.

Eros menyipitkan mata. Telapak tangannya dibuka dan kabut hitam langsung muncul di sana.

"Pembohong!" geram Eros. Mengikuti kemauannya, kabut hitam itu langsung melesat mencekik leher Namara.

Tanpa sadar Namara melangkah mundur. Dia merasa lehernya tercekik hingga kesulitan bernapas.

Sial! Ini benar-benar buruk. Dia bisa mati dengan mudah jika Eros tidak segera melepaskannya.

"Apa kau baru saja mengejekku?" tanya Eros sekali lagi. Dan sekali lagi juga Namara menggeleng.

Eros mendengkus dingin melihat Namara yang keras kepala. Dia mengibaskan tangannya hingga tubuh wanita itu terlempar jauh menabrak dinding.

Namara merasa dadanya menjadi sesak. Dia menggertakkan gigi penuh amarah. Eros adalah seseorang yang masuk dalam targetnya. Namun, dia tidak bisa terburu-buru. Dia tahu kekuatannya sendiri.

Tidak. Namara harus bersabar. Dia menutup mata dan mencoba menenangkan diri. Setelah beberapa saat barulah dia kembali membuka mata.

Ketika matanya kembali terbuka, pupilnya langsung menyusut melihat Eros yang sudah berjongkok tepat di depannya. Pria itu mencengkeram dagunya dengan keras.

"Bukankah tadi kau juga menatapku penuh kebencian dari lantai atas?"

Tubuh Namara langsung menegang. Jadi tadi Eros benar-benar menatapnya dari kursi kebesaran? Dan pria itu berhasil merasakan kebenciannya?

Namara menggigit bibirnya dengan perasaan kacau. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia benar-benar ceroboh!

"Jangan berpikir menggodaku sekarang!" bentak Eros yang melihat Namara menggigit bibir. Dia tahu wanita itu sangat cantik dan … jujur saja Namara terlihat sangat menggoda setelah menggigit bibirnya.

"Maaf …," bisik Namara. Dia tidak tahu bahwa menggigit bibir adalah salah satu bentuk menggoda Eros.

Meskipun sebenarnya dia tidak sudi meminta maaf, tapi demi pembalasannya dia akan meminta maaf bahkan meski harus ribuan kali pada bajingan ini.

"Maaf, wanita rendahan ini tidak bermaksud mengejek. Tidak. Tuan salah paham," ucap Namara dengan suara yang parau.

Eros semakin mengencangkan cengkeramannya hingga Namara mendesis kesakitan. Sungguh dagunya bisa patah jika Eros mencengkeramnya lebih lama.

"Siapa kau?" tanya Eros dengan dingin. "Seseorang dari klan Matahari? Apa mereka mengirimmu sebagai mata-mata??!"

"Bu—kan. Aku hanya … wanita miskin yang mengharapkan uang dan … tempat tinggal," balas Namara dengan suara terputus-putus.

Kepalanya berdenyut-denyut, dagunya sakit, dadanya terasa sesak. Meskipun begitu Namara harus bertahan. Tujuan utamanya adalah pergi ke istana Klan Sayap Hitam dan menghancurkannya.

Hanya Eros yang bisa membuat tujuannya tercapai. Hanya pria itu yang bisa membawanya masuk ke istana Klan Sayap Hitam.

Dan demi itu dia rela menjadi apa pun agar pria itu membawanya masuk ke sana. Termasuk menjadi budak seksnya.

avataravatar
Next chapter