4 Cambukan

Ceteerrr!

Suara cambukan yang sudah entah ke berapa kali terdengar di belakang bangunan rumah pelacuran. Suaranya dibarengi dengan desis kesakitan yang terdengar menyedihkan.

"Namara! Apa kau mengerti sekarang?! Kau bisa membenci orang lain, tetapi tidak pada Tuan Eros!" teriak Verna yang sedang mencengkeram cambuk berwarna hitam.

Ceteerrr!

Sekali lagi benda itu dilayangkan hingga mendarat di punggung Namara. Sengatan rasa sakit membuat wanita itu meringis menahan jeritannya sendiri.

Pakaian putihnya yang tipis sama sekali tidak bisa melindungi tubuhnya dari kekuatan cambukan. Kain bagian punggungnya sudah robek bercampur dengan darah serta kulit punggung yang terkelupas.

Telapak tangan Namara terkepal erat. Rasa sakit itu benar-benar tak tertahankan. Sepanjang 20 tahun kehidupannya, baru kali ini dia mendapatkan rasa sakit seperti ini.

Perasaannya bercampur antara marah dan benci. Dia bersumpah tidak akan pernah melupakan apa yang sudah dia terima hari ini.

"Apa kau mengerti, hah?!" Verna membentak.

"Aku … mengerti." Namara berusaha memeras kata-katanya. Keringat dingin sudah turun dan membasahi keningnya. Ini menyedihkan, tetapi dia sama sekali tidak ingin menangis.

Verna mendengkus. Akhirnya dia melepaskan cambuknya. "Aku tidak akan kejam selama kau bersikap baik padaku. Namun, aku bisa benar-benar tanpa ampun jika kau membuat masalah di sini!"

Namara menunduk lalu mengangguk tanpa ekspresi.

Beberapa orang yang melihat kejadian ini tidak cukup simpatik pada Namara. Mereka justru merasa senang melihat Namara mendapat hukuman.

"Itulah akibatnya jika seseorang bersikap arogan. Meskipun dia cukup cantik, itu tidak menjamin dia akan diperlakukan dengan baik," komentar seorang wanita yang menyaksikan Namara dari jendela. Namanya Nera.

"Ya, kau memang benar," sahut wanita lainnya.

Nera berdecih. "Lagi pula aku yang sudah ada di sini dalam waktu yang lama saja harus sangat berhati-hati di depan Tuan Eros. Apa lagi pendatang baru seperti dia …."

"Verna benar-benar memasukkan dia ke lubang kematian."

"Dan apa kau lihat? Dia sama sekali tidak memiliki kekuatan apa pun! Dia benar-benar sampah!" Nera berbicara dengan penuh ejekan.

"Itu sungguh sia-sia. Percuma dia cantik jika tidak memiliki kekuatan apa pun," balas temannya.

Mereka mulai tertawa terbahak-bahak. Melihat salah satu saingan mereka menerima penyiksaan tentu saja menjadi hiburan yang menyenangkan bagi mereka.

Namara tidak tahu bahwa saat ini dia sedang menjadi bahan olokan orang lain. Verna sudah pergi, sekarang dia sedang berusaha berdiri dengan susah payah.

"Aku akan membantumu."

Tiba-tiba Namara melihat uluran tangan di depan wajahnya. Dia langsung mendongak dan mendapati Xanda yang sedang menatapnya dengan lembut.

Namara merasa cukup terkejut. Tidak menyangka ternyata wanita yang hanya sempat berbincang sebentar dengannya itu mau mengulurkan tangan padanya.

"Terima kasih." Namara tersenyum kecil. Dia menerima uluran tangan Xanda dan langsung berdiri dengan bantuannya.

Xanda memapah Namara dengan hati-hati agar tidak menyentuh luka bekas cambukannya. Dia bisa merasakan tubuh Namara yang gemetar, mungkin karena terlalu banyak menahan rasa sakit.

"Kau harus lebih berhati-hati. Tidak ada orang baik di sini, apa lagi kau adalah seseorang dari klan lain," ucap Xanda di tengah perjalanan mereka.

Namara hanya mengangguk. Dia tidak memiliki banyak energi untuk membicarakan hal itu sekarang. Yang jelas, dia tahu ini semua adalah hasil kecerobohannya.

Xanda mengantar Namara sampai di kamar dan membiarkan wanita itu duduk. Dia bergerak menutup pintu dan kembali mendekati Namara.Tanpa meminta izin dia langsung memeriksa luka wanita itu.

"Xanda, kau tidak perlu repot-repot—"

"Aku pandai menyembuhkan. Kau percaya padaku?" Xanda memotong ucapan Namara.

Namara hanya bisa tertegun. Xanda bilang tidak ada orang baik di sini, lalu apakah Xanda juga memiliki niat tertentu padanya?

"Aku tidak akan berbuat buruk padamu. Lagi pula tidak ada yang bisa kuharapkan darimu," ucap Xanda yang seolah mengerti apa yang sedang Namara pikirkan. Atau mungkin wanita itu memang benar-benar bisa membaca pikiran orang lain.

"Terima kasih." Akhirnya Namara membiarkan Xanda memeriksanya. Benar apa yang Xanda katakan. Tidak ada hal yang bisa dia berikan pada wanita itu.

Kemudian Xanda mulai merobek bagian atas pakaian Namara. Kulit yang halus dan lembut langsung terpampang jelas. Ada tatto hitam dengan pola aneh yang melekat di bahu kiri Namara. Namun, dia tidak begitu mengindahkannya.

Tangan Namara diletakkan di dada untuk menahan agar pakaian bagian depan tidak ikut turun. Dia merasa sedikit malu memperlihatkan tubuhnya pada orang lain.

"Tahan sebentar. Ini mungkin akan sakit," ucap Xanda. "Dan jangan menoleh ke belakang selama aku menyembuhkanmu."

Namara mengangguk mengerti. Setelah itu dia langsung merasakan sengatan rasa sakit di area punggungnya. Tangannya mencengkeram udara kosong dan keningnya berkerut dalam.

Xanda merasa ngeri sendiri melihat bekas cambukan itu. Jumlahnya memang tidak terlalu banyak, tetapi semuanya cukup parah. Dia yakin Verna pasti sudah mencambuk pada titik yang sama.

Taburan bintang-bintang yang sangat kecil tampak menyelimuti tangan Xanda ketika dia mulai menyembuhkan Namara. Bintang-bintang itu kemudian bergerak-gerak di permukaan kulit Namara.

Jika Namara melihatnya, dia pasti akan terkesima. Itu terlihat sangat indah.

Luka di punggung Namara yang awalnya berdarah dan lembab, sedikit demi sedikit mulai mengering. Rasa sakit yang menyerang pun sekarang sudah mulai berkurang, tertutup oleh sensasi sejuk yang menyelimuti lukanya.

Namara merasa takjub dengan kekuatan Xanda. Wanita itu memang tidak berbohong. Xanda benar-benar pandai menyembuhkan.

Beberapa saat kemudian Xanda sudah selesai. Luka di punggung Namara belum benar-benar sembuh atau menghilang begitu saja. Namun, setidaknya itu sudah mengering. Rasa sakitnyya pun sudah tidak begitu terasa.

"Kau bisa berbalik sekarang," kata Xanda.

Namara pun membalikkan badan. Dia menggoyangkan punggungnya beberapa kali dan merasa lukanya sudah baik-baik saja.

"Kau memang hebat," sanjung Namara.Senyum tipis tersungging di bibirnya. Andai saja dia bisa mempelajari sihir atau setidaknya kekuatan untuk menyembuhkan. Itu pasti akan sangat berguna.

"Ini bukan sesuatu yang hebat," balas Xanda. "Sebenarnya aku tidak menyangka kau bisa secepat itu menemui Eros."

"Aku sendiri juga tidak menyangka." Namara menggeleng. "Aku tidak tahu kenapa Verna bisa mengirimku menemui Eros. Dan aku lebih tidak tahu bagaimana karakter pria itu."

Xanda menatap Namara dengan serius. Dia bertanya, "Apa kau benar-benar ingin mendaftar menjadi budak seksnya? Pemilihan Wanita Eros akan dipercepat menjadi minggu depan."

Namara tersenyum. "Aku sudah memikirkan ini dengan baik. Aku akan melakukannya. Hanya saja aku tidak yakin apakah pria itu akan memilihku. Kau tahu sendiri, hari ini aku sudah menyinggungnya."

"Aku tidak tahu kenapa kau bisa mengorbankan diri untuk itu. Apa kau tidak takut jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu di istana klan Sayap Hitam? Kau tidak takut Eros menyiksamu?"

Namara mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Tatapannya menjadi kosong selama beberapa saat. "Aku tidak memiliki jalan lain," bisiknya.

Xanda tidak bertanya lagi. Mereka bukan orang dekat dan dia tidak berhak untuk melarangnya. Alih-alih melarang, dia justru akan mendukung Namara.

"Aku akan memberi tahu padamu semua tentang Eros. Tentang hal-hal yang disukai maupun yang tidak disukainya," ujar Xanda.

"Kau serius?"

Xanda mengangguk. "Aku sudah lama berada di sini dan cukup tahu tentang dia."

"Terima kasih," ucap Namara dengan tulus. Jika dia bisa mempelajari segala hal tentang Eros, maka dia yakin, dia pasti bisa menarik perhatian pria itu.

avataravatar
Next chapter