13 Bukan Perempuan Sederhana

Sebelum matahari terbenam Namara sudah kembali ke rumah bordil. Verna yang tengah berdiri di ambang pintu menatapnya dengan tatapan menelisik. "Dari mana saja kau?"

"Aku ... membeli sesuatu untuk mengobati bekas lukaku," balas Namara.

Untungnya Verna tidak bertanya apa-apa lagi. Namara langsung masuk dan bergegas kembali ke kamar. Ketika pintu terbuka, dia langsung melihat Ananme yang berdiri di ambang jendela. Wanita itu menoleh setelah menyadari kepulangannya.

Ananme menatap Namara dengan ekspresi yang rumit. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Akhirnya Namara berinisiatif bertanya, "Kau sudah merasa lebih baik?"

Wanita itu mengangguk. "Terima kasih," ucapnya dengan suara lirih.

Namara menggeleng. Dia duduk di tepi ranjang lalu berkata, "Kita berasal dari klan yang sama. Aku tidak keberatan."

"Maaf, sebelumnya aku merasa tertekan jadi aku pasti mengatakan atau melakukan hal yang tidak rasional padamu," kata Ananme yang merasa bersalah. Sebelumnya dia sempat mendorong Namara dan itu membuatnya tidak enak.

"Bukan apa-apa. Aku tidak mempermasalahkan itu," ucap Namara dengan jujur. Kemudian dia pun bangkit. "Aku perlu mandi sekarang," katanya.

Ananme mengangguk dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia mengamati sosok Namara yang pergi meninggalkan ruangan. Entah kenapa dia merasa harus menjalin hubungan yang baik dengan perempuan itu.

Namara sudah tiba di tempat pemandian. Kali ini dia membutuhkan bak untuk berendam. Untungnya di sana ada bak kayu yang cukup besar.

Dengan cepat Namara mengisi bak itu dengan air. Kemudian dia mengeluarkan kotak kecil yang diberikan oleh Master Orsley. Tanpa ragu dia membukanya dan langsung menaburkan bubuk berwarna abu-abu itu ke dalam air.

Ketika bubuk itu menyentuh air, Namara bisa melihat letupan kecil di permukaan air. Namun, setelahnya tidak ada sesuatu yang terjadi. Bubuk itu seperti lenyap begitu saja. Warna air pun tidak berubah.

"Jadi begitu ya?" Namara bergumam sendiri.

Dia memutuskan untuk tidak menggunakan semuanya. Setengah bagiannya disisakan untuk digunakan di hari berikutnya. Lebih baik dia mencoba sedikit dulu untuk melihat bagaimana pengaruhnya.

Setelah semuanya siap, Namara pun melepaskan pakaiannya hingga tersisa pakaian dalamnya saja. Kakinya melangkah masuk ke dalam bak kayu yang dipenuhi air. Mungkin karena ini sudah mulai malam jadi air terasa cukup dingin.

Bak kayu itu tidak cukup tinggi. Bahkan ketika Namara duduk di dasarnya, permukaan air itu hanya mencapai setengah dadanya.

Perlahan Namara meraup air dan menyiramkan ke punggungnya. Ketika air itu menyentuh bekas lukanya rasanya seperti terbakar, tetapi itu masih bisa ditoleransi. Apakah ini berarti bubuknya sedang bekerja?

Namara tidak tahu. Dia terus menggosok punggungnya dan kembali menyiramkan air berkali-kali. Perasaan terbakar itu mulai berkurang.

Setelah merasa cukup, Namara segera keluar meninggalkan air dan menyeka tubuhnya dengan kain yang tersedia. Rasanya semakin tidak sabar. Dia segera pergi ke kamar dan menunjukkan punggungnya pada Ananme.

"Apa masih ada bekas luka di punggungku?" tanya Namara.

"Itu terlihat samar. Luka apa ini? Bekas cambukan?"

Namara bersorak di dalam hati. Sepertinya bubuk ajaib itu telah bekerja dengan baik. Jika dia menggunakannya sekali lagi pasti bekas lukanya akan benar-benar hilang.

"Ya, bekas cambukan," jawab Namara.

Pada saat itulah tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Namara merapatkan kain yang menjadi satu-satunya penutup tubuh. Kemudian dia berjalan membuka pintu.

Di luar, Xanda sudah berdiri menunggunya. Ternyata wanita itu benar-benar datang berkunjung. "Xanda .... Masuklah," ucap Namara.

Xanda pun mengangguk lalu melangkah masuk. Dia langsung melihat Ananme, wanita yang pernah menjadi bahan gosipan di antara para wanita penghibur lainnya karena sudah berhasil menjadi budak seks Eros.

"Ananme," sapa Xanda. "Senang melihatmu kembali."

Ananme tersenyum kecil. Dia sudah mengenal Xanda jadi rasanya tidak begitu sungkan. "Xanda, aku harap kau baik-baik saja di sini."

"Tentu saja." Xanda tersenyum. Kemudian dia melihat Namara yang pergi mengambil pakaian. Dari sanalah dia melihat bekas luka di punggung Namara yang sudah mulai memudar.

Xanda merasa terkejut sekaligus heran. Siapa yang sudah menghilangkan bekas luka itu? Apa Namara mendapat bantuan dari seseorang?

Bahkan jika dia berusaha sampai pingsan, dia yakin tidak akan bisa menghapus bekas luka itu. Jika memang ada orang yang membantu Namara pastilah itu orang yang hebat.

Xanda merasa sedikit penasaran, tetapi dia tidak bertanya. Hanya saja sekarang dia mulai berpikir, apakah Namara memiliki identitas yang tidak biasa?

Entahlah.

Ketika Namara selesai mengganti pakaian, dia pun berkumpul dengan Xanda dan Ananme. Dia ingin mengorek banyak informasi dari mereka, terutama dari Ananme yang sudah memasuki istana klan Sayap Hitam.

"Ananme, boleh aku tahu seperti apa situasi di istana klan Sayap Hitam?" tanya Namara dengan hati-hati. Dia merasa sedikit takut seandainya wanita itu akan kembali merasa terluka.

"Jika kau merasa di sini adalah neraka, maka di sana akan menjadi nerakanya dari sekian banyak neraka," lirih Ananme.

"Jujur saja selama tinggal di sana, aku tidak pernah meninggalkan kamar. Bahkan semenit pun tidak," lanjutnya. Dia mendesah lelah mengingat dirinya yang hanya terkurung di kamar yang sepi dan senyap.

"Aku tidak bisa mengatakan banyak hal." Ananme menunduk. Dia sendiri tidak tahu bagaimana situasi persisnya di istana klan Sayap Hitam.

"Namara ...." Tiba-tiba Xanda memanggil.

"Ya?"

"Kenapa kau sangat ingin menjadi budak seks Eros?" tanya Xanda. Dia menatap Namara dengan serius.

Namun, Namara tidak mungkin memberi tahu apa niat sebenarnya. Dia hanya ingin menyimpan ini sebagai rahasia.

"Kau akan tahu suatu hari nanti, Xanda."

Jawaban Namara membuat Xanda semakin yakin dengan dugaannya. Entah bagaimana cara dia melihat, Namara memang cukup berbeda dari wanita lain. Dari penampilannya saja ... perempuan itu sudah terlihat terlalu sempurna.

Namara sama sekali bukan perempuan sederhana.

***

Berbeda dengan suasana hangat di kamar Namara, saat ini di kamar lain udara terasa sangat dingin. Bukan karena suhunya yang rendah, tetapi karena aura kemarahan dari seorang Eros.

Pria itu duduk di kursi dengan tangan terkepal erat. Di hadapannya terdapat selembar kertas yang sudah ternoda oleh darah merah. Darah itu menutupi sebagian tulisan yang berisi kalimat memuakkan.

"Lyco, sekarang semuanya sudah semakin jelas bukan? Apa kau masih akan membantah dugaanku?" desis Eros tanpa menatap orang yang sedang diajak bicara.

"Maafkan hamba, Tuan. Tuan memang benar," ucap Lyco yang merupakan tangan kanan Eros.

"Apa ada seseorang yang membocorkan rahasiaku?" gumam Eros. Matanya menyipit dan raut wajahnya menjadi semakin menakutkan.

Lyco menggeleng keras. "Tidak mungkin. Hamba selalu mengawasi semua orang dengan ketat."

Braakk!

Eros menggebrak meja di hadapannya dengan keras. Meja yang terbuat dari marmer hitam itu langsung hancur. Dia menatap tajam pada Lyco yang terkejut.

"Kau pikir dari mana orang itu bisa mencurigaiku jika bukan kalian yang tidak berhati-hati?!" bentak Eros. Dia melayangkan kertas berdarah itu ke udara. Api hitam muncul di telapak tangannya yang kemudian langsung membakar kertas tersebut.

Lyco menunduk takut. Dia tidak berani menjawab. Biasanya jika dia menjawab justru Eros akan semakin marah. Apalagi jika jawabannya tidak sesuai dengan keinginan.

"Sialan!" Eros mengumpat.

"Baiklah. Aku akan mencoba sekali lagi. Jika dia masih menargetkanku maka aku tidak akan diam seperti katak bodoh!" geram Eros.

"Besok ...," gumamnya. "Besok aku akan pergi ke rumah bordil itu lagi. Aku sudah memiliki wanita pilihanku." Seringai dingin mulai terbit di wajahnya.

avataravatar
Next chapter