webnovel

SYTTEN: Saat Kamu Sadar, Dia Sudah Pergi

Meskipun tahu ini sangat tidak mungkin, Kana sedang berusaha untuk tidak mengikuti kata hatinya. Yang terus berteriak supaya Kana melakukan sesuatu untuk mencari tahu perasaan apa yang timbul setelah dia dan Fritdjod menghabiskan siang bersama—dengan berpelukan di sofa dan Kana tertidur. Kana pernah membiarkan hati memegang kendali atas hidupnya dan dia patah hati pada akhirnya. Bukan hanya patah hati, hampir diperkosa juga.

"Kakak tanya sekali lagi, Kana. Apa kamu punya niat untuk mempermainkan Fritdjof juga?" tanya Kira ketika mereka duduk bersama setelah makan malam.

"Kenapa kakak nanya itu terus?" Kana mengembuskan napas kesal. Biasanya Kira tidak secerewet ini untuk masalah laki-laki. Kira memberi nasihat, tapi berlaku umum. Tidak spesifik menyebut satu nama seperti ini.

"Karena kakak takut kamu belum sembuh dari penyakit seratus harimu."

Penyakit seratus hari. Kana selalu mengakhiri hubungan di hari keseratus dari hari jadian. Kana memberi kesempatan kepada seorang laki-laki untuk mendekatinya dan memberi sinyal seolah Kana tertarik. Once they get attached to her, she leaves them broken hearted. Kana tidak pernah ambil pusing. Karena mereka tidak jauh beda dengan Kana. Tidak ingin serius. Putus dengan Kana mungkin tidak ada artinya. Akan ada wanita pengganti Kana keesokan harinya.

"Dulu Kakak biasa saja sama laki-laki lain, kenapa sama Fritdjof perhatian banget?" Kana pusing sendiri dengan apa yang dibicarakan Kira.

"Karena dia serius menyukaimu, Kana," jawab Kira.

"Dari mana Kakak tahu? Kakak kan baru ketemu dia dua kali." Kana yang bertemu Fritdjof setiap hari—di kantor—saja merasa belum terlalu mengenal Fritdjof.

"Dari Alen. Alen bicara sama dia, kakak yang minta. Kakak mau memastikan Fritdjof bukan orang seperti Niel. Dan karena dia nggak seperti Niel, kamu nggak boleh mempermainkan perasaannya. Dia sungguh-sungguh cari jodoh."

"Kakak.... " Kana mengerang panjang. Sampai kapan Kira akan menganggapnya seperti anak umur tujuh tahun? Yang harus dipastikan dulu dengan siapa bertemana. "Aku sudah bisa menilai siapa yang baik buat dijadikan teman dan siapa yang enggak. Kakak nggak perlu mempermalukan aku seperti itu. Lalu Fritdjof ngomong apa?"

"Sebentar ya." Jari-jari Kira bergerak lincah di layar ponselnya.

"Nih." Kira menyerahkan ponselnya pada Kana.

Kana membaca pesan WhatsApp dari Alen.

Aku sudah ngomong sama Fritdjof tadi, as I quoted him: Dulu sebelum ke sini, aku pernah putus asa dan ingin menangis. Aku merasa sangat sakit dan hatiku rasanya seperti dilindas truk besar. Setelah pindah ke sini, aku memang tetap hidup setiap hari. Tapi hari-hariku rasanya tidak berarti. Sewaktu aku bertemu dan mulai mengenal Kana, semua terasa berbeda. I want to live fully, because of that woman.

Dia serius. Jangan tanya. Man's insting.

"Jadi, kalau kamu hanya mau mempermainkannya, seperti yang sudah kamu lakukan pada laki-laki lin, jangan diteruskan, Kana. Kasihan anak orang jauh-jauh ke sini." Kira menatap adiknya. "Mengobati luka hati memang susah. Kalau luka dan sakit di badan, ada dokter yang bisa mengobati. Kalau luka hati, tidak ada yang bisa menyembuhkan kecuali diri sendiri. Itu sebabnya setiap orang memiliki cara untuk melupakan luka hatinya. Mabuk di club sampai pagi, nyanyi di ruang karaoke atau berteriak di tepi pantai, guling-guling di lantai, menangis berhari-hari, traveling. Apa pun yang bisa membantumu melampiaskan rasa sakit itu. Bukannya dengan melampiaskan kepada laki-laki yang nggak tahu apa-apa. Di dunia ini, kamu bukan satu-satunya orang yang pernah disakiti. Kalau mereka bisa kembali memulai hubungan selanjutnya, yang sehat tentu saja, kenapa kamu tidak?

Kana terdiam mendengar nasihat kakaknya. Semestinya Kana tidak terlalu mendendam dan menyesal setelah hubungannya dengan Niel berakhir dengan bencana. Ini hanya patah hati. Bukan perkara hidup mati. Well, lalau sekali patah hati membuat orang langsung mati, pasti tidak ada satu pun orang hidup yang tersisa di dunia ini.

"Ada orang yang ingin sekali menyembuhkan luka di hatimu," kata Kira lagi.

"Memangnya kalau aku memercayainya, dia tidak akan menyakitiku?" Kana masih ragu.

"Kamu nggak tahu kalau nggak mencobanya."

"Aku takut."

"Tahu apa yang lebih menakutkan? Kamu menjauh dari orang yang ingin dekat denganmu dan menunggumu. Saat kamu sadar, dia sudah pergi."

***

Kana berdiri di halte, memandang langit yang kian gelap. Hujan turun sesudah Kana masuk bus. Setelah makan bersama Kira, Kana memilih naik bus karena tidak ingin ikut kakaknya, yang tiba-tiba harus bertemu dengan orang yang hendak memakai jasa event organizer-nya. Jadi di sinilah Kana sekarang, putus asa karena hujan yang tak kunjung reda. Sambil meringis menahan keinginan ke kamar mandi. Sepuluh menit menunggu dan tak ada tanda hujan akan reda, Kana melepas blazernya dan menutupkan ke atas kepalanya. Lalu berlari menembus derasnya hujan. Apartemennya tidak jauh dari sini, hanya perlu lari lima menit. Pilihan Kana tidak banyak. Nekad atau ngompol.

Blazernya tidak membantu banyak dalam menghalangi air hujan. Sebab Kana tetap basah kuyup ketika sampai di lobi. Setengah berlari Kana menuju lift. Perutnya sudah sakit sekali. Kana mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya di lantai lift, tidak sabar menunggu lift segera sampai di lantainya. Tidak ingin terpeleset di lantai keramik, Kana mencopot sepatunya sebelum berlari lagi.

"Fritdjof!" Teriak Kana begitu berbelok ke lorong dan melihat Fritdjof sedang membuka pintu. "Toilet. Perutku sakit." Tanpa menunggu jawaban Frtitdjof, Kana menerobos masuk ke apartemen Fritdjof.

Akan memakan waktu lebih lama kalau Kana harus membuka pintu apartemennya sendiri. Dengan mudah Kana menemukan kamar utama, karena, untungnya, desain apartemen miliki Fritdjof sama dengan milik Kana. Tidak ada penambahan dan pengurangan. Kana menggunakan kamar mandi di kamar Fritdjof tanpa permisi. Pasti Fritdjof mengerti Kana sedang terdesak.

Kana mendesah lega ketika keluar dari kamar Fritdjof sepuluh menit kemudian.

"Ganti dulu bajumu." Fritdjof memberikan kemeja bersih dan handuk kepada Kana.

Karena tubuhnya mulai menggigil, Kana kembali masuk ke kamar mandi untuk mengeringkan badan dan ganti baju. Lalu bergabung dengan Fritdjof duduk di depan TV. Kana masih mengenakan rok zebra yang dia pakai hari ini namun sudah mengganti blusnya dengan kemeja putih milik Fritdjof. Yang kebesaran sekali di tubuh Kana. Kedua lengan harus digulung berkali-kali kalau tidak ingin tangan Kana tenggelam.

Fritdjof mengeringkan rambut Kana dengan handuk. "Bukankah kamu tadi sama Kira?"

"Iya. Tapi Kira ada urusan mendadak. Pegel lari-lari." Kana meregangkan kakinya. Tadi Kana sempat bertukar pesan dengan Fritdjof dan mengatakan akan makan di luar dengan Kira.

"Kenapa tidak naik taksi? Malah hujan-hujan?"

"Tadi nggak hujan, di jalan baru hujam."

"Kenapa tidak telepon aku? Aku bisa menjemputmu."

"Jauh," jawab Kana sekenanya. Sebenarnya Kana ingin menghindari bertemu Fritdjof dulu untuk sementara waktu, ingin memikirkan dulu semua nasihat Kira. Tetapi sepertinya semesta berkehendak lain. Seberapa keras pun usahanya untuk menghindari Fritdjof, mereka selalu bertemu dengan Fritdjof pada akhirnya. Atau Kana yang memang selalu ingin berlari ke arah laki-laki ini.

"Aku ingin kamu meneleponku kalau kamu perlu apa-apa. Bagaimana kalau kamu sakit? Bagaimana kalau kamu jatuh karena lari-lari?"

"Nggaklah. Masa udah tua begini jatuh." Kana tertawa.

"Tolong berhenti membahayakan dirimu sendiri, Kana, kalau kamu tidak mengizinkanku untuk melindungimu." Fritdjof menghentikan gerakan tangannya, yang tengah, mengeringkan rambut Kana, untuk memperhatikan wanita cantik di depannya. Kulit dan bibir Kana pucat setelah kehujanan.

"Aku nggak membahayakan diri sendiri. Itu cuma hujan. Jangan berlebihan."

"Lain kali telepon aku. Aku akan menjemputmu," kata Fritdjof dengan tegas sebelum meneruskan menekan-nekan kepala Kana dengan lembut menggunakan handuk tebal.

"Why do you do this to me?�� Mata hitam Kana membulat tak berkedip menatap sepasang mata biru Fritdjof.

--

(bersambung)

Next chapter