29 Apa Kamu Akan Melakukan Itu Juga Padaku?

Kana pergi ke toko buku sepulang dari kantor. Sendirian. Terserah dengan peraturan Fritdjof yang mengharuskan Kana pergi ke mana-mana harus bersama Fritdjof. Menggelikan sekali. Untuk apa mereka ke mana-mana bersama, kalau keberadaan Kana diabaikan. Dianggap tidak ada. Diajak bicara pun tidak.

Kana menelusuri deretan buku memasak. Ada beberapa masakan yang ingin dia coba. Siapa tahu dengan menyibukkan diri di dapur hatinya akan membaik. Kalau saja Kana bisa berkonsentrasi melihat-lihat buku di depannya. Pikiran Kana lagi-lagi tertuju kepada Fritdjof. Selalu bergerak ke sana. Karena setiap kali memasak, Fritdjoflah yang dengan senang hati menghabiskan hasil masakan Kana. Makanan gagal atau sukses, Fritdjof selalu mau mencicipi—kadang menghabiskan—dan memberikan saran. Sudah enak adalah kata yang selalu keluar dari mulut Fritdjof, walaupun Kana masak telur dengan sesendok makan garam, Fritdjof akan tetap bilang sudah enak.

Setelah setengah jam melihat-lihat buku, Kana memutuskan untuk pulang. Tidak ada buku memasak yang dia beli, hanya satu buah novel. Sudah dibaca blurb-nya dan Kana berharap novel tersebut akan membuatnya menangis. Sekalian menangisi nasibnya yang menyedihkan ini. Sekali serius mencintai orang, hanya tuduhan tidak berdasar yang dia dapat sebagai balasannya.

***

Kana membuka pintu apartemen setelah pulang dari petualangannya di toko buku. Oh dan makan malam. Sebisa mungkin Kana pura-pura tidak melihat Fritdjof yang berdiri menyandar di dinding di sebelah kanan pintu apartemen Kana. Sejak kapan laki-laki ini diam di situ, Kana bertanya dalam hati. Kalau Kana baru pulang jam 12 malam, apa Fritdjof juga akan tetap mengawasi apartemen Kana? Tetapi apa pun yang dilakukan Fritdjof, itu bukan urusan Kana.

"Dari mana?" Fritdjof mencekal lengan Kana, menahan Kana yang hendak masuk rumah.

"Bukan urusanmu!" jawab Kana dengan ketus.

"Dari mana?!" ulang Fritdjof dengan tegas.

"Toko buku."

"Sama siapa?"

"Bukan urusanmu!" desis Kana, berusaha tidak berteriak.

"Kana!" Fritdjof sedikit membentak Kana.

"Apa lagi, Fritdjof?!" Kali ini Kana sudah tidak tahan lagi. Kana tidak peduli kalau penghuni lain terganggu dan akan memarahi mereka.

"Kamu tidak menuruti kata-kataku. Kamu tidak boleh ke mana pun tanpa seizinku. Kamu harus pergi bersamaku!" Fritdjof balas berteriak.

"Memangnya kamu ini siapaku?! Memerintah seenaknya. Kamu pikir aku akan mengikuti perintahmu seperti orang bodoh?! Bisa nggak, kamu kasih alasan jelas kenapa kamu ingin membatasi gerakku?" Kana sudah tidak bisa menoleransi tingkah laki-laki di sampingnya ini.

"Kamu adalah milikku, Kana. Dan aku akan menjaga apa yang menjadi milikku. Aku tidak akan membiarkanmu pergi dengan...."

"Milikmu?! Dengar, Fritdjof Møller yang terhormat. Kalau kamu ingi nenjagaku, bukan seperti ini caranya! Bukan dengan bertingkah seolah aku ini burung yang harus tinggal dalam sangkar. Itu bukan menjaga namanya. Itu memenjara!" Kana memotong kalimat Fritdjof yang menggelikan itu, kemudian menepis tangan Fritdjof dari lengannya. "Kalau kamu ingin menjagaku, ingin aku terus berada di sampingmu, yang harus kamu lakukan adalah memberiku perhatian. Tapi sepertinya kamu lupa bagaimana cara melakukannya."

Kana mendorong pintu apartemennya. "Dan aku nggak selingkuh. Aku bukan wanita rendahan seperti itu." Dengan mengerahkan semua tenaga, Kana menutup pintu. Meninggalkan kekasihnya yang sangat bodoh itu di luar sana.

Fritdjof lebih dari bodoh karena ingin mengawal Kana ke mana-mana hanya karena tidak percaya bahwa Kana setia. Atas dasar apa laki-laki itu berbuat semaunya seperti itu?

***

Sudah beberapa hari Kana berhasil menjalankan misi menghindari Fritdjof. Kana berangkat kerja pagi-pagi sekali. Saat office boy belum selesai mengelap meja Kana, Kana sudah sampai di kantor. Sorenya, Kana pulang dari kantor secepat-cepatnya. Kana lebih memilih menyelesaikan pekerjaannya di rumah. Daripada dia harus bertemu dan dipaksa pulang bersama Fritdjof yang sedang tidak waras. Tetapi sore ini Kana sedang tidak beruntung. Fritdjof mencegatnya ketika Kana sudah hampir meninggalkan lobi kantor. Tidak cukup sampai di situ, Fritdjof juga menyeret Kana menuju mobil Fritdjof.

"Apa-apaan sih, Fritdjof?!" Kana mengelus pergelangan tangannya yang memerah, bekas cengkeraman Fritdjof.

"Kamu tidak menurutiku! Aku bilang harus selalu bersamaku ke mana-mana." Fritdjof melajukan mobilnya dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan.

"Aku nggak ingin bersamamu sampai kamu mau membicarakan apa yang sebetulnya terjadi!" Kana membuang muka ke kiri.

"Kita akan bicara," kata Fritdjof.

"Bicara sekarang kalau begitu!" Kana tidak sabar.

"Tidak di sini, Kana!" Fritdjof balas membentak.

Kana menggelengkan kepala putus asa. Kemarin sikap Fritdjof hangat dan romantis sekali. Bagaimana mereka bicara, berpeluka, berciuman mereka setelah makan malam luar biasa di apartemen Fritdjof, Kana masih ingat dengan jelas. Namun tidak sampai dua puluh empat jam setelahnya, Fritdjof berubah menjadi mengerikan seperti ini. Biasanya kesunyian di antara mereka terasa menenangkan. Tetap kini mencekam. Kana ingin cepat sampai dan turun.

Lagi-lagi tangan Kana ditarik saat mereka berjalan menuju apartemen Fritdjof. Tidak ada kelembutan dalam cengkeraman Fritdjof di tangan Kana. Perlakuan Fritdjof ini sungguh menyakitkan. Tidak hanya tangan Kana yang sakit, tapi hatinya juga. Fritdjof memperlakukan Kana seperti barang, bukan manusia, apalagi orang yang dicintai.

Fritdjof berjalan sangat cepat menuju apartemennya. Langkah-langkahnya lebar. Sehingga Kana terseok-seok mengikuti di belakangnya. Separuh menahan langkah, supaya Fritdjof berhenti menyeret Kana seperti ini. Tubuh Kana gemetar. Kilatan kemarahan di mata Fritdjof, sebuah apartemen, bayangan Niel yang pernah hendak memerkosanya, dan banyak hal lain bergantian berkelebat di benar Kana. Bagaimana kalau Kana disakiti lagi di ruang tertutup oleh seseorang yang dia kira dia cintai? Tidak. Kana menggelengkan kepala. Jangan berpikir demikian. Fritdjof bukan Niel. Fritdjof tulus mencintai Kana. Fritdjof tidak akan bertingkah seperti setan. Semarah apa pun Fritdjof, Fritdjof tentu masih bisa mengendalikan diri dan menggunakan akal sehatnya.

"Apa kamu kenal Daniel?" Fritdjof menatap Kana tajam, ketika Kana sudah duduk di sofa di depan televisi. Berdiri menjulang di depan Kana, Fritdjof begitu mengintimidasi.

"Daniel yang mana? Ada banyak Daniel...."

"Ada berapa Daniel dalam hidupmu? Yang pernah menjadi mantan pacarmu?" Fritdjof memotong kata-kata Kana, yang seperti sengaja menguji kesabaran Fritdjof.

"Kenal. Kamu kenal juga?" Kana akhirnya memutuskan menjawab. Sempit sekali dunia ini. Fritdjof mengenal Daniel.

"Kamu punya hubungan apa dengannya?" Fritdjof mengabaikan pertanyaan Kana.

"Mungkin teman," jawab Kana sambil mengangkat bahu.

Kana tidak pernah menganggap mantan-mantan pacarnya sebagai teman. Karena, orang waras mana yang masih berteman dengan mantan pacarnya? Hubungan Kana dan semua laki-laki itu berakhir ketika Kana memutuskan mereka.

"Mungkin?" ulang Fritdjof, menunggu penjelasan Kana.

"Aku sudah nggak pernah lagi bicara dengannya. Nggak pernah ketemu. Nggak berteman di media sosial. Apa namanya hubungan seperti itu? Teman? Kita anggap saja dia kenalanku. Bahwa aku pernah kenalan dengannya." Kana menjelaskan yang sebenar-benarnya.

"Liar!" Suara dalam Fritdjof membuat Kana berjengit.

"Aku nggak bohong! Jangan sembarangan bicara!" Kana tidak terima disebut pembohong. Tidak cukup disebut selingkuh, sekarang ditambah pembohong?

"Kudengar Daniel mantan kekasihmu."

"Dengar dari mana?" Harus ada yang bertanggung jawab untuk isu tidak benar ini.

"Tidak penting dari mana. Apa itu benar?"

Kana mendengus, orang ketiga pengadu domba itu harus ditemukan. "Iya. Kami pernah dekat. Tapi itu sudah lama. Habis jadi mantan kan aku nggak ada urusan sama dia lagi."

Memang keadaan sebenarnya begitu. Sekarang Kana tidak pernah lagi bertemu atau mengobrol dengan Daniel. Bahkan memikirkan Daniel pun tidak pernah. Seandainya Fritdjof tidak menyebut nama Daniel, Kana tidak akan ingat.

"Apa kamu akan melakukan itu juga padaku?"

Mendengar pertanyaan Fritdjof, Kana mengerjapkan mata. "Begitu apa?"

"Bukankah kamu mencampakkan seseorang setelah kamu berhasil menaklukkannya dan kamu bosan karena tidak ada lagi tantangan? Lalu kamu akan bersikap seolah-olah kamu tidak pernah mengenal mereka setelahnya. Tidak peduli laki-laki itu patah hati dan tidak bisa melanjutkan hidup."

--

Bersambung

avataravatar
Next chapter