webnovel

Dia Gila

Stella menarik kesimpulan bahwa Alex memang seperti itu kepada bawahannya. Mungkin karena takut melalaikan tugas dan kewajiban sebagai karyawan maka Alex mencegah hal - hal seperti itu. Jadi, Stella akan bertanya kepada beberapa rekan kerjanya tentang Alex.

"Bos itu tidak pernah tersenyum dan selalu marah," ungkap Jonson, Karin yang disampingnya mengangguki perkataan Jonson.

"Jika hasil kerjamu bagus, dia hanya bereskpresi datar dan berkata 'bagus' " ucap Rich.

"Aku bertanya-tanya bagaimana istrinya dapat setia padanya dengan sikap suaminya yang seperti itu," bisik Erick.

"Hush! Jaga mulutmu. Jika terdengar oleh Bos kau bakal dipecat, bodoh," kata Jonson memperingatkan.

"Apakah Bos tahu kalian berpacaran?" tanya Stella penasaran.

"Sepertinya tahu." Jonson berkata santai.

"Mungkin Bos tahu, hanya dia diam saja. Lagi pula, kami menjalin hubungan juga tidak ada hubungannya dengan Bos. Terpenting tidak memengaruhi kinerja perusahaan." Rich yang sedari tadi diam pun angkat bicara.

Stella mengkerutkan dahinya dan berpikir keras. Bukankah ini terasa tidak adil baginya? Rekan kerja Stella banyak yang menjalin hubungan, sementara dia? Jangankan berpacaran, mengobrol atau sekedar menyapa teman-temannya saja Alex marah. Apalagi kalau orang itu adalah laki-laki.

Ini adalah hal normal jika seseorang saling berinteraksi satu sama lain. Kita makhluk sosial, tentu saja, jadi wajar. Atau jangan-jangan Alex... Hoho, itu tidak mungkin. Stella mengenyahkan hal demi hal yang ia pikirkan di otak kecilnya.

Michelle yang melihat ekspresi kebingungan yang terpatri di wajah Stella pun bertanya, "Ada dengan wajahmu itu?" Sambil menyenggol pelan pundak Stella dengan pundaknya.

Stella menoleh ke arah Michelle. "Ha?"

Wajah Stella kebingungan, dia masih belum sadar dari acara berpikirnya.

"Kau lagi memikirkan Bos Alex ya?" celetuk Jonson sembari menyentil dahi Stella untuk menyadarkannya.

"Iss, sakit!" Stella mendesis sakit, menggosok pelan dahinya yang merah karna terkena tangan durjana Jonson. "Mana ada aku suka dengan Pak Alex, yang benar saja. Lagi pula dia juga sudah mempunyai istri."

"Ooo, jadi kalau Bos belum menikah, kau bakal menyukainya?" Jonson masih saja menggoda Stella.

"Tidak," jawab tegas Stella.

"Kenapa? Bos tampan, kaya, genius," tanya Karin penasaran. Pasalnya, jawaban Stella ini agak lain dengan yang lain. Jika perempuan lain ditanya seperti itu pasti mereka akan menjawab 'iya'. Siapa yang tidak akan terjerat oleh pesona seorang Alexander Steward. Kalaupun ada, dapat dikatakan bahwa dia ini adalah manusia punah. Dan sepertinya Stella merupakan salah satu dari mereka.

"Ya...tidak saja. Aku mempunyai tipe laki-lakiku sendiri."

"Hmm, benarkah?"

"Benar, kau ini kenapa sih?"

"Tidak, hanya bertanya saja."

Mereka diam dan kembali dengan kegiatan mereka masing-masing.

Sebenarnya mereka sadar, bahwa Stella adalah wanita yang sangat cantik dan paling menonjol di kantor. Banyak yang iri padanya, tapi sang objek ke-iri-an mereka hanya masa bodoh tentang hal itu.

Siapa yang tak tertarik dengannya? dengan body sexynya dan jangan lupakan bokong sintal yang membuat para pria tergoda. Banyak pria yang menyatakan cintanya pada Stella, tetapi ditolak mentah - mentah olehnya, dan salah satunya ialah Ben.

Teman - Teman kerja Stella juga sadar ada yang tidak beres dengan kelakuan atasannya, dimana sikap Alex berbanding 180° dengan Stella dibandingkan para karyawannya. Mungkin Alex juga terpesona oleh kecantikan Stella. Siapa tahu. Tapi mereka nenepis hal itu, karena tidak mungkin atasannya menyukai pegawainya, jika ada istri cantik yang setia menunggunya di rumah.

***

Stella hampir lupa dengan janji makan siangnya, jadi ia bergegas pergi ke ruangan Alex. Dengan napas yang terengah-engah, lalu mengetuk pintu raungan Alex hingga suara bass yang sangat dikenalnya menyambutnya untuk masuk.

"Kau terlambat." Alex menatap Stella datar.

"Maaf aku l-" Stella hampir keceplosan. Tidak boleh lupa dengan janjinya pada Alex.

"Maaf aku terlambat," ucapnya sambil melangkahkan kaki dan duduk disamping Alex.

"Mm, makanlah."

Sudah tersedia banyak makanan di meja dan seperti biasa Alex yang membayarnya. Mereka berdua akan makan bersama hingga waktu istirahat makan siang berakhir.

"Kapan-kapan, aku akan mentraktirmu." Stella berkata pada Alex yang duduk di sesambil mengunyah makanan yang ada di dalam mulutnya hingga ia tak menyadari senyum miring penuh arti dari Alex.

Entah apa yang dipikirkan oleh Alex, dia tiba-tiba saja mengecup pipi mulus Stella.

Cup...

Stella membeku, masih memproses apa yang telah terjadi. Seketika mata Stella membulat. Dia shock bukan main, lalu menoleh dan menatap Alex yang juga menatapnya dalam.

"Aku menyukaimu, Stella."

Deg.

Kalimat yang keluar dari bibir Alex membuat Stella shock. Lagi.

Ini gila. Benar-benar gila.

Jujur. Stella munafik jika ia tidak tertarik dengan pesona dan ketampanan seorang Alexander Steward. Namun, Stella selalu menepis hal itu. Dia sadar tiga hal. Pertama, Stella hanyalah karyawan biasa. Dia tidak kaya ataupun mempunyai jabatan tinggi. Kedua, setahu Stella, Alex dan istrinya adalah pasangan romantis yang selalu menebar hawa-hawa cinta di mana-mana. Ketiga, ini adalah hal yang harus diketahui dan disadari sampai ke tulang-tulang hingga DNA. Bahwa, Alexander Steward merupakan pria beristri. Garis bawahi...

ALEX ADALAH SEORANG PRIA BERISTRI!!

Jadi, Stella masih memiliki otak yang masih tertanam di kepalanya dan kewarasan yang selalu ia bawa. Dia tidak ingin menjadi pelakor seperti yang ada di sinetron-sinetron TV itu. BIG NO.

Yang Stella lakukan sekarang adalah tertawa hambar dan menganggap bahwa kalimat yang dilontarkan Alex tadi adalah sebuah lelucon untuk mencairkan suasana.

"Kau lucu, Alex." Stella kembali dengan makanannya.

"Aku serius, Stella," tutur Alex sambil menggenggam tangan Stella erat hingga membuat perempuan itu tersentak karena ulahnya.

Suasana kantor Alex mulai berubah dan itu membuat Stella tidak nyaman, apalagi ia risih ketika tangannya digenggam oleh Alex. Stella berusaha untuk menarik tangannya dari genggaman Alex, tapi nihil. Kekuatan Alex lebih kuat dari miliknya.

Stella menatap mata Alex yang menyaratkan keseriusan. Itu membuat Stella merasa....gelisah.

"A-aku..." Stella bingung harus berkata apa. Semasa remaja, Stella banyak mendapat pengakuan cinta, sama halnya yang dilakukan Alex saat ini. Saat itu, Stella pasti dengan tegas menjawab 'tidak'. Karena, dia ingin berkarier dan mewujudkan impiannya. Lagi pula, Stella berpikir bahwa sia-sia menjalin hubungan jika ujung-ujungnya ada kata perpisahan. Stella hanya ingin menjalin hubungan serius, memiliki keluarga dan anak-anak kecil yang lucu.

Tapi, situasi ini berbeda dengan waktu dia remaja. Alex adalah bos Stella.

Apakah ia akan dipecat jika menolak?

Stella memikirkan nasibnya sekarang.

"Aku menyukaimu. Ah, tidak. Aku mencintaimu," ujar Alex dengan matanya yang tajam penuh kesungguhan dengan apa yang dia ucapkan.

"T-tapi...kita tidak bisa. A-aku karyawanmu," tolak Stella pelan sembari berusaha membebaskan tangannya dari genggaman Alex.

Alex tak menghiraukan perkataan Stella. Sepertinya, dia hanya menggap itu hanyalah angin lewat. Justru Alex mengulang apa yang dia katakan tadi dengan lembut sarat akan ketulusan yang terbesit di sana. Dan hampir saja, Stella dibuat luluh olehnya. "Aku jatuh cinta padamu, Stella."

Ingatkan Stella bahwa Alex sudah mempunya istri. Kalau tidak, Stella akan menjadi Han So Hee kedua.

(Han So He tuh, tahulah ya. Yang jadi pelakor di drama korea "The World of The Married" itu tuu..)

Bola mata Stella bergerak gelisah. Dia benar-benar bingung sekarang. Tak tahu harus melakukan dan mengatakan apa pada Alex yang pada akhirnya dia ingin menolak rasa suka atau cinta Alex. Di sisi lain Stella juga merasa takut. Hish, serba salah dan susah.

Memang sudah setahun mereka dekat dan saling mengenal. Bahkan, mereka berdua terlihat seperti sahabat dekat dari pada hubungan atasan dan bawahan. Kebersamaan yang dilewati mereka beruda setiap harinya, itulah yang membuat mereka dekat.

Tak sedikit orang maupun staff kantor beranggapan bahwa Stella dan Alex ini diam-diam memiliki hubungan yang tidak biasa. Tapi siapa yang berani berkata, jika Alex menjadi bos mereka yang kejam. Kalau tidak mau dieksekusi di tempat. Jadi, mereka hanya bisa memendam dan memendam berbagai dugaan demi dugaan yang bersarang di hati dan pikiran mereka.

"Aku tidak bisa, Alex." Akhirnya dia mengatakannya. Stella melepaskan genggaman tangannya paksa. Ia ingin segera keluar dan pergi dari kantor ini. Persetan dengan pekerjaanya, kalau bisa Stella bakal resign. Mungkin.

Grep.

Nyatanya, langkah Stella kalah cepat dengan Alex. Pria itu menarik tangan Stella dan membawa perempuan itu ke dalam dekapannya yang hangat dan erat, lalu berkata, "Aku mencintaimu, Stella." Entah yang keberapa kali Alex mengatakan kalimat tersebut.

Sedangkan Stella yang berada di dekapan Alex memberontak ingin dilepaskan. Dia panik dan tidak nyaman. Stella takut kalau ada orang yang tiba-tiba masuk dan melihat mereka yang seperti ini dan beranggapan bahwa Stella benar-benar menjadi Han So He kedua. Tentu saja Stella tidak ingin hal itu terjadi.

Yang dilakukan Stella membuat Alex kesal. Dia mendekatkan wajahnya ke arah Stella hingga mata Stella spontan membulat begitu bibir Alex mendarat di bibirnya.

Stella shock. Lagi. Dia berusaha mendorong tubuh Alex agar menjauh, namun upayanya tak membuahkan hasil, sebab tenaganya tentu tidak sebanding dengan kekuatan Alex.

Alex melumat bibir Stella tanpa ampun, seakan-akan tiada hari esok. Stella terus meronta, bahkan ia memukul punggung Alex sekuat tenaga. Alih-alih kesakitan, Alex justru tidak bergeming sama sekali. Pukulan Stella tidak ada apa-apanya bagi Alex.

Stella mengunci mulutnya rapat-rapat, akan tetapi Alex tetap memaksa. Perempuan itu nyaris pingsan kalau saja Alex tidak melepaskan ciumannya.

Stella terengah-engah karena kehabisan napas, lalu dia menatap Alex dengan mata berkaca-kaca dan juga merasa kasihan dengan dirinya sendiri karena tak berdaya. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Stella mendorong dada Alex.

"Lepaskan aku, Alex," pinta Stella. Akhirnya Alex melonggarkan dekapannya dengan enggan, walau tangan Stella masih digenggamnya erat. Alex masih ingin mendekap Stella ke dalam pelukannya. Kalau perlu, ia ingin menguburkan Stella ke dalam tulang-tulangnya agar tak terpisahkan.

"Lepaskan tanganku, Alex! Aku tidak bisa seperti ini." Stella berusaha melepaskan diri, baik dari perusahaan ini maupun pemiliknya.

"Kenapa? Kenapa kau tidak bisa?"

Stella diam. Apakah Alex masih bertanya, walau sudah jelas jawabannya?

"Jawab aku, Stella!" seru Alex. Dia marah, karena Stella tak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Kau sudah punya istri, Alex!!"

"Apakah itu tidak cukup jelas untukmu, ha?!!" lanjut Stella dengan marah bercampur frustasi.

"Aku tidak peduli! Yang aku ingin kau menjadi milikku, Stella."

"Are you crazy?! Apakah kau membuatku seperti wanita murahan yang merebut suami orang?!"

Alex tak mengindahkan perkataan Stella dan hanya menatap Stella lekat-lekat. "Aku hanya mencintaimu, Stella."

Oh Tuhan. Stella tak habis pikir dengan Alex. He is crazy. Really-really crazy.

Stella bergerak gelisah, ia harus segera melarikan diri dari sini. Alex udah tidak waras lagi. Sepertinya, otaknya telah meleleh di dalam kepalanya sehingga dia tidak bisa berpikir dengan benar.

Tapi, sebentar...

Semakin ke sini, Stella mengerti dan memahami bahwa, sepertinya Alex dan istrinya tidak seperti yang orang bicarakan, si The Best Couple.

Oh, come on. Kenapa bersatu jika nyatanya tidak saling mencintai. Bukankah itu akan menyiksa diri?

Tiba-tiba, terbesit sebuah ide yang melintas melewati otak kecil Stella. Tapi pertanyaannya, Apakah ini akan berhasil?

Kita tidak akan tahu sebelum mencobanya.

"Aku sudah mempunyai kekasih," tutur Stella dengan lantang. Stella harap setelah mengatakan ini, Alex akan percaya dan tidak mengganggu Stella lagi. Dia ingin cepat-cepat pergi dari sini.

Tapi, sepertinya Stella harus menyesali keputusannya.

"Apa?" tanya Alex dengan geraman rendah sarat akan kemarahan. Dia mendengar apa yang dikatakan Stella, namun dia ingin memastikannya.

"Aku sudah mempunya kekasih, Alex." Kali ini Stella mengatakannya dengan lirih. Nyalinya tadi entah hilang ke mana. Geraman marah Alex membuat ia takut dan panik. Dan pegangan di tangan Stella semakin kuat, pertanda bahwa Alex benar-benar marah.

Tamatlah sudah. Raut wajah Alex yang mulanya dingin semakin dingin. Matanya menajam menahan amukan. Rasa marah Alex sudah mencapai ubun-ubun. Karena marah, Alex mencengkram rahang Stella kasar. Memaksanya untuk mendongak dan menatap mata tajam Alex yang di penuhi amarah.

Stella merasa tercekik. Rahangnya sungguh sakit. Dia berusaha melepaskan tangan Alex dari rahangya dan hasilnya nol. Justru, pemberontakan Stella semakin membuat cengkraman Alex lebih kuat.

"Apa? Ulangi!"

"S-sakit," rintih Stella. Dia tak mampu

"Ulangi!" bentaknya kasar.

Stella tidak menjawab. Dia tak mampu berkata lagi karena sibuk dengan rasa sakit di rahangnya. Ia yakin cengkraman Alex akan membekas dan itu akan membuat orang curiga saat melihatnya. Dan kalaupun dia menjawab, siapa tahu Alex akan melakukan hal yang lebih menyakitkan padanya. Lebih baik diam.

Alex yang sekarang, bukan seperti Alex yang biasanya. Matanya yang tajam dan merah, dia mirip Iblis dan itu membuat Stella takut.

"KATAKAN SEKALI LAGI DAN AKU REMUKKAN RAHANGMU, STELLA!!" seru Alex dengan marahnya.

(Moga aja Alex pas teriaknya nggk pakek kuah. Kalo pakek kuah, bah marahnya nggk elit bat dah)

"KAU HANYA MILIKKU, DAN AKU MEMBUNUH SIAPA PUN YANG MENDEKATIMU!!" seru Alex dengan kalimat posesifnya itu.

"S-sakit, Alex. L-lepaskan!!" Stella sudah tak tahan. Rasanya rahangnya akan remuk dan terlepas dari tempatnya. Belum lagi tangannya yang masih ditahan erat oleh Alex. Oh Tuhan.

"Sakit? Kau kesakitan, hm?" tanya Alex dengan nada penuh ejek.

"To...long. Sa...kit."

Alex membisu. Dia tak mengindahkan rintihan Stella. Alex menatap Stella tanpa ekspresi dengan udara dingin menyelimutinya, seperti hantu. Tak lama, suara baritone pria itu terdengar tepat di telinga Stella dan napas hangatnya mengenai telinga sensitif Stella.

"Christian Swan."

Deg.

Bagai disambar petir. Jantung Stella langsung berdetak kencang stelah mendengar nama yang keluar dari bibir Alex. Christian Swan. Keluarga satu-satunya Stella.

'Oh, Tidak. Jangan Kakakku.' Stella panik.

"Kau kenal dia, Stella?"

"Apa yang kau inginkan?" Stella menatap nyalang Alex.

"Mudah. Menjadi kekasihku atau...dia mati."

"Kau gila, Alex." Stella menyesal sekarang. Dia menyesal karena telah bekerja di sini dan bertemu dengan pria brengsek di depannya. Stella yakin, ancaman Alex tidak main-main. Kalau Stella menolak, kehidupan kakaknya akan dalam bahaya.

"I'm crazy because you, baby," ucapnya tepat di telinga Stella sembari melepaskan cengkramannya dari rahang perempuan itu. Tapi tidak dengan tangan Stella.

"Jika aku menerimanya, apakah kau akan membiarkan kakakku?"

"Yes, baby. Jika kau menjawab 'ya', kakakmu selamat." Sepertinya amarah Alex mulai membaik.

'Yah, mau bagaimana lagi.'

"Baiklah, aku mau menjadi kekasihmu."

'Terpaksa.' Lanjut Stella dalam hati. Of course, kalau tidak mau kakaknya dalam bahaya.

"Good girl." Alex sangat puas dengan jawaban Stella.

Terlihat jelas di wajahnya dan bagaimana dia menciumi rahang Stella yang merah akibat cengkraman Alex. Dia menjilatnya seolah itu adalah obat yang dapat menyembuhkan Stella dari rasa sakit dan itu membuat Stella jijik. Dia tidak nyaman. Ingin rasanya ia kabur dan pergi atau setidaknya menendang Alex untuk meredakan amarahnya yang dari tadi berkumpul dan menumpuk di hati dan kepala Stella.

Namun dia harus mengenyahkan keinginan itu. Stella tidak dalam bahaya, tetapi kakaknya yang dalam bahaya jika itu terjadi.

"I love you, Baby," ucapnya sambil memeluk Stella erat dengan tangan yang makin lama semakin merambat dan meremas pantat sintal Stella dengan kasar.

"Jawab!" pinta Alex dengan suara keras.

"I love you more." Terpaksa. Sangat terpaksa dan tidak niat.

Alex senang mendengarnya. Ia menyalurkan kebahagiannya dengan mencumbu tengkuk Stella dan melumat bibir Stella kasar dan liar. Seakan-akan bibir Stella adalah hal termanis yang Alex rasa. Dan yang dapat dilakukan Stella hanyalah menerima dengan pasrah.

***

Hallo, guys. Gimana ceritanya, bertele-tele kah? Atau bagaimana?.

Jangan lupa vote jika kalian suka, dan coment jika kalian ada kritik dan saran. Support kalian sangat penting bagi perkembangan cerita ini dan perkembangan diriku sendiri. I love you, guys.

#tbc

#happyweekend guys

#don't forget to vote

NurAzilawati_creators' thoughts
Next chapter