2 Antara Sang Atasan dan Bawahan

Hari pertama Stella bekerja, berjalan dengan lancar. Dia mampu beradaptasi dengan teman-teman kantornya. Bahkan tadi ia sempat makan bersama dengan yang lainnya saat jam istirahat.

Tapi, namanya hidup. Ada yang suka dan ada yang tidak suka. Karena wajah Stella yang memang cantik dan paling menonjol membuat dia tidak disukai oleh karyawati di sini, walau hanya sebagian.

Selain wajahnya yang cantik, Stella adalah orang yang ceria dan murah senyum. Dia juga ramah pada setiap orang, jadi sangat mudah untuknya berteman. Awal bekerja saja Stella sudah mendapatkan teman yaitu, Karin dan Michelle. Mereka adalah orang yang cukup lucu dan asik, sesuai dengan kepribadian Stella.

Setelah bekerja di perusahaan ini, Stella sudah merasa bagaimana beratnya. Tapi, itu tidak akan terasa jika ada teman yang menemaninya.

***

Hari sudah terlewati dengan cepat, sekarang genap satu minggu Stella telah resmi bekerja di Perusahaan Steward Corp. Suatu kebanggaan tersendiri baginya dapat bekerja disini.

Jangan tanya kenapa, karna Stella sudah menceritakannya di awal.

Sore hari tiba, para karyawan sudah mulai bubar satu persatu untuk pulang. Begitupun dengan Stella.

Saat dia ingin berjalan menuju halte, Stella mendengar suara teman kantornya.

"Hei Stella, mau pulang bersama?" tawar Michelle sambil meletakkan tanggannya di bahu Stella.

"Kami akan pergi makan bersama sebelum pulang, kau mau ikut?" Ucap Karin yang ternyata di belakang Michelle.

Ya, sebelum pulang biasanya Stella makan - makan bersama teman kantornya ini, walau tidak sering sih. Tetapi, untuk hari ini dia tidak bisa.

Stella merasa lelah, dan ingin cepat pulang ke apartmennya yang kecil tapi nyaman itu.

"Maaf, aku tidak ikut hari ini. Badanku lelah dan ingin pulang secepatnya." jawab Stella. Memang, terdapat gurat kelelahan di wajah Stella.

Mungkin karena karyawan baru, sehingga dia mendapat banyak pekerjaan dari kantor dan Stella kewalahan di buatnya.

Karin yang melihatnya juga mulai kasian dan berkata, "Baiklah, kapan-kapan kita harus makan bersama ya? Dan jaga kesehatanmu, sampai rumah kau harus istirahat."

Stella menanggapinya dengan anggukan kepala.

"Ya sudah, kalau begitu aku pergi. Sampai jumpa besok." kata Karin sambil berlalu pergi bersama Michelle berjalan menuju parkiran.

Stella berjalan menuju halte bus. Dia tak punya kendaraan pribadi. Selain karna tidak mempunyai uang yang cukup, Stella juga menganggap bahwa ini adalah olahraga.

Setibanya di halte, ia duduk menunggu kedatangan bus yang satu arah dengan apartemennya dengan menolehkan kepalanya kesana - kemari.

Sore ini, halte sangat sepi. Padahal saat pagi hari akan ramai orang hingga berdesak-desakkan. Setidaknya Stella sedikit bersyukur, karena hal itu.

Dia sangat lelah, dan ia malas berdesak-desak dengan penumpang lainnya.

Entah kenapa Stella hari ini sangat lelah. Ini merupakan pertama kalinya Stella bekerja sebagai karyawan kantoran.

Dulu saat SMA, dia bekerja paruh waktu menjadi pengantar koran dan susu di pagi hari. Sedangkan saat kuliah, ia bekerja menjadi pelayan kasir di salah satu kedai roti dan menjadi pegawai di supermarket dekat apartemennya. Menurutnya, pekerjaannya yang sekarang jauh lebih melelahkan. Ia pusing.

Stella melamun hingga tak sadar sebuah mobil hitam berhenti didepannya.

TIN! TIN!

Stella tersentak ketika mendengar klakson mobil dan melihat orang di balik kaca jendela mobil itu.

"Hei, butuh tumpangan?" Suara bass itu sangat Stella kenal.

Dan benar saja, Alexander Steward. Atasannya memberhentikan mobilnya dan sekarang berdiri menjulang di depan Stella.

Dia mendongak melihat Alex dengan wajahnya yang menggemaskan.

Wajah Alex bermandikan sinar matahari sore membuat Stella terpana sesaaat.

'Lihatlah betapa tinggi dan tampannya orang ini.' Batin Stella.

"Jadi? Mau pulang bersamaku?" Ujarnya dengan menatap tepat di bola mata Stella.

"Ah tidak usah, pak." Tolaknya halus.

Diantar oleh Bosnya ini? Yang benar saja.

Setelah kejadian kemarin, Stella masih canggung dengan atasannya ini. Apalagi, kalau duduk berdua saja di mobil. Membayangkan saja dia tidak mau. Tidak, lebih baik dia pulang sendiri.

"Tidak usah terlalu formal denganku jika diluar kantor. Kau bisa memanggilku 'Alex' bagaimana?" Suara alex terdengar lagi, mengalihkan Stella dari acara berpikirnya.

Mendengar ini Stella mengernyitkan dahinya, "Bukankah itu tidak sopan?" tanyanya canggung.

"Itu baik - baik saja jika di luar kantor." jawab Alex tersenyum tipis.

Melihat senyum itu, Stella tidaklah tidak terpesona dengannya.

'Apa-apaan senyum itu!' Batin Stella tidak terima. Dia yakin, para wanita akan langsung bertekuk lutut ketika melihat senyuman Alex.

"Baiklah, Alex". Stella akhirnya memanggil Bosnya ini dengan namanya, tapi itu hanya di luar kantor.

Awalnya dia ingin menolak, tapi karena melihat senyuman Alex, dia tidak tahan.

"Kau pulang naik apa?" Alex duduk disamping Stella.

Stella mengernyitkan dahinya. Bisa dihitung berapa kali dia mengernyitkan dahinya karna Alex.

'Apa ini tidak terlihat seperti sebuah halte? Halte untuk menunggu bus. Berarti aku pulang naik bus.' Stella memandang Alex heran, apakah sebenarnya dibalik sikap dinginnya, dia itu bodoh?.

Ck, tentu saja tidak. Kalau dia bodoh, tidak mungkin tempat Stella bekerja itu menjadi perusahaan yang terkenal dan juga tidak mungkin Stella akan mau bekerja di bawah pimpinannya.

"Naik bus tentunya." Stella menjawab dengan sopan.

"Ah baiklah. Jadi sampai kapan ingin menunggu?"

Sekarang Stella mendadak bodoh.

"Huh?"

"Untuk apa menunggu yang belum pasti, sedangkan yang sudah pasti ada di depan matamu." Alex tersenyum tampan dan menatap Stella intens.

Mendadak Stella menjadi blank. Darahnya berdesir dan mengumpul tepat di pipi putihnya, sehingga menimbulkan rona merah yang terlihat.

"Maksudmu?" Stella mengerjapkan matanya membuatnya terlihat berkali lipat lebih menggemaskan dan cantik. Tingkahnya seperti anak kecil yang tidak mengerti suatu kalimat yang diucapkan oleh orang dewasa.

Alex terkekeh, dan itu terlihat sangat tampan.

"Ayo kuantar kau pulang." Alex menarik tangan Stella menuju mobilnya. Dan Stella hanya diam menurut seperti orang kebingungan.

Ketika mereka sudah di dalam mobil, Alex memakaikan Stella sabuk pengaman. Dengan jarak yang super dekat, bahkan Stella dapat merasakan hembusan nafas Alex menerpa wajahnya. Mereka saling bertatapan. Menyelami dan mengagumi satu sama lain. Hingga Stella tersadar, dan segera memalingkan wajahnya.

Keadaan menjadi canggung.

Stella sekarang terjebak dalam sebuah mobil mewah dan mahal ini. Dia merutuki kebodohan dan kecerobohannya yang mau saja ketika ditawarkan untuk diantar pulang.

Stella tidak masalah jika rekan kerjanya yang menawarkan tumpangan. Tapi, ini atasannya. 

ALEXANDER STEWARD.

Seharusnya dia menolak saja. Biarlah ia lama menunggu bus, dari pada terjebak dalam situasi yang awkward bersama bosnya ini.

Stella menghembuskan napasnya lelah. Dia ingin cepat-cepat sampai di apartemennya. Selain agar segera bebas dari kecanggungan yang menyekik ini, ia juga ingin beristirahat.

Stella menutup matanya, mengistirahatkan pikiran, jiwa, dan raganya yang akhirnya dia telah sampai ke alam mimpi.

Alex memperhatikan Stella sedari tadi melalui ekor matanya. Sesekali dia akan kembali fokus ke jalan dan kemudian kembali melirik Stella. Hingga ia menyadari Stella telah tertidur.

Dia menepikan mobilnya sebentar. Beruntung jalanan sedang sepi sekarang.

Tangan Alex terulur merapikan rambut  Stella  yang sedikit berantakan. Dia dapat melihat mata besar itu tertutup dan bibirnya yang merah terbuka sedikit. Stella terlihat sangat cantik.

Ingin rasanya Alex mengecup bibir itu, melumatnya, dan merasakan betapa manis bibirnya yang merah alami.

Dirinya akui bahwa Stella adalah wanita yang cantik. Dia imut dan menggemaskan di waktu yang sama. Tingkahnya yang ceria, membuatnya terlihat seperti anak kecil. Senyumnya juga mempesona hingga membuat orang lain ikut tersenyum.

"Eungh." Lenguhan kecil si cantik menyadarkan keterpesonaan Alex.

Dia kembali menjalankan mobilnya hingga sampai ke apartemen Stella. Tentu dia tahu alamatnya tanpa perlu bertanya. Dia tahu segala informasi tentang Stella.

Bukankah ia atasannya?

Stella terbangun dari tidurnya, dia mengerjapkan matanya dan terbelalak ketika Alex lah yang menjadi pemandangan pertamanya. Alex menatapnya intens, dan itu membuatnya sedikit risih. Tapi Stella tetap bersikap sopan.

"Ah, sudah sampai? Maaf aku ketiduran." Ucapnya tak enak hati. Bagaimana malunya dia sekarang.

Sudah menumpang, tidur lagi. Dan terlebih lagi, di mobil atasannya sendiri. Jadi, bukan tidak mungkin kalau dia merasa malu.

"Tidak apa - apa. Kau terlihat lelah, apakah pekerjaannya sangat banyak?"tanya Alex dengan nada, khawatir?

Hanya perasaan Stella, atau memang Alex khawatir padanya? 

Hanya perasaannya saja. Alex mungkin hanya basa-basi dengannya. Jadi Stella tak ambil pusing.

"Tidak kok" jawabnya menggeleng cepat.

"Oh syukurlah." Alex tersenyum lagi.

Stella kembali tertegun. 'Senyumannya sangat tampan.'

"B-baiklah kalau begitu, terimakasih Alex. Aku turun." Stella kemudian membuka pintunya dan keluar dari mobil lalu kembali menutupnya dengan pelan.

Barang mewah. Tentunya dia harus hati - hati.

"Kalau begitu aku pergi dulu, sampai jumpa." Ujarnya dengan senyuman yang tak lupa dia suguhkan untuk Stella.

Mobil Alex pun perlahan menghilang dari pandangannya. 

Setelah Stella melihat kepergian Alex, dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen kecilnya.

Walaupun kecil, tapi itu bisa membuat dia merasa nyaman, Stella tidak masalah.

Stella tidak mau menyewa apartemen yang mewah. 

Karena uang? 

Oke itu salah satunya. Selain karna tidak punya uang yang cukup untuk menyewa apartemen mahal, Stella lebih memilih menggunakan uang itu untuk kebutuhannya.

Dia sudah cukup pusing memikirkan uang makannya, uang listrik, air, transportasi dan sebagainya.

Stella juga tidak mau meminta dan merepotkan Kakaknya. Dirinya ingin mandiri dan mendapatkan uang dari hasih jerih payahnya.

Sebenarnya, Stella dapat tinggal di rumah neneknya, tapi sekarang rumah itu sudah dijual karna tidak dapat membayar lunas rumah tersebut.

Stella masih berkomunikasi dengan kakaknya, walaupun jarang. Sebulan sekali ia akan mengunjungi kakaknya. Terkadang Stella juga akan mengunjungi makam kedua orang tuanya dan neneknya, setiap tahun.

Kakaknya lebih memilih tinggal di Los Angeles karena keluarga kecilnya yang tinggal di rumah dekat dengan tempat tinggal mertua Kakaknya.

Hidup sendiri tidak membuat Stella putus asa.

Dia terus berjuang hidup dengan bekerja dan suatu saat ia berharap dapat menikah, memiliki anak dan hidup bahagia.

Setelah masuk ke dalam aprtemennya, Stella langsung menuju kamarnya dan bergegas mandi. Lalu dia memakai piyama tidur bergambar doraemon dan keluar kamar menuju dapur untuk meminum susu strawberry kesukaanya. Hal rutin yang Stella lakukan sebelum tidur.

Stella meminum susu stawberry sampai tandas hingga tak terlihat bulir - bulir airnya.

Setelah selesai, dia mencuci gelasnya dan kembali ke kamar kemudian melanjutkan tidur yang sempat ter-pause saat di mobil Alex tadi.

***

Di pagi yang cerah ini, tokoh utama kita melangkahkan kakinya masuk ke dalam sebuah perusahaan, yang tentunya tempat dia bekerja.

Bukan hal biasa seorang atasan dan karyawan pulang bersama. Itulah yang terjadi pada Stella dan dampaknya saat ini dia rasakan.

Sekarang dia menjadi fokus semua orang di kantor dan itu membuat dia sedikit tertekan.

Kabar bahwa Alex mengantarkan Stella pulang sudah tersebar luas. Menimbulkan bisik-bisik para karyawan. Stella tahu bahwa dia menjadi topik hangat pembicaraan pagi ini. Ada yang memandang ingin tahu, heran, benci, jijik. Tapi ia bersikap cuek dan tidak peduli.

Terdengar suara - suara pelan dari orang - orang saat Stella lewat. Dan tentunya membahas dia dan Alex.

"Hei kau tahu, berita Pak Alex mengantarkan Stella pulang?"

"Iya aku baru dengar tadi, astaga aku tidak percaya ini. Pak Alex bukan orang yang sebaik itu."

"Apakah mereka memiliki hubungan rahasia?".

"Gila, aku tak percaya ini."

"Cih, menjijikkan."

"Dasar jalang."

"Mungkin saja mereka sepasang kekasih?"

"Hei, Boss seorang pria beristri, kau lupa?".

"Mereka berselingkuh mungkin?".

"DAEBAK!!".

Mendengarnya membuat telinga Stella panas. Dia menggerutu di sepanjang jalan menuju meja kerjanya. 'Dasar mulut penggosip.' Batinnya kesal.

Stella heran, kabar seperti itu terlalu dilebih-lebihkan. Dia hanya diantar oleh atasannya. Bukankah itu wajar? Sekejam-kejamnya atasan pasti ada sisi baiknya bukan? Mengapa mereka terlalu mempermasalahkan hal itu? 

*haiyoo.. kau itu polos atau apa?

Hingga jam kantor telah habis, Stella segera merapikan peralatannya dan ingin cepat pulang. Dia berjalan keluar kantor dengan santai, tidak mempedulikan sekitar.

Cuacanya cerah di sore hari, dan sepertinya ia memilih untuk berjalan kaki saja.

TIN! TIN! 

Stella menoleh dan menemukan mobil yang sama seperti di halte kemarin tepat berada di sampingnya.

'Oh, tidak. Jangan lagi' Stella merasa frustasi sekarang.

"Butuh tumpangan, lagi?" Tanya Alex dengan senyum di wajahnya.

Stella menghembuskan napasnya. Alex kembali mengajaknya pulang bersama. Apakah Alex tidak mendengar gosip antara dia dan Stella di kantor tadi?.

"Tidak terimakasih Pak. Saya berjalan kaki saja" Tolaknya halus.

"Tidak apa, naiklah. Aku memaksa." Alex masih mempertahankan senyumnya walau terlihat tipis.

"Tidak saj,-"

"Naik atau kau kupecat?!." Wajahnya berubah dingin. Itu bukan pilihan, itu perintah.

"B-baiklah" Stella terpaksa naik dan menumpang kembali di mobil atasannya sambil dia melihat sekitar, kalau - kalau ada orang kantor yang melihat. Kalau tidak, gosip yang beredar di kantor tidak akan mereda, malah akan semakin tumbuh dan berkembang.

Stella cepat bergegas masuk ke dalam mobil Alex. Dia takut dengan perubahan eskpresinya yang benar-benar menyeramkan.

Setelah Stella sudah mendaratkan pantat bahenolnya ke kursi di depan, lalu Alex memasangkan Stella sabuk pengaman.

Jujur, ini aneh. Stella bisa melakukannya sendiri. Lebih dari bisa malah. Tapi, kenapa Alex selalu memasangkannya sabuk pengaman. Tapi Stella memang cuek, jadi ia anggap ini bentuk keramahan bukan kemodusan.

"Apa kau lapar? Temani aku makan, ok?". Tanpa persetujuan Stella, Alex membawa mobilnya menuju salah satu restoran mahal.

Mereka berdua turun dari mobil dan mulai masuk ke dalam restoran. Awalnya Stella menolak saat dipaksa turun, tapi lagi-lagi ia diancam akan dipecat. Jadi Stella hanya bisa pasrah menurut.

"Kau ingin pesan apa?" Tanya nya ketika mereka telah duduk dibangku dekat jendela yang menyuguhkan pemandangan demi pemandangan yang indah.

Stella melihat-lihat buku menu yang diberikan oleh pelayan restoran dan dia bingung dengan nama-nama makanan ini. Jadi ia hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Saya tidak tahu Pak."

Alex hanya membalas dengan senyum tipis, lalu dia memesan nama makanan yang ada di menu dimana Stella susah mengucapkannya dan sebotol wine.

"Samakan pesanan dia denganku." Kata Alex dengan menutup buku menu dan mengembalikannya ke pelayan. Pelayan tersebut pergi untuk mempersiapkan hidangan permintaan Alex.

Kecanggungan kembali menyelimuti mereka. Ah lebih tepatnya, Stella. Ia tidak tahu harus berbicara apa pada atasannya. Jika pada rekan kerja dan temannya, dia akan berbicara sesuka hati. Tapi Alex terlihat biasa saja dengan keadaan ini. Jadi Stella juga mencoba menyamankan diri.

'Hitung-hitung makan gratis. Tak apalah' batinnya.

"Alex." Ucapnya singkat, padat, dan tidak jelas tanpa menatap sang lawan biacara. Alex hanya memainkan ponselnya mengetik sesuatu disana.

"Maaf?" Stella bingung tentu saja.

"Jangan panggil Pak atau Boss, panggil aku Alex. Bukankah kita sudah sepakat?". Dia menaruh ponselnya di sakunya lalu beralih menatap Stella.

Stella mulai gugup, "O-oh i-iya aku lupa tadi." Ucapnya terbata.

"Apakah kau punya kekasih?".

"Huh?kekasih?". Stella agak terkejut mendengar pertanyaan ini.

"Hm, untuk saat ini aku tidak punya."

"Untuk saat ini?" Alex mengangkat sebelah alisnya.

"Iya, karena sekarang aku harus fokus pada pekerjaan."

"Hmm." Hanya gumaman tidak jelas sebagai balasan dari perkataan Stella.

Sekarang Stella mulai merasa keadaan menjadi canggung kembali. Dia bingung harus melakukan apa, ditambah makanannya belum datang.

'Apa aku harus memulai pembicaraan?' Batin Stella bingung.

"Bagaimana hubungan antara kau dan istrimu?

Alex terdiam.

Stella merutuki kebodohannya lagi. Sungguh dia tidak tahu harus berbicara apa. Dengan idiotnya ia bertanya keadaan rumah tangga orang. Apalagi, ini adalah atasannya sendiri.

"Baik." Jawab Alex datar.

Stella terkejut, dia tidak menyangka jika Alex akan menjawab pertanyaannya yang terkesan agak lancang.

"Oh, baiklah."

"Kau tahu istriku?" Stella tersentak ketika Alex kembali bertanya.

"T-tahu."

"Bagaimana pendapatmu tentang dirinya?". Alex menatap Stella dengan tatapan yang sulit diartikan.

Stella bingung harus menjawab seperti apa saat ditanya pendapat tentang istri atasannya. Tentu jawabannya harus terbaik bukan?.

"Dia sangat cantik, dan lemah lembut. Tapi sejujurnya aku belum pernah bertemu langsung. Jadi, aku menyimpulkan saat melihat fotonya."

'Tapi dibandingkan kau, dia tidak ada apa - apanya' batin Alex

"Kau akan segera bertemu dengannya." Alex menatapnya dalam.

"Mak-" Belum selesai dia bicara, tapi telah di sela oleh seorang pelayan.

"Permisi, makanan nya datang."

Pelayan itu menyajikan makanan dan minuman yang telah dipesan. "Silahkan tuan." Ucapnya sambil mengundurkan diri.

Mereka berdua makan dalam diam. Stella sebenarnya masih memikirkan ucapan Alex. Tapi, dia berusaha untuk tidak peduli.

Ketika keduanya selesai makan, Alex membayar makanannya dan mereka kembali melanjutkan perjalanan untuk mengantar Stella pulang ke apartemennya.

Mobil Alex telah tiba di tempat tinggal Stella.

"Terimakasih Alex, maaf merepotkan." ujar Stella dengan senyumnya.

"Tidak aku yang harusnya berterimakasih karna sudah menemaniku makan." Alex tersenyum.

Stella balas tersenyum cerah, menyampaikan perasaan terimakasihnya lewat senyumannya yang indah. Dan Alex menyukai senyuman itu. Sangat menyukainya.

"Lalu aku akan masuk."

"Hmm, beristirahatlah."

"baiklah."

"Oke, aku pergi. Sampai jumpa."

Alex lalu menyalakan mobilnya dan kembali menghilang dari pandangan Stella.

avataravatar
Next chapter