6 Sebuah Janji

*Chapter 5*

Kicau burung mengisi ketenangan pagi yang cerah dan menyejukkan. Embus angin dari arah barat membawa serta guguran daun kersen ke pekarangan pesantren. Tiga anak yang sedang bermain kelereng terlihat asyik sambil tertawa renyah.

Di beberapa tempat, santri yang lain ikut memainkan permainan tradisional. Gatrik, petak umpet, boi-boian, sampai egrang menemani hari libur mereka pagi itu. Tak sedikit pula yang memilih untuk bermain bola di lapangan.

Iki menyeret tong sampah terakhir yang bisa dibawanya ke dekat tangga asrama kelas dua. Dia menaruh benda berwarna biru itu dengan hati-hati, was-was kalau kotoran dari air yang ada di bagian terdalam tong sampah mengotori pakaiannya.

Setelah semua dilakukan, Iki mulai mengistirahatkan diri di dekat kebun warung bi Enok. Sambil menikmati sepoi angin, matanya lurus pada santri yang sedang bermain bola. Biasanya dia akan menghabiskan waktu di saung samping aula. Namun kali ini dia memilih untuk diam di kebun bi Enok.

Iki tersenyum mengingat waktu di pesantrennya tinggal sebulan. Dia akan segera pulang. Menunggu tiap harinya membuat Iki tidak sabar.

Setelah kejadian malam itu, Iki masih belum kembali ke asramanya. Cikal pun masih belum menyapanya lagi. Iki memilih untuk diam, bahkan setelah mendengar ceramah yang dibawakan Cikal kemarin. Terlalu malas meminta maaf.

Sebenarnya dia merasa bosan berada di rumah bata merah. Iki tidak bisa berdiam diri di kamar. Setiap melihat ustaza Imas membersihkan rumah, Iki terpaksa harus ikut membantu. Terkadang dia juga mencucui piring. Namun itu tidak bisa terus-terusan dilakukan. Iki bukan pembantu.

Ia ingin kembali ke kamarnya, tapi mengingat perseteruannya dengan Cikal belum usai, membuatnya urung.

Kembali dia menarik napas panjang setelah otaknya memikirkan semua masalah yang terjadi.

Apa semua itu tidak ada jalan keluarnya? Iki menggeleng tak pasti.

Saat itulah seseorang berdiri di belakangnya tanpa disadari. Iki masih menatap santri yang bermain bola sampai akhirnya seseorang itu berdeham pelan. Iki menoleh, matanya terbelalak.

"Oh, kamu." Iki berusaha bersikap setenang mungkin. Tidak mau memperlihatkan keterkejutannya pada Cikal.

"Lagi apa? Ayo ikutan main di sana. Aku punya banyak kelereng." Cikal merogoh saku kokonya, lantas menyerahkan dua biji kelereng pada Iki. Namun Iki diam, tak menerima kelereng itu.

"Enggak. Makasih. Iki di sini aja."

Di luar dugaan, Cikal justru ikut duduk di sampingnya. Menaruh dua kelereng itu di tanah, memaksa Iki menoleh, menatapi benda yang baru saja Cikal letakkan. Iki diam dengan tatapan birunya. Membisu.

"Kamu masih marah?" tanya Cikal membuka lagi percakapan.

"Ehmm." Iki hanya mengerang pelan. Matanya masih terpaku pada dua biji kelereng warna hijau di depannya.

Bagaimana ini? Apa yang harus dia lakukan? Apa Iki pergi saja dari situ? Otaknya terus berpikir. Tidak tahu harus berkata apa. Canggung rasanya ketika dia bersama Cikal di saat-saat seperti ini. Iki terlalu egois untuk meminta maaf.

Namun di hatinya paling dalam, dia juga ingin berdamai dengan Cikal.

"Aku udah minta maaf sama kamu. Sekarang tergantung kamu, Iki. Terserah. Alloh sudah kasih jalan buat aku minta maaf sama kamu. Kalau masih marah dan enggak mau terima maafku, enggak apa-apa. Makasih." Cikal berdiri, lantas menepuk pantatnya yang kotor. Tak lama, dia berbalik dan meninggalkan Iki sendirian.

Sebelum Cikal benar-benar pergi meninggalkannya, sekejap mata dia bangkit, berbalik dan mencekal tangan Cikal kuat-kuat. Menahan agar bocah itu tidak pergi sebelum mengutarakan apa yang dirasakannya.

Langkah Cikal berhenti saat Iki menyebut namanya dengan suara berat dan bergetar.

"Tunggu, Cik."

Cikal tak berbalik atau pun menjawab ucapan Iki. Diam, membiarkan Iki mencekal tangannya sambil menunggu apa yang akan diucapkan anak itu. Sambil menunggu, dia menarik napas, menghitung satu sampai lima, kemudian mengembuskannya perlahan.

Sebenarnya dia sudah kesal dan jengkel karena Iki terus-terusan marah padanya. Kalau bukan karena rasa bersalahnya waktu itu, dia tidak mau berurusan dengan Iki lagi. Mengetahui Iki tinggal di rumah ustaz Aji saja Cikal sudah bersyukur. Dengan begitu tidak akan ada yang membuat masalah dengannya.

Tuhan saja Maha Pemaaf, masa Cikal harus terus dendam karena masalah kemarin. Dia mencoba mengensampingkan emosi dan masalah pribadinya dengan Iki, menerima semuanya dan berusaha untuk meminta maaf. Namun justru Iki-lah yang terkesan mengulur waktu dan terus-terusan marah padanya.

"Iki bakal maafin kamu. Asal kamu mau bantu Iki mengatasi sesuatu," ucapnya dengan nada pelan. Takut kalau ada orang yang menguping pembicaraanya. Masih dalam posisi yang sama Cikal menjawab, "Kamu mau maafin aku? Tapi pakai syarat?"

Dia mulai berbalik dan menatap Iki dengan wajah kesal. Sebaliknya, Iki malah memaparkan mimik datar tanpa emosi.

"Iki maafin kamu tulus. Tapi sebagai gantinya, bantu Iki keluar dari rumahnya ustaz Aji."

Tak langsung menjawab, Cikal malah diam sembari menatap manik biru Iki yang makin terang karena tersinari matahari.

Mudah saja bagi Iki untuk keluar dari rumah bata merah, dia hanya perlu bilang jika dirinya ingin kembali ke kamar asrama dan mengatakan kalau mereka sudah berdamai. Iki tak usah banyak beralasan jika dia tidak betah di rumah itu. Ustaz akan mengerti dan membiarkannya pergi.

Namun, bukan itu yang Iki inginkan. Bahkan setelah semua yang dilakukannya pada Cikal, dia masih ingin mengerjai anak itu habis-habisan. Iki tidak ingin melepaskan Cikal begitu saja. Upah yang harus dibayar oleh Cikal karena Iki sudah memaafkannya adalah membantunya keluar dari rumah bata merah. Dan itu sepadan, pikirnya.

"Lepasin tanganku." Cikal meminta dengan sopan, meski wajahnya tak mencerminkan keramahan. Sudah menekan amarah sedari tadi. Cikal masih berusaha menahan agar dia tak kembali memarahi Iki.

"Oke. Aku akan bantu kamu. Tapi kamu harus janji banyak hal sama aku."

Dua insan itu berdiri berhadapan di dekat pagar makam. Embusan angin menerbangkan daun hanjuang merah, menyingkap ujung pakaian keduanya dalam kebisuan. Untuk beberapa saat Iki hanya diam tak merespon apa pun.

"Apa itu?"

"Berjanji, kamu enggak bakal bikin masalah yang akan menyeretku lagi. Enggak akan buat keributan di kamar dan berhenti jadi santri yang nakal!"

"Shi ... shi ... shi." Sambil tertawa Iki mengangguk menyanggupi permintaan Cikal. Selama kesepakatannya berjalan, itu tidak masalah. Toh Iki sama-sama diuntungkan. Soal jangan nakal di lain waktu? Bisa Iki pikirkan. Kalau semisal dia tidak bisa berhenti, jangan salahkan dirinya. Itu sudah ada sejak Iki dilahirkan!

Iki ngakak sambil membayangkan hal apa saja yang akan dia perbuat di tiga puluh hari terakhirnya nanti. Mengenyampingkan perjanjian yang sudah dibuatnya dengan Cikal.

**

Mengaji, sekolah, mengaji, menghafal dan mengerjakan PR. Rutinitas itu diulang terus menerus sampai mereka lulus dari sekolah. Ada yang memilih untuk menetap di pondok, ada juga yang lanjut sekolah menengah atas di luar pondok. Beberapa santri yang memilih untuk tinggal menjadi pengurus tetap dan menjadi sesepuh.

Menetap di pesantren? Tentu saja bukan apa yang Iki inginkan. Dia malah kepengin cepat-cepat keluar dari penjara suci itu.

Setelah dia kembali ke kamarnya, Iki memang sudah berubah. Dia menepati janjinya. Namun ....

Iki mulai terbiasa membersihkan kamar, menyapu seluruh koridor asrama dari pintu satu sampai ke ujung di mana kamarnya berada. Merapikan seprai, sepatu, buku dan semua hal yang berantakan dia susun dengan rapi.

Iki juga mengerjakan PR dan menghafal surat dengan tekun, berangkat ke masjid tepat waktu dan tak pernah membuat masalah. Mulai meminta maaf pada Zamil dan Indra. Namun, semua itu cuma berlangsung dua hari saja. Ke sananya dia mulai merasa bosan lagi dan ingin segera keluar pesantren.

Malah, tanpa sepengetahuan Cikal, Iki mulai melancarkan semua aksinya.

Saat solat isya berjamaah, Iki sengaja pulang lebih dulu. Dia meminta izin untuk mengambil wudhu dan tidak pernah kembali ke masjid. Saat solat selesai, santri bubar dari dua pintu. Mereka berhamburan ke segala arah. Ada yang menjerit karena sandalnya hilang, ada juga yang terjatuh karena lantainya licin penuh sabun pel.

Iki tertawa terbungkuk-bungkuk ketika melihat salah satu anak terpeleset jatuh karena ulahnya. Dia bersembunyi tak jauh dari kolam samping masjid sehingga tidak ada satu orang pun yang tahu siapa dalang di balik semua kekacauan ini.

Saat di kamar, dia memilih untuk tidur karena kelelahan setelah menjahili santri saat isya tadi. Iki belum sempat membereskan kamarnya. Buku dan semua barangnya berserakan, pakaian di dalam lemari berantakan seperti habis disapu topan.

Iki malas melakukan sesuatu.

"Lemari kamu berantakan banget," ucap Cikal saat dia tiba di kamar, berbaring di ranjang sambil membaca buku.  Iki di ranjang atas tak meyahuti. Dia pura-pura tidur.

"Iki? Hey, lemari kamu belum diberesin. Itu buku-buku di lantai kenapa enggak disusun rapi?" tanya Cikal dengan nada tinggi. Dia kesal karena kamarya berantakan. Semua ini tanggung jawab Iki.

"Apa, sih? Iki capek mau tidur. Kamu aja yang beresin." Iki menjawab dengan nada yang nyaris seperti erangan.

"Itu kan barang-barang kamu."

"Emang kenapa kalau kamu yang bereskan? Iki capek."

"Iki ...."

"Hey?" Cikal geram. Dia membanting bukunya ke atas kasur, kemudian menaiki anak tangga, menyusul Iki untuk menyeretnya secara paksa. Iki sudah keterlaluan. Apa dia lupa dengan janjinya?

"Kamu katanya mau berubah?" Cikal menyibakkan selimut yang membungkus tubuh Iki. Anak itu merengut tak suka saat selimut hangatnya diambil.

"Kan Iki udah bilang, kamu aja yang bereskan. Bawel banget, sih? Iki capek. Kamu tahu enggak capek?" Iki membentak Cikal.

"Aku bisa aja bereskan, tapi kalau aku yang lakukan, kamu enggak akan pernah belajar artinya bertanggungjawab!"

"Sekali ini doang," bantah Iki. Cikal merengut tak suka, memasang wajah marah.

"Kamu hidup di pesantren itu harus mandiri. Melakukan apa-apa sendiri. Kalau terus-terusan mengandalkan orang lain, kamu bakal manja!"

"Iki emang enggak pernah mau masuk pesantren, kok!"

Mendengar hal itu, Cikal mengepal erat. Dia tak suka dengan alasan yang Iki buat. Mengingat perjuangan dia untuk masuk pesantren harus mati-matian, dengan enteng Iki bilang dia tidak mau masuk pesantren.

Harusnya dia bersyukur karena dengan mudah berada di sini. Cikal harus menjual sawah dan kebun agar bisa masuk sekolah.

"Kamu harusnya bersyukur. Hidup kamu lebih baik dariku."

"Hmmm." Iki memalingkan wajah ke sembarang arah, muak menatap Cikal yang masih berdiri pada anak tangga di hadapannya.

"Harusnya aku tahu ...," ucap Cikal menggantung. Dia menunduk, menatapi anak tangga dan turun perlahan. Setelah sampai di bawah, Cikal duduk di ujung ranjang sambil menoleh ke atas. "kamu emang enggak akan pernah berubah sampai kapan pun. Karena pada dasarnya kamu cuma anak manja, cengeng, pemarah, biang rusuh. Mana mungkin orang kayak kamu bisa berubah jadi lebih baik!"

Iki panas mendengarnya. Rasanya gendang telinganya mau pecah setiap kali mendengar Cikal mengatakan kata tak mengenakkan itu. Cikal menginjak-injak harga dirinya. Iki tidak senang. Nafsunya kembali menggebu di dalam diri.

"Mau berapa kali pun berjanji, yang namanya buruk, tetap akan buruk. Aku salah nilai kamu, Ki." Cikal lepas kendali. Dia tidak berpikir dua kali untuk mengucapkan rentetan kata menyakitkan itu pada Iki. Ia tak belajar dari kesalahan, jika pertengkarannya waktu lalu menyebabkan Iki demam.

Kali ini, bisa jadi hal lebih buruk terjadi.

Namun Cikal sudah tidak peduli lagi. Karena pada kenyataanya Iki memang seperti apa yang dia ucapkan barusan. Dia hanya anak manja dan cengeng.

"Cukup, Cikal! Kamu tahu apa soal Iki? Selama ini, kamu cuma mementingkan diri sendiri, kamu egois. Apa itu lebih baik dari Iki?" Matanya terasa perih dan berair. Sesak di dada memelesat secepat ucapannya terlontar keluar. Iki tidak tahu lagi harus bagaimana, yang dia pikirkan sekarang hanya meledak dan meluapkan semua kekesalan itu pada Cikal.

Iki bangkit dari tidurnya, kemudian turun menghampiri Cikal yang masih duduk dengan wajah datar tanpa dosa. Merasa tak bersalah setelah membuat Iki menangis.

"Cukup! Iki enggak mau dengar apa pun lagi dari mulut kamu. Dan ... I-iki ... Iki bakal buktiin sama kamu kalau Iki bukan anak cengeng dan manja!" Suara Iki bergetar, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis meski air matanya tidak bisa berbohong. Tetes demi tetes turun mengiringi semua ucapan yang Iki lontarkan.

Bunyi jarum jam bergema di ruangan, beradu dengan isak tangis yang makin lama terdengar nyaring. Iki tak bisa membendung lagi rasa sakit di hatinya. Kali ini dia benar-benar marah pada Cikal.

"Aku ... aku bakal buktikan sama kamu kalau aku enggak cengeng!" Iki mengentakkan kaki sambil mengepal erat, berbalik dan meninggalkan kamar dalam keadaan menangis.

To be continue

Dan jangan lupa baca naskahku yang "Catch Me If You Can" ya? Kalian bisa baca lanjutannya di aplikasi Dreame.

Terima kasih.

avataravatar
Next chapter