8 Kupu-kupu yang Indah.

*Chapter 7*

"Maka tuntutlah ilmu, sejak dari buaian hingga ke liang lahat. Wassalamu'alaikum wr.wb." Iki menyudahi ceramahnya dengan salah satu hadist yang sering didengar oleh santri saat pengajian. Dia tersenyum mengakhiri semua itu, seolah beban dan rasa grogi yang menggelayutinya sirna seiring dengan embus napas sesak terakhirnya.

Riuh tepuk tangan membuat Iki sesenggukan menangis haru. Dia bangga sendiri. Rasanya seperti mimpi ketika orang-orang yang dahulu menjauhi dan memusuhinya, sekarang malah bertepuk tangan untuknya.

Iki benar-benar tidak percaya. Dia menaruh pengeras suara di meja, bangkit, lantas berlari sambil menangis ke arah Cikal yang sedang duduk di ujung ruangan, dekat pintu masuk. Dia menangis di pangkuannya.

"Hii ... makasih, Cikal. Berkat kamu, Iki lancar bawakan materinya." Cikal mengusap kepala Iki pelan sambil tersenyum, matanya terasa panas. Dia mulai membuka hati sepenuhnya untuk menerima anak itu. Iki benar-benar banyak berubah.

"Semua berkat kamu, berkat usaha dan doa. Udah, aku enggak melakukan apa pun." Cikal melepas pelukan, mendorong Iki menjauh dan menatap wajah Iki yang sudah hancur oleh air mata. Dia tertawa sambil menangis. Geli sendiri.

Iki melepas sorban merah milik Cikal, kemudian menaruhnya lagi di leher anak itu dengan dua kali lilitan. Iki belum punya sorbannya sendiri. Dia masih pinjam punya Cikal.

"Makasih sorbannya." Iki tertawa, meski air matanya belum hilang.

"Iya."

Karena tidak ada lagi kegiatan setelah acara selesai, Iki kepikiran sesuatu untuk mengisi waktu kosongnya sebelum jam tidur tiba.

Iki menarik paksa Cikal, membuat anak itu berdiri. Tak lama, dia menyeka air matanya sendiri dan mengajak Cikal untuk pergi ke saung apung. Cikal yang tidak punya acara lagi hanya bisa mengangguk setuju.

Tidak tahu apa yang harus dia ucapkan untuk semua perubahan yang terjadi pada Iki. Cikal masih ingat jika anak itu selalu mengeluh dan merengek minta pulang. Namun kini, lelaki yang sedang berjalan di depannya sudah banyak berubah. Iki tak lagi cengeng, manja atau melakukan semua hal kekanakan lainnya.

Mengucapkan syukur dan terima kasih saja rasanya tidak cukup. Tuhan Maha Baik. Semua ini Dia curahkan untuk hamba-Nya.

Di bawah rembulan sabit yang terang, Cikal mengucapkan sebuah janji pada dirinya sendiri. Dia akan membantu Iki menjadi lebih baik, senantiasa berada di sampingnya, mengubah seekor ulat bermetamorfosa menjadi kupu-kupu yang cantik.

Cikal akan menjadi sebuah dahan untuk kepompong berubah menjadi sesuatu yang cantik, meski di awal pun Cikal tahu, bahwa cantik dan indah itu bukan untuknya.

Dia tak bisa selamanya bersama Iki. Setelah kabar yang Iki berikan tentang tiga puluh hari itu, Cikal merasa hatinya mencelus begitu saja. Rasa kecewa bersemayam, mengakar dan tumbuh menjadi kesedihan yang mendalam. Dia pikir dengan perubahan pesat yang terjadi pada Iki, anak itu tidak akan mengungkit masalah lama dan memutuskan untuk tinggal di pesantren.

Nyatanya Iki tetap bilang dia harus pulang.

"Kamu jangan sedih, dong." Iki melempar pakan terakhirnya di tangan ke dalam air, lalu menepukkan telapak tangan, membersihkan kotoran.

"Ya, aku sedih karena kita baru aja jadi sahabat dekat. Kamu beneran mau pulang?"

"Itu keputusanku, Cikal." Iki tersenyum sebisanya, meski dia ikut sakit melihat Cikal bersedih.

Namun Iki sudah bertekad untuk pulang setelah tiga puluh hari dia habiskan di pesantren. Sambil menatap kawanan ikan yang menjauh, Iki menghitung sisa harinya di pesantren. Seketika saja dia teringat soal ujian akhir semester.

"Seminggu lagi ujian, ya?" tanya Iki. Cikal mendongak, mengangguk, kemudian melempar pakan itu ke daratan. Dia sama sekali tidak bernafsu untuk memberi makan ikan.

Satu minggu lagi ujian, itu artinya Iki harus pulang setelah ujian berlangsung. Tidak apa, dia masih punya satu minggu tersisa untuk menghabiskan waktunya bersama Cikal. Jika pun nantinya dia harus pulang, setidaknya dia punya sesuatu untuk dikenang.

Sejenak suasana hening, menyisakan embusan angin yang menerbangkan dedaunan. Iki menatap pada pohon kersen di depannya. Pohon itu sudah berhasil dia taklukan. Itu semua berkat Cikal.

Selama dia berada di pesantren, Iki selalu ingin naik pohon itu dan memetik buahnya dengan tangannya sendiri. Dari dulu dia tidak pernah bisa naik pohon. Cikal-lah yang dengan telaten mengajarinya memanjat.

Mungkin nanti, dia akan merindukan pohon itu dan semua kenangan yang dia torehkan di sana. Iki tersenyum hambar.

"Ki, aku pengin cerita sesuatu." Cikal menekuk kakinya, beranjak, membersihkan kotoran dari sarung biru lantas berdiri di samping Iki.

"Apa?"

"Aku pengin cerita kenapa aku bisa sampai ada di sini," ucapnya diikut tatapan sendu. Iki tersentak, menatap serius lalu mengangguk.

**

Pak RT sudah tidak tahu lagi harus bagaimana menghentikan semua kekacauan di kampungnya. Dia sama sekali tidak punya kekuasaan yang lebih untuk memarahi mereka yang terus-terusan membuat onar. Alih-alih pembawa bencana itu berhenti, malah pak RT yang babak belur dikeroyok.

Sekumpulan pemabuk yang selalu meresahkan warga itu tidak pernah berhenti berjudi siang dan malam. Terkadang, jika ada wanita yang tak senagaja lewat ke kawasan mereka akan langsung dijadikan mangsa untuk direnggut harta dan kehormatannya.

Nandar adalah ketua dari geng pemabuk di kampung itu. Hartanya banyak bukan main. Sawah sampai kebun dia punya. Semua itu didapatkannya dari hasil berjudi.

Dengan adanya mereka di kampung, warga menjadi was-was. Bahkan, untuk melakukan ibadah pun menjadi tidak tenang. Beberapa anak buah Nandar sengaja melarang orang-orang untuk beribadah.

Bisa dikatakan, selama mereka hidup, kampung itu jauh dari kata islami.

Suatu hari, Nandar ditemukan tewas karena overdosis minuman keras. Mereka bilang jika Nandar memakan lima buah durian sekaligus dengan minuman keras oplosan. Mayatnya kaku dan nyaris tidak ada yang mau mengurusi.

Lelaki itu meninggalkan seorang istri dan anak lelaki bernama Cikal. Setelah kematiannya, sang istri berpesan pada anak sematawayangnya, jika dia tidak boleh mengikuti jalan sesat sang ayah. Bagaimana pun caranya, dia harus menjadi orang yang bisa membawa perubahan pada kampung itu.

Dengan semua sisa harta yang ada, ibu Cikal memasukkannya ke pesantren. Berharap dia menjadi orang berilmu, berwawasan dan beragama tinggi yang kelak bisa mengubah kampung itu menjadi lebih baik.

Semangat yang Cikal warisi dari ibunyalah yang kini menjadikan dia terus bertahan, berusaha dan semangat menjalani kehidupan di pesantren. Cikal juga punya mimpi membangun pesantren di kampungnya.

Bagaimana pun caranya, dia harus bisa menjadi orang yang lebih baik dari sang ayah.

Setelah menceritakan hal itu pada Iki, Cikal menundukkan wajahnya, membalikkan badan, lantas kembali duduk dan membenamkan diri di antara dua lutut.

"Aku cuma bisa berjuang di sini untuk menjadi anak yang berbakti." Cikal sesenggukan. Iki tersentak, kemudian berjongkok, mengusap punggung Cikal halus.

"Seharusnya kamu beryukur, Ki. Kamu bisa dengan mudah masuk pesantren. Memiliki orangtua yang sayang sama anaknya."

Malam sudah sangat larut. Bebunyian pun hilang digantikan oleh isak tangis Cikal yang makin kencang. Iki tidak tahu harus bagaimana. Dia bingung sendiri menanggapinya.

"Tapi, aku enggak berusaha buat cegah kamu pulang. Aku enggak berniat apa pun." Cikal mendongkak dengan wajah yang habis tersapu air mata.

Setitik pun Iki tidak berpikir jika Cikal sedang mencegahnya pulang. Dia mengerti kenapa sekarang Cikal menceritakan masa lalu padanya. Itu karena dia sudah bisa dipercaya, Iki berhasil menjadi sosok untuk Cikal bersandar.

Untuk hal itulah Iki berterima kasih karena sudah dianggap sahabat oleh Cikal. Cikal banyak memberikan hal baru padanya. Mengajarkan ilmu yang bahkan tak diajarkan di sekolah. Untuk ukuran anak sebelas tahun, Cikal cukup memiliki wawasan yang luas.

Jika Tuhan menghendaki, Iki yakin, kapan dan di mana pun mereka dipertemukan lagi, keduanya tetap menjadi seorang sahabat. Karena sosok sahabat sejati, ada saat baik dan buruk kondisi. Berjuang di awal sampai akhir. Menemani kita sampai ke surga nanti.

Iki mengusap lagi punggung Cikal dengan halus, kemudian membisikkan sesuatu yang baru saja terlintas di otaknya. Sambil memejam, dia mengucapkan beberapa kali kata aamiin agar Tuhan mengabulkan apa yang diharapkannya.

"Kamu bakal jadi orang pertama yang nunggu Iki di pintu surga, Cikal," ucap Iki dengan wajah paling cerah yang bisa dilihat Cikal selama ini. Senyumnya terukir tulus tanpa beban.

"Amiin, ya Rabb. Makasih, Ki."

"Alhamdulilah aku punya orang-orang hebat di sekitarku," lanjutnya.

"Iya. Shi ... shi ... shi."

"Indra bilang aku orang yang humble, dan Zamil bilang aku anak yang ramah, periang."

"Iya, Iki juga ngerasainnya, kok. Meski di awal nyebelin banget." Iki mengusap punggung Cikal pelan.

"Aku cuek dan nyebelin bukan tanpa alasan, Ki. Aku enggak mau salah pilih teman kayak ayahku. Trauma aku lihat teman-temannya yang hancur berantakan." Cikal menggeleng pelan. Iki hanya tersenyum sambil mengangguk paham.

"Enggak apa-apa. Semua orang punya cara masing-masing buat jalanin hidupnya," jawab Iki.

"Senggaknya, kita masih punya satu minggu lagi kan? Mau dihabiskan buat apa?" tanya Iki senang. Dia menarik Cikal, memaksa anak itu bangkit dan berhadapan. Tak lama, Iki memutar tubuhnya ke arah kolam, mematri pandangan pada rembulan yang bersembunyi malu di balik daun kersen.

"Aku punya banyak hal menarik dan menyenangkan untuk dilakukan." Cikal melakukan hal yang sama seperti Iki, kemudian saling merangkul satu sama lain dan tertawa bersama.

To be continue

Dan jangan lupa baca naskahku yang "Catch Me If You Can" ya? Kalian bisa baca lanjutannya di aplikasi Dreame.

Terima kasih.

avataravatar
Next chapter