1 Iki Pengin Pulang!

*Chapter 0*

Sambil mencoba menahan tangis, seorang anak kecil dengan pakaian serba putih dan peci hitam yang terpasang miring di kepala, berdiri membawa koper bergambar yang isinya sudah terlihat penuh. Dari sudut matanya menetes bulir-bulir air mengaliri batang hidung.

Sesekali tangan pendek yang habis tertutupi pakaian panjangnya naik-turun menyeka air mata. Di hatinya terasa sesak sesaat karena keputusan orangtua yang tak pernah mau mendengar penolakkannya.

"Iki mah enggak mau masuk pesantren. Bunda jahat. Bunda enggak dengerin Iki." Anak lelaki itu terus saja sesenggukan sambil masih memegangi koper bergambar Lancelot, salah satu tokoh fiksi dalam game yang sering dimainkannya.

"Bukan gitu, Ki. Bunda sayang sama Iki, makanya Bunda masukin Iki ke pesantren." Wanita yang sedang berdiri di samping anak lelaki bernama Iki itu mulai berjongkok. Sesekali tangannya mengusap kepala Iki. Rambutnya terlihat acak karena peci hitam yang terpasang miring itu merusak susunan rambut yang sudah susah payah dirapikan.

"Iki mah da ... I-iki mah enggak mau di sini. Iki mau ikut s-sama Bunda," ucapnya terbata. Air matanya membuat Iki makin kencang sesenggukan. Setiap kata yang Iki ucapkan membuat sebuah rasa sakit yang menjalar di dada. Napasnya sesenggal. Sesak.

"Jangan nangis, ya? Iki kan bawa banyak makanan. Iki di sini banyak teman juga. Lebih asyik, Bunda jamin."

Meski enggan, Iki tetap melangkah mengikuti Bunda di belakang. Dipikir-pikir, jika harus kabur sekarang pun Iki tidak akan bisa kembali sendirian. Jarak dari pesantren sampai ke rumahnya sangat jauh.

"Ayah ... Iki enggak mau pesantren." Iki menyentuh tangan besar yang menjuntai tepat di dekat pipinya, kemudian mendongak, menatapi wajah tampan lelaki jangkung yang menghalangi cahaya matahari siang itu. Iki menatap nanar.

"Iki ...." Lelaki berwajah tegas di samping anak kecil itu berhenti melangkah, menolehkan tatapannya pada Iki sambil mengelus kepalanya pelan. Ada aliran kasih yang terjun dari tangan ke kepala Iki. "Lihat Ayah sekarang ... Iki akan jadi lebih baik di sini. Benarkan, Bunda?" tanyanya, dijawab dengan anggukan dan senyum simpul manis oleh istri si lelaki.

"Bunda benar, kami bukan tidak sayang sama Iki, justru karena kami---"

"Enggak!"

"Sudah, Yah, kita bicarakan nanti saja. Ustaz di sana pasti sudah menunggu." Bunda menoleh pada Iki, tersenyum sambil mengangguk. Berusaha membujuk anaknya itu agar mau masuk pesantren.

Iki tetap menggeleng. Namun, seberapa kuat pun dia menolak, perintah dari kedua orangtuanya tak bisa dibantah.

Di bawah terik mentari yang menusuk ubun-ubun, ketiganya menyusuri jalan yang mengarah langsung pada sebuah kawasan pesantren di antara hijaunya pesawahan. Melewati rumah penduduk, perkebunan yang asri menyejukkan, kemudian sampai di depan gapura bertuliskan "Yayasan Al-choeriyah".

Iki menggenggam erat tangan bundanya ketika melihat dua orang berpakaian rapi serba putih menyambutnya di depan gerbang. Peci di kepala mereka senada dengan pakaian yang menempel di tubuhnya.

"Assalamualaikum," ucap salah satu santri sembari mengangguk ramah. Bunda Iki tersenyum senang, kemudian menjawab dengan anggukan yang tak kalah ramah. Sementara Iki terus saja menatapi ayahnya, berharap jika mimik melasnya bisa meluluhkan niat mereka.

Saat masuk, mereka disuguhkan dengan pemandangan kolam ikan yang ada di sisi kanan dan kiri jalan. Setiap kolam terdapat sebuah saung apung, dipenuhi oleh santri yang sedang menebar pakan. Ada setidaknya empat kolam yang tersusun rapi di sepanjang jalan menuju sebuah bangunan persegi di ujung penglihatan.

Sesekali saat bunda bertatapan langsung dengan santri, mereka mengangguk ramah sambil tersenyum. Semua itu membuat bunda dan ayah semakin yakin untuk memasukkan Iki ke pesantren.

Tak jauh dari gapura setelah berjalan beberapa langkah, mereka sampai di depan sebuah bangunan segi empat yang salah satu santri itu bilang adalah aula tempat mereka mengadakan berbagai macam acara.

Sekali pandang, Iki bisa lihat seluruh kawasan dari sudut kakinya berpijak. Di sebelah kanan aula, ada bangunan panjang dengan lima belas pintu, kemudian di kiri aula ada kolam, saung dan taman yang indah lengkap dengan pohon kersen.

"Iki pulang sama Bunda, ya? Sama Ayah, ya?" tanyanya saat mereka berjalan di lorong antara aula dan asrama senior. Ada beberapa orang yang berdiri di ambang pintu.

Sebelum pertanyaan yang berulang kali Iki lontarkan itu dijawab, mereka sudah sampai tepat di depan rumah bata merah. Di sana sudah ada seorang lelaki bersorban berdiri dengan kedua tanga terlipat di depan paha.

"Assalamu'alaikum," ucapnya membuka percakapan dengan salam. Bunda Iki menoleh diikuti ayah yang sedari tadi mencoba menenangkan Iki. Senyum manis terukir di bibir lelaki bersorban yang merah merona. Lesung pipi indah menghiasi wajahnya yang putih bersinar.

"Waalaikumsallam," jawab pasangan suami-istri itu.

"Bagaimana perjalanannya? Jauh, ya?" tanya lelaki itu ramah. Wajah tegasnya dihiasi bulu hitam yang membuatnya semakin tampan dan gagah. Belum lagi hidung mancung dan kulit putihnya, membuat Iki menoleh seketika.

"Iya. Jauh, Pak ustaz." Bunda Iki tertawa renyah. Sementara Iki mulai mundur. Mimiknya terlihat takut oleh jenggot yang panjang dan hitam milik ustaz di hadapannya.

"Bun, Iki mau pulang," rengek Iki. Manik biru terangnya mengedar ke segala arah, memindai apa saja yang ada di sekitarnya.

"Silakan masuk. Kita bicarakan di dalam." Setelah mempersilakan tamunya, ustaz itu berbalik dan melenggang masuk menuju bangunan tadi. Sementara Iki hanya diam di tempat.

"Ayo, Ki masuk." Iki menggeleng, kemudian mundur. Dia memilih untuk diam di luar saja. Bunda tersenyum, kemudian mengangguk, membiarkan Iki berdiri di luar menunggu. Mau bagaimanapun, hasil akhirnya tetap sama, Iki harus pesantren.

Iki menggeleng tak mau. Dia mundur beberapa langkah sambil mengusap ingusnya dengan lengan baju. Setelah kepergian bunda dan ayah, Iki mulai beradaptasi dengan lingkungan. Satu-dua orang berjalan melewatinya begitu saja, mereka terlihat rapi dengan peci hitam, dan setelan koko putih.

Kawasan yang Iki masuki benar-benar khusus untuk pesantren. Ke mana pun matanya mengedar, dia hanya disuguhi oleh anak berpakaian muslim.

Tidak ada jalan untuk kembali. Iki hanya bisa kembali menangis sambil merengek.

Selama ini, dia berpikir jika pesantren sama dengan penjara. Setelah melihat semua santri bergotong royong membersihkan kebun, pekarangan dan menyapu lantai masjid, Iki semakin yakin jika penderitaan akan datang silih berganti saat dia menetap di pondok pesantren nanti.

Kembali bocah bermata biru itu menggeleng. Tak henti-hentinya hidung mancung itu mengeluarkan cairan bening. Iki sesenggukan.

"Iki pengin pulang!" Dia melepas koper di tangannya, kemudian terkulai lemas, berjongkok dan menyandarkan punggung pada koper yang ada di belakangnya. Kedua tangan Iki tumpang tindih, membungkus seluruh wajah yang habis terbenam di antara dua lutut.

Dia sesenggukan.

To be continue

Dan jangan lupa baca naskahku yang "Catch Me If You Can" ya? Kalian bisa baca lanjutannya di aplikasi Dreame.

Terima kasih.

avataravatar
Next chapter