3 Iki Biang Masalah!

*Chapter 2*

Mentari menyelinap di celah dedaunan kersen, menguarkan aliran hangat pada mereka yang anteng menjemur pakaian. Satu-dua anak terlihat mengantre di depan kamar mandi terbuka di ujung kawasan pesantren. Mengantre mengambil jatah sarapan di aula makanan dan tak sedikit pula yang sudah berangkat ke sekolah.

Pukul enam tiga puluh pagi.

Beberapa anak terlihat mulai berlarian pada bangunan berbentuk U yang ada di belakang pondok. Di tengah bangunan itu terdapat lapangan berlantaikan beton dengan berbagai corak warna. Sekelilingnya tumbuh rerumputan hijau segar penuh embun sejuk.

Pada sisi lapangan, terdapat jalan setapak dari susunan pavin blok yang mengantarkan tiap langkah siswa menuju bangunan hijau toska. Pohon mangga, kersen dan jambu tumbuh subur di samping lapangan, tersusun per dua meter dalam balok beton.

Yayasan pesantren Al-choeriyah tidak hanya kawasan untuk menuntut ilmu agama, tapi juga terdapat pendidikan akademis berbasis pesantren. Orang-orang akrab menyebutnya Madrasah Tsanawiyah.

Inilah alasan kenapa bunda memasukkan Iki ke AC. Dengan berada di sana, Iki tidak hanya menuntut ilmu untuk bekal akhirat, tapi juga untuk bekalnya di masa depan kelak. Meski berbasis pesantren, MTs ini tidak kalah dengan sekolah menengah pertama di luaran sana. Kurikulum yang ada tetap diseimbangkan dengan perkembangan zaman.

Di saat semua orang mulai masuk kelas, Iki justru masih terlelap di ranjangnya, lengkap dengan selimut hangat bergambar Alucard. Iki tidak ikut solat subuh karena saat dibangunkan senior, dia memilih untuk kembali tidur. Cikal sama sekali tidak peduli dan tak mau berurusan dengan Iki. Makanya dia tak ikut membangunkan Iki untuk yang kedua kalinya.

Saat pagi, Cikal sengaja tidak membangunkan Iki dan berangkat sekolah sendirian. Ketika senior melakukan pengecekan ruangan, Iki ditemukan tertidur. Senior meminta Iki untuk bergegas sekolah karena hari sudah siang. Sebelum meninggalkan asrama, senior memberitahu jika sepulang sekolah Iki harus dihukum karena bangun kesiangan.

Menjadi murid baru dan datang kesiangan? Ah, Iki seperti sedang berada dalam sebuah novel remaja. Di mana tokoh utamanya akan datang terlambat dan kena hukuman. Namun sayang, semua itu tidak hanya terjadi di novel. Karena Iki benar-benar merasakannya, dan soal hukuman itu nyata.

Dia disuruh berdiri selama pelajaran berlangsung. Meski murid baru, Pak Saef tidak segan-segan memberikan hukuman untuk siapa saja yang telat masuk di jam kelasnya.

Di depan kelas Iki menaikkan satu kakinya sambil menyilangkan kedua tangan, menjewer kedua ujung telinganya sendiri. Bukan saja sakit, gasak-gusuk teman sekelas membuat kuping Iki terasa panas dan gatal. Di ujung ruangan, dia melihat Cikal yang sedang tersenyum sambil memainkan pensil.

Selama pelajaran bahasa Arab berlangsung, Iki merasa harga dirinya diinjak-injak. Dia sudah tak tahan lagi. Matanya mulai terasa perih, pandangan remang-remang. Ada cairan bening yang menggenang di kelopak matanya. Namun, dengan segera Iki mendongakkan kepala, menatap plafon. Sebisa mungkin mengedipkannya beberapa kali, berusaha agar cairan yang muncul di matanya tak jatuh.

Iki tidak menangis!

Saat jam istirahat, Iki memilih duduk di samping Cikal. Bukan karena dia ngebet pengin duduk di sana, tapi di kelas itu sudah tidak ada lagi bangku kosong selain yang ada di samping Cikal. Dengan terpaksa Iki menerima posisi duduknya.

Tentu saja Cikal tidak senang dengan itu. Sebelum Iki duduk, dia segera mengisi kursi kosong di sampingnya dengan tas gendongnya, kemudian berkata jika kursi itu sudah diisi. Jelas Iki tahu itu bohong. Mereka sama-sama tahu itu.

Bukan Iki namanya jika tidak membuat Cikal jengkel. Dia meraih tas itu, melemparkannya ke depan sambil tertawa puas.

"Sebenernya, masalah kamu apa, sih?" Cikal berdiri sambil menggebrak meja kayu di depannya, memaksa semua mata menoleh, tertuju pada mereka berdua.

"Kenapa kamu enggak bangunin Iki?"

"Peduli apa aku sama kamu?" jawab Cikal, menabrak dada Iki dengan bahu kirinya, melewatinya begitu saja untuk mengambil tas yang tadi terlempar ke depan kelas. Iki merengut tak suka.

Iki tidak tahu harus berkata apa saat anak di depannya berjalan begitu saja dengan tatapan mengintimidasi. Ada sorot kebencian yang menguar dari manik hitam terang Cikal.

Ini sebuah kesalahan. Tentu saja. Seharusnya, Iki jangan membuat masalah di hari pertamanya masuk sekolah. Namun siapa yang peduli dengan itu? Iki mengangkat kedua pundaknya pelan.

"Denger, ya! Kamu udah aku izinin sekamar denganku, jadi enggak usah bikin masalah atau sok kenal sama aku di sini!" Tatapan mereka terkunci dalam satu garis lurus. Cikal masih berusaha untuk tidak terpancing. Kedua tangannya mengepal erat.

"Namamu siapa tadi?" tanya Indra, teman Cikal yang duduk di belakang. Lelaki plontos itu mengernyit.

"Iki," balas anak itu menoleh sekilas, kemudian kembali menatap Cikal, tampak tak terlalu tertarik untuk memperkenalkan diri untuk yang kedua kalinya.

"Kamu, kok jahat, sih sama Iki?" tanyanya, orang yang diajak ngobrol hanya diam menatapi papan tulis hitam di depan kelas, tanpa memedulikan Iki di sampingnya. Ada rasa kesal dan marah di dirinya yang kian menggunung.

"Kamu mau balas dendam, ya sama Iki?" tambahnya kesal. Iki mengepal erat. Lagi-lagi Cikal tidak peduli. Bocah itu hanya diam membisu.

Dua lelaki yang ada di belakang Iki berdeham bergantian. Cikal menoleh dengan tatapan malas, mengartikan jika dirinya tidak mau terlibat dengan anak baru menyebalkan itu.

"Kalian mau ikut? Aku mau ke kantin," kata Cikal pada dua anak itu, mendorong kursi, berdiri.

"Gak, aku mau belajar aja."

"Ya, aku juga," jawab anak satunya.

Iki geram. Semua ucapannya tak direspon sama sekali oleh Cikal. Maka dari itu, dia mulai menepuk pundak anak lelaki itu dengan keras, mencengkramnya kuat-kuat, kemudian memaksa anak itu menoleh ke arahnya. Cikal yang tak nyaman dengan tindakan Iki segera berontak, mendorong Iki ke belakang, dan menabrak meja di belakangnya. Sontak, mengundang semua pasang mata yang ada di kelas.

"Apa, sih?"

"Idih, jutek amat. Nyebelin!" Iki menarik napas panjang, menenangkan diri, mengabaikan rasa sakit di punggungnya, lantas bergegas mengejar Cikal ke luar kelas.

Sambil berlari kecil dan melompat riang, Iki mengikuti langkah Cikal dari belakang. Dia melewati beberapa anak yang terduduk manis di pagar dinding setinggi paha. Sesekali Cikal yang menyadari keberadaan Iki menoleh, memastikan jika di belakangnya ada seseorang yang tengah mengikutinya. Bersamaan dengan itu, Iki bersembunyi di antara kerumunan anak yang ada.

Cikal sampai di kantin bi Enok. Bangunan segi empat dari anyaman bambu itu selalu ramai dikunjungi siswa yang istirahat. Ketimbang warung milik bi Euis yang ada di dekat asrama senior, tempat ini lebih dekat dari ruang kelas. Selain itu, posisinya tepat berada di bawah pohon jambu air yang membuatnya sejuk dan nyaman untuk disinggahi.

Cikal menyelinap di kerumunan, mencoba masuk lebih dalam. Saat sampai di depan warung, dia kemudian menilik makanan yang tersaji di depannya. Sebelum memilih, dia kembali menoleh ke belakang.

"Anak nyebelin itu ngikutin aku. Emang nyebelin!" Cikal mengepal erat.

"Yasudahlah, terserah." Akhirnya dia memutuskan untuk tak peduli dan kembali mengalihkan pandangan pada makanan yang ada di depannya. Namun, belum juga sedetik merasa tenang, dia dikagetkan dengan keberadaan Iki di samping kirinya. Bocah itu tersenyum lebar, menunjukkan deret gigi putih bersih.

"Astagfirullah!"

"Shi ... shi ... shi." Iki tertawa renyah sambil nyengir. Matanya menyipit.

"Mau kamu apa, sih?" Cikal menarik napas, memejamkan mata, kemudian menghitung satu sampai lima. Itu adalah kebiasaanya untuk menenangkan diri. Cikal akan merasa lebih baik setelah berhitung saat amarah dan emosinya melonjak dalam sekejap.

"Kamu belum minta maaf sama Iki. Enggak mau tahu, kamu harus minta maaf karena enggak bangunin Iki tadi!"

"Aku minta maaf?"

Iki mengangguk dengan polos. Mata birunya berbinar terang.

"Ngapain juga aku harus minta maaf? Jelas-jelas yang punya salah itu kamu!"

Sambil masih tersenyum lebar, Iki menggeleng sambil menaruh tangannya di dada.

"Cepat minta maaf!"

"Maaf, tapi aku enggak bakal minta maaf sama kamu!"

"Oke, Iki maafin kamu." Iki tersenyum lebar. Merasa senang ketika mendengar Cikal mengucapkan maaf di kalimat pertamanya. Pada kenyataanya, anak itu bukan meminta maaf untuk semua hal yang sudah terjadi kemarin. Namun Iki menganggapnya lain. Salah paham.

"Hah?"

"Iki udah maafin kamu. Santai aja." Iki membusungkan dada, menatap Cikal dengan angkuh, seolah dia sangat berjasa karena sudah memaafkan kesalahannya dengan mudah. Namun sebaliknya, Cikal merasa jengkel sendiri menghadapi bocah di depannya.

Bagaimana bisa dia bersikap setenang itu setelah membuat orang lain kesal?

Dengan tanpa berkata apa pun lagi, Cikal berbalik dan meninggalkan Iki di warung bi Enok.

"Shi ... shi ... shi." Iki tertawa.

Jam istirahat hanya lima belas menit. Biasanya anak-anak diberi kesempatan istirahat dua kali, yang pertama dari jam sepuluh sampai sepuluh lima belas, dan yang kedua adalah saat azan zuhur, ketika semua siswa diminta untuk solat berjamaah di masjid.

Selama pelajaran ketiga, semua teman mengajaknya berkenalan, tapi si Bocah Menyebalkan itu malah menolak dan bilang jika dirinya hanya akan berteman dengan Cikal. Merasa namanya disebut-sebut, Cikal hanya menatap dengan mimik jijik dan memutar bola mata malas.

Saat istirahat kedua, lagi-lagi Iki membuat masalah. Dia terlalu malas untuk solat. Kalau cuma duduk di kelas, nanti akan ada senior atau guru yang berjaga keliling, dan saat itu terjadi bisa kacau kalau Iki tertangkap basah tidak ikut solat.

Akhirnya, saat semua orang berangkat ke masjid, Iki memisahkan diri dari rombongan. Dia menyelinap, mengendap-endap ke bawah tangga dan lari sekecang kakinya bisa saat tidak ada satu orang pun yang menyaksikannya.

Iki merasa dikejar anjing, dadanya bergdegub tak keruan. Rasa takutnya memuncak. Tak disangka, berusaha kabur dari pengawasan akan semenakutkan itu.

Napasnya bisa meluncur dengan lega saat tubuh mungil itu dilahap habis mulut pintu.

Buru-buru dia menaiki anak tangga kayu, menarik selimut, kemudian menyembunyikan diri di balik kain halus bergambar Alucard dengan apik dan hati-hati. Sambil mencoba untuk tenang, Iki mulai meraih ponsel yang dia taruh di bawah bantal dan memainkannya.

Iki main game.

**

"Aku lupa bawa peci, nih." Cikal penepuk keningnya pelan saat dia sadar di saku celananya tidak ada peci hitam yang selalu setia menemaninya solat.

"Pakai punyaku aja." Zamil memberikan peci putih miliknya pada Cikal. Padahal dengan rambut ikal lebatnya, dia lebih membutuhkan benda itu untuk menghalangi keningnya dari rambut saat sujud nanti.

Cikal menggeleng. "Enggak usah. Kamu aja pakai. Aku ambil di kamar."

"Yaudah, kalau gitu kamu bisa ikut kloter kedua." Zamil memakai pecinya, lantas masuk ke masjid lebih dulu. Sementara Cikal mulai memakai sandal milik Indra dan pergi ke kamarnya untuk mengambil peci.

Dengan berlari dia sampai di kamar kurang dari satu menit. Saat membuka pintu, keningnya mengernyit, merasa ada yang aneh. Lantas decit terdengar seiring dengan daun pintu yang mulai terbuka lebar.

Harusnya pintu dikunci. Itu pasti. Setiap kamar disiapkan dua kunci, yang artinya jika kamar diisi oleh dua orang, maka masing-masing akan memegang satu kunci. Tentu saja saat berangkat sekolah tadi Cikal tidak mengunci pintu karena masih ada Iki. Namun jika Iki lupa mengunci pintu, maka itu bisa gawat.

Sambil terus berpikir, dia melangkah menuju lemari sebelah kanan, mencari benda hitam itu di sana. Namun tangannya berhenti di udara saat kedua gendang telinganya menangkap suara aneh dari ranjang lantai dua.

"Ehmm ...." Mata Cikal memicing. Harusnya dia tahu sejak awal. Pasti si Biang Masalah itu ada di sana. Makanya pintu tidak dikunci, karena Iki baru saja masuk ke kamar untuk melarikan diri dari solat berjamaah.

Karena kesal, dia lantas menaiki tangga.

"IKI!" teriak Cikal sambil menyibakkan selimut yang melahap habis tubuh mungilnya. Sontak saja bocah itu berteriak kaget saat tiba-tiba Cikal mengejutkannya. Iki hampir melempar ponsel di tangannya ke arah bocah itu jika dia tak segera sadar.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Cikal. Dia masih berada di posisi berdiri pada anak tangga kayu, sementara Iki mulai mundur, memosisikan dirinya duduk di bantal. Wajahnya masih terlihat kaget.

"Kamu yang ngapain? Bikin orang jantungan!" Iki mengepal tangan kanannya kuat. Tatapan Cikal tertuju pada benda di tangan Iki.

"Kamu melanggar aturan. Kamu bawah ponsel!" Mata Cikal terbelalak. Dia sama sekali tidak percaya jika Iki benar-benar di luar dugaanya. Tidak hanya menyebalkan, tapi Iki benar-benar keterlaluan.

"Eh?" Iki segera menarik tangan kanannya ke belakang, menyembunyikan benda itu dari pandangan. Namun itu sia-sia karena Cikal sudah tahu perihal benda itu.

Sekarang semua tergantung pada keputusan Cikal. Apakah dia akan melaporkannya pada ustaz atau memilih untuk diam.

"Eh ... eh, Cikal. Iki mohon jangan laporin ini sama utsaz, ya?" Iki menaruh ponsel itu di bantal yang tadi digunakan sebagai alas pantatnya, kemudian mendekati Cikal untuk membujuknya agar tak membuka mulut pada siapa pun. Termasuk ustaz Aji.

"Enggak bisa. Kamu melanggar aturan pondok. Kamu harus dilaporin!" Cikal menggeleng. Manik hitamnya memancarkan keseriusan. Mendadak tubuh Iki merasa lemas mendengarnya. Perutnya mulas seketika.

"Ya, jangan, yaa, Cik. Iki mohon!" Iki memelas. Hawa di kamar itu memanas dalam sekejap.

Entah bagaimana, kening Iki sudah basah. Perutnya mulas.

"Enggak!" Cikal menolak, berusaha sekuat tenaga melepaskan pegangan tangan Iki dari pundaknya. Selain itu dia berusaha untuk tetap menyeimbangkan diri karena posisinya berada di ujung ranjang. Salah-salah, dia bisa terjatuh untuk yang kedua kalinya, dan itu semua gara-gara Iki.

"Iki bakal lakukan apa pun, deh. Janji! Tapi jangan bil---"

"Kalian enggak solat?" Seketika saja suasana benar-benar berubah drastis saat suara berat dan tegas menggema di ruangan pengap dan sempit itu. Cikal nyaris terjatuh saking terkejutnya dengan kehadiran senior.

"Aku ... aku mau ambil peci, Kak." Cikal turun dengan tenang, walau dalam dirinya tak merasa tenang sama sekali. Dia baru saja ditangkap basah tidak solat dan diam di kamar dengan Iki.

"Kamu?" tanya senior itu pada Iki yang mematung. Wajahnya pucat pasi. Mampus, Iki harus jawab apa sekarang? Dia tertangkap basah melakukan dua pelanggaran sekaligus.

"I-iki ... I-iki---"

"Dia ...." Cikal menoleh sekilas ke arah Iki yang sedang mengepal, tubuhnya bergetar dengan posisi wajah tertunduk.

Cikal yakin jika anak itu dalam ketakutan yang luar biasa. Ucapan Cikal terasa kelu, tercekat di ujung lidah. Niat hati ingin mengatakan yang sejujurnya pada senior. Namun melihat kondisi Iki seperti itu membuatnya ragu. "Dia bawah ponsel ke pondok!" ungkap Cikal pada akhirnya.

Lemas begitu saja Iki rasakan saat mendengar pengakuan tersebut dari Cikal. Sekarang dia akan dipanggil ke ruang ustaz dan dihukum dengan berat.

"Kalian berdua ikut saya ke ruang ustaz. Dan kamu yang di atas, buka sepatu kalau naik ke ranjang!" Senior itu berbalik, menutup pintu, kemudian meninggalkan kamar. Keduanya menahan napas sesaat, sampai suara langkah kaki senior tak terdengar lagi, barulah bisa mengembuskan napas dengan lega.

"Kamu! Kamu, ish. Sumpah Iki benci sama kamu, Cik." Iki nyaris menangis, tapi sebisa mungkin tetap menahan air matanya agar tidak menetes. Menanggapi hal itu, Cikal malah menggigit bibir bawahnya.

Entah apa yang dia rasakan sekarang. Mungkin merasa bersalah atas pengakuannya tadi, atau jstru tak merasakan apa pun.

Iki berjalan lebih dulu sambil membanting pintu meninggalkan Cikal yang masih mematung di ruangan.

**

Sehari ini Iki sudah mendapat hukuman dua kali. Bahkan yang pertama pun belum dia kerjakan, sekarang bertambah satu lagi masalah yang harus diselesaikan, dan itu berarti satu hal, Iki akan kena hukuman lagi.

Setelah selesai solat berjamaah, ustaz Aji menemui mereka berdua. Pria itu bersikap berwibawa seperti biasanya. Tak ada amarah sedikit pun yang terpancar dari raut wajahnya yang putih bersih. Ustaz Aji selalu menangani anak didiknya dengan lemah lembut.

"Cikal, kamu enggak biasanya melanggar. Ada apa ini?" tanya ustaz. Ruangan bata merah itu terasa panas bagi Cikal. Rambut hitam kelimisnya terasa makin basah karena keringat.

"Saya enggak berniat buat melanggar, Ustaz. Tadi cuma ambil peci di kamar. Zamil bisa jadi saksi," ucapnya membela diri. Pada kenyataanya memang demikian. Cikal sama sekali tidak berniat untuk melarikan diri dari kewajibannya.

Jawaban Cikal memaksa ustaz untuk mengangguk, lantas pandangannya yang teduh itu beralih pada sosok lelaki mungil yang sedang tertunduk menahan tangis. Iki berusaha sekuat tenaga untuk tidak menitikan air mata. Meski pandangannya sudah remang sejak tadi.

"Iki?"

"I-iya, Ustaz," jawabnya dengan posisi masih menundukkan kepala. Iki tak berani mengangkat pandangan. Membiarkan tetes demi tetes air turun begitu saja. Sekuat apa pun Iki menahannya, tetap tidak bisa mencengahnya.

"Hari ini kamu sudah bikin masalah lebih dari dua kali. Apa ini rencana kamu agar dipulangkan dari pondok, hmm?" tanya ustaz pelan. Namun tegas.

Mendengar hal itu Iki mendongak cepat, beradu tatap dengan lelaki tampan yang kini tengah menunggu jawaban dari pertanyaanya barusan.

Memang itu yang Iki rencanakan dari kemarin. Dia pernah berpikir jika dengan membuat masalah dia akan dikeluarkan dari pesantren. Makanya sehari setelah dia masuk, semua peraturan pun dilanggar.

Namun alasan Iki menangis sekarang bukan karena dia takut dikeluarkan, tapi karena satu-satunya benda yang akan menemani kejenuhan selama di pesantren akan disita. Itu artinya dia tidak akan punya hal menyenangkan untuk dikerjakan, dan Iki tidak mau hal itu terjadi.

"Dan kamu melanggar aturan paling fatal di pondok. Ponsel kamu Ustaz sita. Kamu harus melakukan hukuman selama seminggu. Termasuk kamu, Cikal." Tatapan bocah itu melebar saat namanya disebut-sebut.

Dia tidak mengerti kenapa dirinya juga harus dihukum?

"Kenapa saya juga kena?" tanyanya membela diri. Merasa tak mau terlibat masalah atas apa yang dilakukan oleh Iki, dia menolak dengan tegas. Menoleh pada Iki yang masih menangis sesenggukan.

"Sepulang sekolah, bersihkan semua sampah yang ada di pesantren ini, lalu beri makan ikan tiga kali sehari. Lakukan itu selama seminggu." Ustaz menunjuk Iki.

Itu adalah tugas yang ringan di pondok ini. Biasanya pelanggaran semacam membawa ponsel akan diberi sanksi tegas berupa surat peringatan. Jika santri melakukan pelanggaran yang sama berulang kali, maka dengan terpaksa pihak pondok mengeluarkannya.

Nasib baik Iki tidak dikeluarkan. Dia baru saja satu hari berada di pesantren. Itu menjadi satu penyelamatnya kali ini. Namun jika di lain waktu Iki melakukannya lagi, maka tidak ada maaf untuknya. Terpaksa Iki harus meninggalkan pesantren.

"Dan untuk Cikal, pulang sekolah setor hafalan surat."

Cikal sedikit lega karena hukuman untuknya berupa hafalan. Itu masih lebih baik ketimbang harus membersihkan sampah dan memberi makan ikan. Sehari yang lalu, dia dan Zamil sedang berlomba untuk menghafal surat. Jika hukuman yang diberikan untuknya hanya setor hafalan, Cikal tidak akan menolak!

Iki menggeleng tidak terima. Bukan karena tak mau mengakui kesalahan dan menjalankan semua hukuman, tapi Iki tidak terima jika ponselnya disita oleh ustaz. Ingin menolak. Namun dia tak punya kuasa.

"Iki enggak mau!"

"Kalau gitu, Ustaz kasih pilihan. Mending kasih makan ikan, atau setor hafalan surat sama kayak Cikal?" tawarnya.

"Enggak, Iki enggak mau ponsel Iki disita!"

Ustaz terkejut, kemudian tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Jadi?" tanyanya memastikan.

Iki masih belum mengiakan hukuman mana yang akan dijalankannya.

"Yaudah, deh Iki pilih kasih makan ikan aja." Iki berkata pasrah. Bibir bawahnya bergetar. Jangankan untuk setor hafalan, untuk membaca iqra saja dia belum lancar! Kalau disuruh main game, sih Iki bisa saja!

Setelah tak ada lagi yang harus dibicarakan, ustaz mempersilakan keduanya meninggalkan ruangan. Cikal pergi lebih dulu, sementara Iki harus menjalankan hukuman atas pelanggarannya tadi subuh.

Dia disuruh untuk menyalin surat al-fatihah dua puluh kali di kertas.

To be continue

Dan jangan lupa baca naskahku yang "Catch Me If You Can" ya? Kalian bisa baca lanjutannya di aplikasi Dreame.

Terima kasih.

avataravatar
Next chapter